83, Hari Kedua [2] [17+]

10 1 0
                                    

CTARR...

.

"AARRGGHHH..." Tersentak, Airlangga terbangun berteriak kaget. Punggungnya perih sekali. Tubuhnya melengkung ke depan menghindari sengatan perih yang mendadak datang membangunkannya. Tangannya yang terentang tersentak mengejang mengepal. Kakinya mendadak tegap menjejak bumi. Tapi setelahnya semua kembali melunglai.

.

CTARR...

.

Kali ini suaranya hanya berupa desis yang keluar dari celah gigi yang saling menggerus bergemeletuk. Tubuhnya berusaha mengejang demi terlihat tetap tegar menutupi sakit yang makin menyengat. Wajahnya kaku. Matanya memejam erat sampai sudut-sudutnya berkerut.

Kau tidak akan mendengar teriakan kesakitanku jika kau membangunkanku dengan layak, Robert.

Tapi tidurnya yang sedikit—setelah percintaan semu—memberi sedikit tenaga. Paling tidak dia bisa berdiri di atas kakinya. Sedikit membantu untuk mengurangi beban di lengannya.

Jangankan makan, setetes air pun tak pernah melewati kerongkongannya sejak dia datang ke rumah ini.

Dan sekarang dia sedang menikmati makan paginya. Berupa cambukan cemeti, pukulan popor senapan, dan hantaman kepalan tangan. Anyir darah semakin menyengat. Penghuni istal yang asli langsung gelisah. Meringkik menendang-nendang berusaha keluar dari kandang tak suka ada di tempat penyiksaan ini.

Airlangga diam saja menikmati makan paginya yang istimewa. Kakinya kembali tak sanggip berdiri tegak pasrah tergantung terayun-ayun pada lengannya. Badannya basah keringat dan darah. Darah yang sudah mengering kembali terlapisi darah baru.

Selamat pagi, Nak. Apa kau merasakan Ayah datang menjengukmu? Kau harus selalu sehat dan kuat di dalam sana. Temani Ibu, Nak. Jaga dia selalu. Selamat pagi, Ells. Sayang, kau suka dengan caraku membangunkanmu? Bagaimana tidurmu? Lelapkah? Aku tidur nyaman sekali. Serasa kau memelukku luar dan dalam.

Ditemani sapaan paginya untuk Ells dan anaknya, Airlangga tetap tergantung, bergelayut, terbelenggu. Darah semakin banyak mengalir dari sekujur tubuh. Keringat dan darah bercampur, menguarkan aroma amis dan anyir yang membuat penghuni istal bergerak semakin gelisah. Namun aroma itu seperti bahan bakar untuk Robert. Naluri membunuhnya makin kental.

Robert berjalan perlahan dengan dagu terangkat mengelilingi Airlangga. Senyum puas dan jumawa di selingi kekeh sepanjang dia melihat hasil kerjanya. Dia tahu, lelaki yang bergelayut itu sudah sangat lemah. Mungkin nyawanya sudah di leher, tapi dia masih hidup. Artinya pekerjaannya belum selesai. Dia akan berlama-lama dengan pekerjaannya kali ini. Ini seperti bermain saja.

"Apa yang akan kau lakukan sekarang?" desis Robert di telinga Airlangga.

"Tidak ada. Hanya menunggu Anda memenuhi janji saja," ucapnya berusaha bersuara cukup keras. Sekeras kerongkongan keringnya bisa mengeluarkan suara. Sekuat sisa tenaga yang ada.

Kepalanya terkulai lemah.

"Kau pikir kau benar-benar akan bertemu Daniella?" geram Robert, jijik, marah.

B*j*ng*n ini terlalu percaya diri.

"Seorang lelaki bisa dipegang ucapannya."

"Dan kalau aku berdusta?"

"Anda bukan seorang lelaki. Sungguh kasihan Ells, tidak bisa lagi merasakan kenikmatan dari seorang lelaki."

.

BUGHH...

.

Kepalan tangan Robert mendarat keras di rahang Airlangga. Membuat kepalanya terpental. Darah kembali keluar. Sekuat tenaga Airlangga menegakkan lagi kepala itu, mengabaikan semua sakit. Pandangannya makin mengabur. Dia tidak bisa jelas melihat apa pun itu.

3, Kala Cinta MenyapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang