29, Hari Kelima

8 2 0
                                    

SINAR matahari pagi membangunkan Ells dari tidur nyenyaknya. Menggeliat dengan geliat yang bertenaga, tubuhnya terasa sangat segar. Tidak ada jejak lelah seharian berjalan. Wajahnya menyunggingkan senyum tipis. Ini senyum pertamanya menyambut pagi selama di hutan. Jendela yang terbuka lebar mengirimkan kehangatan matahari ke ruang kecil rumah pohon ini. Membuat suasana hati Ells semakin nyaman. Dia siap berjalan lagi.

Mana dia?

Dia hanya sendirian saja. Penculiknya pasti berburu. Berapa lama dia sendirian? Tapi dia tidak terlalu takut jika sudah ada matahari yang menemani. Merasa semua baik-baik saja, dia kembali bergelung. Tangannya bergerak-gerak meraba kulit halus berbulu tipis yang menjadi alas tidurnya. Entah kulit apa. Sepertinya kulit rusa. Dia ingin kembali tidur. Sambil memejamkan mata dia menikmati cahaya matahari yang jatuh di kulitnya.

Tak lama pintu berbunyi membuka, yang dicari datang. Membawa hasil buruannya. Kali ini dua ekor. Kelinci dan ayam.

Selama di hutan, dia selalu makan dengan lahap. Tapi kelinci adalah favoritnya. Dagingnya yang lembut dan gurih begitu menggoda lidahnya. Terutama yang bekas terkena api. Lembut dan renyah, berpadu pas di lidahnya.

"Kau mau mandi?" tanya Airlangga yang dijawab anggukan bersemangat Ells. Dia masih mengunyah kelincinya sementara Airlangga sudah mundur dari tadi.

"Sudah itu—" menjilat jari telunjuknya, "kita akan pergi lagi?" menjilat jari tengahnya sambil matanya melirik ke arah penculiknya. Membuat pikiran mesum Airlangga semakin liar, sulit dikendalikan. Tatapan mata gadis itu seperti mengundang hasratnya.

Tertawa kecil, sekadar untuk menghilangkan kegugupannya, Airlangga menjawab, "Tidak."

"Tidak?" Ells terkejut dan heran, tetap menjilati jemarinya. Jari manisnya.

"Kita sudah sampai."

"Sampai?" menjilati kelingkingnya.

Ugh.... Berikan tanganmu, biar aku yang bersihkan.

"Ya. Rumah ini tujuan akhir kita."

"Ooh...." Ells mengerti, menjilat ibu jarinya. Tapi desah 'oh'-nya terdengar lain di telinga Airlangga. "Baguslah. Aku sudah lelah berjalan berhari-hari. Rumah ini pun lebih nyaman daripada yang sebelumnya. Lebih besar."

"Ya." Airlangga menjawab singkat.

"Lalu, kapan kau akan membebaskanku?"

Tersentak, Airlangga tak menyiapkan jawaban untuk pertanyaan itu.

"Apa tuntutanmu? Kau sudah bicara pada papaku? Papaku pasti akan menurutimu semua keinginanmu."

Tidak ada tuntutan. Tidak tahu kapan dia akan membebaskan tawanannya ini.

Tapi dia benar. Sampai kapan mereka di sini?

"Tidak ada tuntutan dariku." Airlangga menjawab jujur. Tak ada yang bisa mengembalikan kakeknya kembali hidup. Jika ada, itu yang akan dia tuntut.

"Tidak ada?" Sekarang tawanannya bersandar kekenyangan. Tapi di mata Airlangga, dia bersandar kelelahan setelah mendapatkan kenikmatan yang lain untuk raganya.

"Tidak ada," tekan Airlangga.

"Lalu untuk apa kau menculikku? Membawaku begitu jauh ke tengah hutan?"

Diam. Senyap. Ells menunggu jawaban penculiknya. DIa benar-benar butuh jawaban itu untuk kemerdekaannya.

"Ayahmu membunuh kakekku."

Getir suara Airlangga tetap membuat Ells cepat membantah.

"Tidak mungkin!" Ells merapikan duduknya. Tidak lagi bersandar, dia duduk tegak menarik kakinya mendekat, bersila.

3, Kala Cinta MenyapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang