30, Terpisah

8 1 0
                                    

PAGI itu sama seperti pagi-pagi yang lain. Namun aura kecemasan semakin terasa sejak kedatangan pemuda Belanda mencari Airlangga. Jejak Airlangga sudah tercium. Itu membuat Tirta tak bisa tenang. Sejak semalam dia bergulang-guling di ranjang tak bisa tidur. Sampai pagi itu, jejak kegelisahannya masih sangat jelas, membuat Rindang semakin diam menyiapkan makan pagi untuk ayahnya.

"Rindang, Anakku...."

"Sendiko, Ayah." Gadis itu bergegas mendekat berjalan semi berlari dengan bahu membungkuk.

"Ayah akan membawamu ke rumah keluarga mendiang ibumu di desa sebelah."

Pernyataan itu membuat Rindang tersentak.

"Kenapa, Ayah? Ada apa sampai aku harus pergi?"

"Ayah yakin, mereka akan kembali ke sini. Ketika mereka kembali, Ayah tidak mau mereka melihat kau."

"Aku tidak akan keluar rumah jika mereka datang," janji Rindang cepat.

"Itu jika kau tidak ada di luar atau kau sempat bersembunyi. Bagaimana jika tidak?"

"Aku akan bersembunyi terus di dalam rumah."

"Bagaimana jika mereka masuk rumah? Selama ini, itu kan yang terjadi? Mereka bisa seenaknya masuk dan mengacak-acak rumah kita tanpa permisi."

Rindang tertunduk terdiam. Bahunya merunduk makin dalam, tangannya saling mengepal.

"Kau bersiaplah. Ayah akan mengantarmu sekarang."

"Sekarang, Ayah?" tanya Rindang menegaskan dan terkejut. "Cepat sekali."

"Harus secepatnya sebelum mereka mencium rencana Ayah."

'Siapa yang mengurus Ayah di sini?"

Tirta tersenyum.

"Kau tenanglah. Ayah akan baik-baik saja."

Merasa yakin ayahnya tidak ingin dibantah, Rindang hanya bisa terus menunduk takzim. "Sendiko, Ayah." Berjalan mundur beberapa langkah, gadis itu bergegas menyiapkan sedikit pakaian. Tak lama semua siap. Dia berjalan ke luar ke arah ayahnya yang duduk menunggu di depan rumah.

"Ayo." Tirta mengambil isi tangan Rindang lalu langsung melangkah.

Hari masih sangat pagi. Bahkan matahari masih sangat jauh di timur. Keduanya berjalan dengan kecepatan normal. Meski begitu, keduanya tetap waspada. Tirta menajamkan semua inderanya untuk berjaga. Melewati batas desa, mereka mempercepat langkah.

"Paman." Sebuah suara yang sangat mereka kenali membuat langkah keduanya langsung berhenti. Keduanya menoleh ke arah suara dan menunggu setelah mendapati Udayana berjalan menghampiri mereka.

"Mau ke mana?" tanya Udayana begitu suaranya bisa terdengar tanpa perlu berteriak. "Seperti hendak pergi jauh." Dia melihat ke isi tangan Tirta.

"Tidak jauh, hanya mungkin agak lama." Tirta menjawab dengan senyum sambil menerima salam hormat dari anak muda itu. "Untuk sementara waktu, Rindang akan tinggal di rumah pamannya di desa sebelah."

"Bagaimana kalau mereka mencari Airlangga sampai ke sana?" tanya Udayana cepat.

"Mereka pasti melakukan itu. Tapi mengingat kejadian kemarin, Paman curiga mereka akan memfokuskan pencarian di desa kita."

Udayana menghela napas panjang.

"Saya setuju Rindang menjauh," ujar Udayana yang membuat Rindang makin menunduk. "Hanya pastikan saja di sana mereka akan menjaga Rindang dan berita soal Airlangga."

"Tentu mereka akan lakukan itu."

"Di sana keluarga Rindang, bukan keluarga Airlangga," pungkas Udayana cepat. "Bisa saja untuk melindungi Rindang mereka mengorbankan Airlangga."

3, Kala Cinta MenyapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang