AKHIRNYA Airlangga tetap kembali ke rumah pohon. Bertahan di tepi hutan sangat berbahaya. Dia pun sakit setiap melihat ke arah rumah Ells. Sepanjang jalan dia bergegas nyaris berlari. Sendiri membuatnya lincah bergerak. Meski hatinya begitu rusuh, dia tetap berhati-hati menjejak membuat jejak.
Sampai akhirnya dia sampai di rumah pohon. Di bawah rumah itu dia mengatur napas sambil menatap ke atas. Terengah, bukan karena lelah. Hatinya berantakan mengingat malam ini dia hanya sendiri di sini.
Dia meraih sulur tanpa tenaga, memanjat tanpa gairah. Begitu dia membuka pintu, dia langsung menjatuhkan diri ke atas tempat tidur bergelap-gelap tanpa menyalakan pelita. Dia tidak butuh penerangan ketika tidak ada wajah cantik yang harus dia lihat.
Di rumah pohon yang selalu diingat Ells, Airlangga meringkuk memeluk bantal yang beraroma Ells. Dia kembali menyesali keputusannya pulang ke sini. Seharusnya dia pulang ke rumah kakeknya saja. Desanya tentu lebih dekat dari tepi hutan, tapi dia tidak bisa pulang. Terlalu berbahaya bagi keluarganya. Namun di sini. di rumah pohon, dia sekarat merindukan Ells.
Hutan menjadi tidak menarik lagi. Hutan menjadi hutan. Sepi, gelap, dingin, suram. Cukup tiga purnama, Ells mengubah segalanya tentang dia dan hutan.
Bergerak gelisah, berguling resah, Airlangga tak bisa tidur. Padahal sejak semalam dia belum tidur. Makannya pun kacau. Jika tadi siang dia sempat menemani Ells makan sebuah belimbing, maka dia melewati total makan malamnya. Belum satu hari berpisah, dia merasa sangat berantakan.
Ells, kumerindukanmu .... Sangat. Sampai terasa sakit. Sakit sekali.
***
Airlangga terbangun oleh sinar matahari yang sudah sangat tinggi. Tangannya mencari-cari tubuh Ells, kehilangan pegangan. Begitu kesadarannya datang, dia terduduk terdiam kesakitan. Kesepian yang parah mengiris jiwanya. Dia hanya melamun, tergugu menatap kosong. Ruang kecil ini menjadi sesak. Sesesak ruang hatinya. Atau ruang ini terasa hampa?
Tak ada yang mau dia lakuan. Tidak ada ritual bercinta pagi, tidak ada mandi pagi dan memandikan Ells, tidak ada makan pagi. Semua yang berhubungan dengan pagi membuatnya malas. Dia ingin hari sebagai malam saja. Saat semua gelap dan dilarung mimpi, dia bisa tidur dan memimpikan Ells. Tak perlu bangun dan tersadar dia sendiri dan kesepian.
Apa yang harus aku lakukan sekarang? Tanpa Ells, aku seperti lelaki bodoh. Tidak ada yang bisa kukerjakan dan memang aku tidak perlu melakukan apa pun. Untuk apa? Untuk siapa? Airlangga mengeluh sampai suara desah napasnya terdengar kasar.
Dia berakhir dengan membanting lagi tubuhnya ke tempat tidur.
Aku mau tidur saja. Tidur dan bermimpi bersama Ells.
Dia memejamkan mata berusaha menghilangkan kesadarannya. Namun tidur yang tadi membuatnya kesiangan sudah sangat cukup, sudah membayar dua hari tanpa tidur. Dia tidak bisa tidur lagi. Dia hanya bergulang-guling membanting badan. Kesal, akhirnya dia bangun dan turun. Mencari tempat di mana aura dan aroma Ells tidak ada. Namun, di bawah pun bayangan Ells tertawa lepas mengganggunya. Di sendang, bayangan Ells mandi pun mengusiknya. Di semua tempat terlihat Ells.
Aku harus ke mana? Hutan seluas ini, tapi kenapa setiap sudutnya mengingatkan aku pada Ells.
Aaarrrggghhh...!
Airlangga kesal pada dirinya sendiri. Dia yang terbiasa soliter sekarang seperti burung patah sayap. Sakit, tak bisa terbang. Tak tahu harus bagaimana, harus melakukan apa, harus ke mana, akhirnya Airlangga memilih pergi ke tepi hutan, tempat yang mereka janjikan untuk bertemu besok.
Besok.
Tapi entah mengapa, hatinya menyuruhnya untuk menunggu Ells hari ini.
Apa karena itu yang diinginkan? Atau karena dia begitu merindukannya?
KAMU SEDANG MEMBACA
3, Kala Cinta Menyapa
Romance[Lereng Gunung Bromo, Hindia Belanda, 1831] . "Lalu untuk apa kau menculikku? Membawaku begitu jauh ke tengah hutan?" Diam. Senyap. Ells menunggu jawaban penculiknya. DIa benar-benar butuh jawaban itu untuk kemerdekaannya. "Ayahmu membunuh kakekku."...