ELLS membiarkan Robert terperangah ketika mereka berpapasan di pintu ruang kerja papanya, tak mengacuhkan Bi Imah yang terkejut atas kedatangan dan penampakannya, Ells melenggang memasuki kamarnya.
"Ells...?" suara Robert seperti melihat bidadari.
"Non...?" suara Bi Imah seperti melihat hantu.
"Siapkan mandiku, Bi." Dia bersuara datar dan berjalan lurus tanpa menoleh.
"Baik, Non." Bi Imah berjalan mundur untuk memenuhi perintah majikannya tapi tetap bisa melihat wujud Ells lebih lama. Mungkin jika Robert tidak seterperangah dia, dia akan pingsan. Entah pingsan terkejut atau takut melihat hantu di siang hari. Di kamar, Ells berjalan perlahan ke arah meja rias. Tangannya meraba bekas tancapan pisau di meja rias.
Di sini mereka pertama kali bertemu. Bukan sebuah pertemuan yang mengesankan. Seperti baru kemarin dia terkejut sampai nyaris mati lalu ketakutan. Takut hantu lalu takut mati. Dia tersenyum mengingatnya. Dia melihat pantulan bayangannya di cermin, membayangkan ada Airlangga di sana memeluknya dari belakang. Sama seperti ketika mereka pertama bertemu meski kali ini yang dia lihat bukan wajah datar dan tatapan membunuh seorang penculik. Lagi-lagi dia tersenyum membayangkan wajah tersenyum Airlangga. Lalu hatinya teriris membayangkan wajah teduh dan rapuh lelakinya.
Apa kabar, Angga? Kau di mana sekarang? Apa kau sudah pulang? Pulang ke rumah kita di hutan.
Lalu tatapannya beralih ke jendela, menatap penuh harap ke arah hutan. Perlahan, dia berjalan lalu berdiri bersandar di tepi jendela.
Sakit.
Sedih.
Seperti panah Airlangga menancap di hatinya. Panah yang sesungguhnya, bukan panah cintanya.
Papa tidak merestui kita, Angga. Dia memaksa aku menyebut namamu. Dia marah besar dengan pernikahan kita. Aku sakit, Angga. Aku sakit Papa seperti itu padaku. Aku mau bersamamu saja, Angga. Kalau besok aku ke sana, apa kau ada? Apa perlu aku ke desamu? Kalau begini penerimaan Papa, aku menyesal pulang. Sungguh. Aku seharusnya lebih keras memaksamu agar tak perlu ke sini.
Kenapa kau memaksaku, Angga? Aku yakin kau bisa mengurus aku dan anak kita dengan sangat baik. Kalau seperti ini, kami malah tak terurus.
Tanpa sadar, Ells mengelus perutnya. Sendirian seperti ini, dia merasa hanya anak itu yang menemaninya. Anak Airlangga. Anak ini akan selalu bersamanya, menemaninya. Tekanan tangannya makin kuat mengelus.
"Non, airnya sudah siap." Suara Bi Imah benar-benar mengejutkannya. Dengan malas Ells meninggalkan jendela. Dia masih ingin bersama Airlangga meski hanya dalam bayangan saja. Membayangkan mereka ada di sana. Di hutan. Hutan cinta.
Hutan yang menyembunyikan cintaku.
"Apa Non Ells lapar?" tanya Bi Imah yang terus berjalan di belakang mengikuti langkah Ells. "Non mau makan apa? Biar Bibi masakkan sekarang."
"Hah?" Ells sampai menoleh. "Aku tidak lapar, Bi."
"Oh, Bibi kira Non lapar karena selalu mengelus perut Non."
Ells tergagap, sampai menghentikan langkah. Dia langsung menjauhkan tangan dari perut, ganti meremas kain di sisi tubuhnya.
***
"Badan Non halus sekali," ujar Bi Imah ketika menggosok punggung Ells. "Harum." Dia mengendusi punggung Ells.
Ucapan yang membuat Ells semakin sesak. Duduk memeluk lutut, tanpa bisa ditahan, air matanya berlerai. Bayangan mereka bercengkerama di sendang langsung hadir. Dikelilingi pohon dan perlu, ditingkahi kicau burung dan suara hewan lain. Dipayungi langit dan awan. Diterangi matahari. Semua begitu indah, begitu membuatnya rindu.
KAMU SEDANG MEMBACA
3, Kala Cinta Menyapa
Romance[Lereng Gunung Bromo, Hindia Belanda, 1831] . "Lalu untuk apa kau menculikku? Membawaku begitu jauh ke tengah hutan?" Diam. Senyap. Ells menunggu jawaban penculiknya. DIa benar-benar butuh jawaban itu untuk kemerdekaannya. "Ayahmu membunuh kakekku."...