WILLIAM der Passe terhenyak mendengar berita yang baru saja pelayannya sampaikan. Pelayan itu berdiri bersiaga selangkah di depan meja der Passe yang masih tercenung.
Daniella Elizabeth van Loen hilang diculik semalam. Tepat setelah pesta usai. Saat itu dia dan anak lelakinya menjadi tamu teakhir yang meninggalkan pesta.
"Panggil Robert segera," perintahnya cepat. "Katakan penting tapi jangan beritahu soal penculikan itu."
"Baik, Tuan." Pelayan itu segera berbalik pergi.
Tak lama suara derit pintu tanpa ketukan mengalihkan perhatian der Passe.
"Ada apa?" tanya Robert.
"Ells diculik. Semalam."
"Apa?" Robert tidak mampu menyembunyikan keterkejutannya. "Kita tamu terakhir yang pulang dan tidak ada apa pun yang mencurigakan terjadi di sana. Seandainya ada yang mencurigakan, anak buahku pasti langsung memberi info padaku."
"Itu tidak penting sekarang."
"Siapa pelakunya, Papa?"
Der Passe berdecak lalu mendengus. "Jika pelaku sudah diketahui Fred akan langsung membunuh pelaku itu dan mengambil kembali anak gadisnya. Gunakan sedikit otakmu, Bodoh!"
Robert tergagap. "Maksud aku, siapa kira-kira pelakunya agar kita lebih mudah mencari Ells."
"Sampai saat ini belum ada terduga sama sekali. Kemungkinan besar inlanders, musuh kita di sini."
"Hanya inlanders bodoh." Robert mengibaskan tangan, meremehkan. "Tentu kita mudah menangkap mereka."
"Mereka tidak bodoh. Buktinya dia berhasil menculik Ells. Mereka hanya terlalu ramah pada orang asing."
"Ck." Robert berdecak, enggan mengakui.
"Papa tahu kau ada rasa pada Ells."
Robert mengedikkan bahu. "Dia gadis yang cantik."
"Kau pergilah sekarang ke rumah Ells. Temui ayahnya. Wakili Papa. Bantu dia mencari anak gadisnya. Sampaikan salam Papa padanya."
"Baik." Robert langsung berbalik pergi. Membuat der Passe tersenyum, Anak yang biasanya bermalas-malasan dan berlama-lama bisa secepat itu bergerak. Apa itu cinta?
Berderap, sampai di rumah Ells Robert langsung masuk ke dalam untuk hanya menjumpai pelayan-pelayan wanita saja.
"Ke mana Om Fred?" tanyanya pada salah satu di antara mereka. Bi Imah.
"Kami tidak tahu, Tuan. Yang kami tahu hanya Non Ells kemungkinan dibawa masuk ke hutan maka semua orang sekarang ke hutan. Mungkin Tuan pun ke sana." Bi Imah menjelaskan.
"Bagaimana ceritanya sampai Ells bisa diculik?"
"Saya tidak tahu, Tuan. Tadi pagi saya hanya ke kamar Non Ells tapi kosong."
"Yang mana kamar Ells?" Robert langsung menoleh ke arah dalam. Bi Imah tanpa bertanya lagi berjalan ke arah kamar Ells. Robert mengikuti dalam diam. Dia tetap diam ketika Bi Imah membukakan pintu kamar Ells untuknya.
"Saya menemukan pita gaun Non Ells yang bernoda darah tertancap di meja rias dengan pisau dapur." Bi Imah menjelaskan sambil berjalan ke arah meja rias.
Robert langsung menemukan bekas pisau yang Bi Imah maksud. Tangannya meraba bekas tancapan pisau itu di meja. Cukup dalam.
"Apa Bibi mengenali pisau itu?" tanya Robert sambil melayangkan pandangan ke seisi kamar, mencari jejak lain.
"Tentu saja, Tuan. Itu pisau yang biasa saya pakai untuk memasak."
"Hhmm..." Robert berusah menyimpulkan. "Apa artinya dia tidak membawa senjata? Atau dia masuk lewat pintu belakang?"
"Dia masuk lewat pintu belakang atau jendela. Tidak mungkin lewat pintu depan."
"Kenapa Bibi seyakin itu?"
"Karena dia berniat mencuri. Pencuri masuk bukan sebagai tamu. Semalam ada pesta, dia masuk ketika pesta masih berlangsung. Lalu bersembunyi entah di mana menunggu saat yang tepat membawa lari Non Ells." Bi Imah tetap berdiri beberapa langkah di depan Robert.
"Bisa saja dia baru masuk menjelang fajar kan?" Robert berjalan ke arah ranjang lalu duduk di tepinya. Tangannya mengelus sprei putih bersih membayangkan mengelus kulit mulus Ells.
Bi Imah menggeleng tanpa menggerakkan kaki. Dia hanya mengikuti gerakan Robert dengan pandangannya saja. "Pita yang berdarah itu pita dari gaun yang Non Ells pakai di pesta. Gaun itu tidak ada sekarang. Artinya ketika diculik Non Ells memakai gaun itu."
"Bisa saja Ells tidak mengganti baju kan?"
Lagi-lagi Bi Imah menggeleng. "Non Ells selalu membersihkan tubuh sebelum tidur." Robert menyerah. "Artinya hampir enam jam berlalu ketika saya menemukan Non Ells tidak ada. Itu waktu yang cukup lama untuk melarikan diri ke hutan."
"Dan apa artinya itu?"
"Jika penculiknya orang yang mengenal hutan, Non Ells akan sulit terlacak. Dia bisa sangat bebas di dalam hutan. Dia tidak perlu keluar untuk mencari makan. Hutan menyediakan semuanya."
Robert mengeluarkan jam dari saku jas. "Sudah hampir sore." Tanpa Robert sadari, tatapannya menatap ke luar jendela. Ke arah hutan.
"Sudah lebih dari dua belas jam Non Ells hilang."
Bi Imah ikut menatap ke luar jendela. Keduanya melamun membayangkan apa yang Ells alami sekarang.
Sehatkah? Siapa yang mengurusnya? Bi Imah mendesah putus asa mengingat bagaimana sifat majikan perempuannya itu. Dia tidak bisa melakukan apa pun. Dia selalu dilayani. Apa yang terjadi dengan gadis itu di dalam hutan seliar itu?
"Penculiknya membawa Ells pergi melalui jendela ini?" tanya Robert.
"Iya, Tuan. Saya berani memastikan soal itu. Hanya jendela itu yang tidak terkunci tadi pagi. Setiap malam suami saya yang memastikan seluruh jendela dan pintu terkunci lalu setiap pagi saya yang membuka jendela-jendela itu."
Pertanyaan tak penting dan mereka kembali melamun. Saat melamun itulah suara langkah kaki terdengar mendekati mereka. Bi Imah langsung merapikan berdirinya sementara Robert langsung berdiri dan menyambut van Loen di tengah kamar.
"Om, salam dari Papa." Mereka berjabat tangan. "Kami sangat bersedih." Van Loen menepuk-nepuk dua tangan Robert yang menangkup dan menggenggam erat sebelah tangannya. "Apa yang bisa kami bantu, Om?"
"Temukan Ells, Robert. Om tidak sanggup membayangkan Ells bersama penculiknya di hutan." Tubuhnya langsung limbung.
Sigap, Robert memapah van Loen ke arah ranjang dan membantunya duduk. Bi Imah sudah melarikan diri ke dapur dan tak lama kemudian di tangannya sudah ada segelas air. Robert membantu van Loen minum sambil tekun memperhatikan wajah lusuh pria tua itu. Dia menunggu sesaat sampai van Loen terlihat lebih tenang dan stabil. Mereka tetap duduk bersisian di ranjang Els. Tanpa bisa dicegah, van Loen mengelus ranjang itu. Hatinya terburai berantakan lagi.
"Apa belum ada ide siapa inlanders yang menculik Ells, Om?"
Van Loen menggeleng.
"Berapa orang yang menculik Ells?"
"Paling banyak dua orang." Van Loen meneruskan temuan Topan. Bi Imah yang bersiaga ikut mencuri dengar.
"Mereka sungguh berani." Maksud Robert, mereka kurang ajar.
"Mereka memang kaum pemberani."
"Apa sebelumnya ada pemberontakan di sekitar sini, Om?"
Van Loen mengedikkan bahu. "Selalu ada keributan kecil tapi kami selalu bisa mengatasinya."
"Yang terakhir?"
"Om tidak tahu. Om hanya menerima laporan saja bahwa ada keributan tapi sudah diselesaikan."
"Jika hanya dua orang, aku yakin pelakunya segera tertangkap, Om." Robert menepuk bahu van Loen, menguatkannya. "Serahkan padaku. Aku akan mencari Ells sampai dapat meski harus ke lubang semut."
***
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
3, Kala Cinta Menyapa
Romance[Lereng Gunung Bromo, Hindia Belanda, 1831] . "Lalu untuk apa kau menculikku? Membawaku begitu jauh ke tengah hutan?" Diam. Senyap. Ells menunggu jawaban penculiknya. DIa benar-benar butuh jawaban itu untuk kemerdekaannya. "Ayahmu membunuh kakekku."...