ELLS terbangun dengan tubuh hancur lebur, hati porak poranda, dan perasaan kacau balau. Bergelung meringkuk, dia menyadari tubuh telanjangnya kedinginan. Menggigil. Namun bukan cuma karena dingin udara. Ini lebih karena hatinya membeku. Pagi ini terasa semua lebih kacau. Kerinduannya tak berkurang, terlebih ulah dirinya sendiri semalam membuat semua semakin rumit untuk dirasai hati.
.
Tok tok tok
.
Bergegas Ells memakai baju menyudahi gundahnya. Ketukan itu, tiga kali tak berbalas, pintu akan terbuka. Itu perjanjian tidak tertulis di rumah ini.
"Masuk..."
Pintu berderit mengajak masuk van Loen. Melihat ayahnya, Ells bergelung memunggungi pintu.
"Ells ... kau tidak keluar kamar seharian kemarin." Van Loen membelai rambut Ells. Suaranya lembut seperti tidak pernah terjadi apa pun.
Paling tidak, dia mau menghabiskan makannya walau dengan susah payah. Begitu laporan Bi Imah. Van Loen terus membelai rambut Ells.
"Bukankah Ells dilarang keluar?" jawabnya asal saja masih memunggungi van Loen.
"Kau tidak dikurung, Ells. Apalagi di kamar. Kau bebas ke mana pun. Papa hanya menjagamu keluar untuk menemui inlanders b**d*b itu." Mendadak giginya bergemeletuk dengan rahang mengejang kaku meski tangannya tetap membelai lembut.
Mendengar makian itu, Ells langsung membalik badan menatap tajam mata van Loen. "Dia suamiku, Papa. Aku mencintai A—"
Terputus.
"Siapa namanya, Ells?" Van Loen mendesis tajam, tangannya tidak lagi membelai. "Siapa?" Sampai saat ini, semua mata-matanya gagal mendapatkan walau hanya namanya saja.
"Tidak!" Ells pun berdesis bersikeras demi tidak menjerit mengamuk. "Ells semakin yakin, Papa seperti apa yang dia katakan." Suaranya bergetar. Tak percaya ayahnya bisa melakukan kekejian seperti itu.
Sakit.
Untuk Airlangga yang begitu berduka kehilangan kakeknya.
Sakit.
Untuk kenyataan yang baru dia sadari.
"Apa yang dia katakan, Ells?" Tatapan van Loen makin menusuk, memaksa sebuah jawaban.
"Papa me—"
Stop!
Papa bisa melacak dari kata-kata itu.
Ells semakin frustrasi. Berbicara pun harus semakin berhati-hati.
"Apa katanya tentang Papa?" van Loen terus memaksa. Lelah berusaha mencari tahu.
"Tidak."
Van Loen mendengus jengkel.
"Ells, dia meracuni pikiranmu. Sadarlah."
"Tidak. Dia benar."
"Bagaimana mungkin kau percaya pada omongan orang yang menculikmu yang baru kau kenal beberapa bulan dibanding Papa kandungmu yang mengurusmu sejak lahir. Kau benar-benar sudah gila, Daniella!"
"Lihat apa yang Papa lakukan padaku sekarang? Papa pun melanggar janji membebaskan aku memilih pendampingku sendiri. Dan Papa tadi memaki. Papa lupa ajaran Papa sendiri padaku. Semua itu bukan ajaran Papa tapi Papa langgar sendiri."
Van Loen menarik napas jengkel dan jengah.
"Siapa nama lelaki itu, Ells?"
"Aku tidak akan memberitahukan pada Papa. Silakan terus memaksa."
KAMU SEDANG MEMBACA
3, Kala Cinta Menyapa
Romance[Lereng Gunung Bromo, Hindia Belanda, 1831] . "Lalu untuk apa kau menculikku? Membawaku begitu jauh ke tengah hutan?" Diam. Senyap. Ells menunggu jawaban penculiknya. DIa benar-benar butuh jawaban itu untuk kemerdekaannya. "Ayahmu membunuh kakekku."...