96, Ken Arok

14 2 0
                                    

MEREKA keluar kamar dan menjumpai hanya dua orang tua di ruang tamu. Sedang duduk melanjutkan nostalgi.

Robert?

Dia tak sanggup membayangkan apa yang menyebabkan dua orang itu begitu lama di dalam kamar Ells. Kamar mereka. Dia pergi begitu saja setelah berpamit ala kadarnya. Lagi-lagi dia dikalahkan oleh inlanders.

Spontan, van Loen tersenyum melihat rona merah di wajah Ells. Anaknya begitu hidup, bergitu bercahaya. Cayaha yang hilang itu telah kembali. Van Loen bersyukur dan menerima takdir mereka. Langit melalui takdirNya memang selalu memberikan yang terbaik.

Papa harap, rona merah itu hanya salah satu dari kemampuan dia untuk membahagiakanmu, Ells.

Mereka sudah berganti pakaian, hanya mengenakan kain.

"Papa, kami pamit." Ells mencium pipi van Loen. "Om, Ells pergi dulu." Dia juga mencium pipi der Passe. Airlangga berjabat tangan dan mengangguk hormat seperti kebiasaan mereka meski kali ini dia hanya memakai kain. Bekas luka di tubuh Airlangga terlihat. Membuat dua orang tua itu tak enak hati.

Ketika Airlangga berbalik, Van Loen dan der Passe bergidik ngeri melihat bekas luka yang lebih hancur lagi. Sudah nyaris mengering semua, tapi dari bekasnya, semua orang tahu, betapa hancurnya tubuh itu ketika terluka.

"Maafkan anakku, Anak Muda. Dia benar-benar merusak tubuhmu." Tanpa bisa dicegah kepalanya, bibir der Passe berucap. Tulus dari hati.

"Tidak mengapa, Tuan. Semua sudah berlalu. Yang penting Tuan van Loen mau melepas anak gadisnya untukku. Dan untuk Tuan Robert, saya harap dia akan segera menemukan jodohnya di Buitenzorg." Harapan Airlangga pun tidak kalah tulus.

"Semoga," ucap der Passe sementara van Loen hanya diam. Dia merasa sangat bersalah.

Tapi anak ini menculik Ells! Dia layak mati, bela kata hatinya.

"Tidak ada yang perlu kau bawa, Ells?" tanya van Loen mengalihkan rasa bersalah yang tadi sempat hadir ketika melihat Ells hanya menggenggam tangan Airlangga saja.

"Tidak, Papa. Di sana rumah kami, di sini pun rumah kami," jawabnya sambil menatap mata Airlangga. Jawaban yang dibalas Airlangga dengan genggamannya yang semakin mengerat.

Mereka berjalan melewati pintu, menuruni anak tangga. Dua orang tua mengantar mereka sampai di teras.

"Angga..." panggil van Loen, "tunggu."

Airlangga dan Ells menghentikan langkah. Mereka sudah berdiri di tengah halaman.

"Topan, bawa Ken Arok kemari," ujar van Loen.

Airlangga mengeryitkan dahi, tak mengerti. Tapi tak lama kemudian, Topan datang membawa seekor kuda. Seekor kuda yang membuatnya menarik napas. Sekilas saja, dia tahu kuda jenis apa itu.

Itu kuda Friesian. Kuda asli dari The Netherlands. Kuda anggun dengan besar yang pas dengan tubuh Airlangga. Bulunya hitam legam dan mengkilap terkena sinar matahari. Dengan surai dan ekor yang panjang melambai. Satu kata untuk kuda ini: gagah.

Kuda itu masih sedikit liar, bergerak memberontak dari kekang Topan yang terlihat kewalahan memegang sang kuda.

Kuda ini berdarah bangsawan!

"Kenalkan, Ken Arok. Baru datang dari The Ned. Masih agak liar, mungkin masih mabuk. Anggap hadiah Papa untukmu." Matanya mengarahkan Topan untuk menyerahkan tali kekang Ken Arok pada Airlangga.

Airlangga hanya terpana, Ells tak sanggup berkata-kata.

"Hadiah pernikahan yang bagus sekali, Fred. Kuda ini sangat cocok dengan menantumu," puji der Passe.

3, Kala Cinta MenyapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang