Semoga tidak menuju gadis itu.
Ditemani tatapan mata dua orang, ular itu melata menjauhi mereka sampai akhirnya merayap meninggalkan mulut gua. Harapan yang menjadi kenyataan.
Ells merasa lega. Kelegaan yang dia keluarkan dengan isakan yang segera berubah menjadi tangisan. Masih meringkuk di sudut gua, Ells menangis terisak memeluk lutut.
Airlangga berusaha bergerak. Tubuhnya lemah dan kaku. Lemah tanpa daya, kaku sulit bergerak. Hilang semua kekuatan dan kelenturannya.
"Sshh ... tenanglah ... ular itu sudah pergi...." Jarak mereka tidak terlalu jauh. Merasa tidak perlu berdiri—dia masih menghemat tenaga—Airlangga merangkak di atas lutut, terus mendekati tawanannya dan berbicara lembut dan lemah menenangkan.
Dan ketika dia sampai di samping tawanannya, Airlangga menarik tubuh ringkih itu masuk ke dalam pelukannya. Dan tawanannya membantu dengan menjatuhkan dirinya.
"Sshh ... tenanglah." Airlangga mengelus rambut dan punggung tawanannya. Dia tidak mampu lebih dari mengelus. Tubuhnya terlalu lemah untuk apa pun itu.
Sampai beberapa lama, akhirnya Ells berhasil menghentikan tangisnya. Perlahan, dia bergerak, mengangkat kepalanya dari dada Heyy. Menengadah, menatap wajah Heyy.
"Heyy ... kau berhasil bertahan." Tangannya terulur mengelus pipi Heyy. Wajah itu masih pias. Bibirnya pucat dan kering.
Airlangga hanya tersenyum lembut. "Ya. Aku berhasil. Berkat bantuanmu. Terima kasih." Pandangan mereka bertemu. Lekat. Tajam. Menusuk lembut, menghujam jauh ke sanubari setiap mereka. Begitu intim. Sampai kernyitan muncul di wajah Airlangga.
"Kenapa?" Ells kembali cemas.
"Tidak."
"Kau masih sakit dan kesakitan." Ells bergerak keluar dari pelukan penculiknya.
Merasa kehilangan, Airlangga berusaha bangun.
"Kau mau ke mana?" Airlangga terus bergerak.
"Aku haus."
Airlangga berhasil mencapai air. Dan perlahan, sesuai kekuatan tubuhnya, Airlangga minum.
"Ah, ya ... semalam kau selalu kehausan. Aku harus menunggu lama sampai trenggiling dan landak pergi dari mulut gua." Ells duduk beberapa depa di samping penculiknya.
"Ah, kau sungguh gadis yang cerdas dan pemberani. Kau juga menyelimutiku dengan pasir." Airlangga tersenyum dan gadis itu balas tersenyum.
Suasana menjadi canggung. Ells menunduk, tak berani menatap wajah Heyy. Sampai akhirnya Airlangga berkata, "Tunggu sebentar, jangan melewati pintu gua." Tertatih, Airlangga berusaha berdiri. Beringsut, Airlangga bermaksud pergi.
"Kau mau ke mana? Kau masih sakit." Kecemasan Ells membuatnya ikut bergerak menyusul Heyy.
"Mencari makan. Kau pasti belum makan. Seingatku, kau terakhir makan kemarin pagi."
"Aku minum jika lapar." Hanya untuk mengatakan bahwa dia baik-baik saja. Dan dia berkata sambil tersenyum tulus. Tapi jawaban dan senyuman itu justru menyakiti Airlangga, sangat. Mengoyak harga dirinya sebagai lelaki.
"Tunggulah, aku tak akan lama." Berusaha bergerak melangkah, melawan sakit dan lemah tubuhnya yang masih sangat menggangu. Dia menyambar tombak. Dia berjalan dengan tombak sebagai tongkat. Dia nyaris menumpukan seluruh bobot tubuhnya di tongkat itu, tapi tangannya pun lemah. Dia harus membagi tenaga yang ada ke tangan dan kaki. Terseok, dia tetap berjalan.
"Kau belum bisa berburu." Ells terus mengikuti Heyy.
Tersenyum, Airlangga menjawab, "Aku tidak berburu. Hanya memanen."
Oh...
Dan Heyy sudah berdiri di depan sebatang pohon talas. Berusaha menarik batangnya. Tapi tubuh lemahnya tak mampu. Akhirnya dia memilih menggali tanah di sekitar umbi talas, lalu menariknya. Cukup besar, tapi masih kurang. Dia menemukan ubi jalar. Kembali dia menggali dan menariknya. Umbi yang kecil. Air, terlebih di musim hujan tak cocok untuk ubi jalar. Tapi itu sudah cukup. Tubuhnya tak mampu bergerak lagi. Dia terengah-engah. Duduk bersimpuh—sebenarnya ingin bersandar—dengan tangan menopang tubuhnya.
Cemas. Tapi tak tahu harus berbuat apa. Ells hanya mampu ikut bersimpuh di samping Heyy. Mengelus bahunya. Belai yang menguatkan Airlangga untuk berdiri dan kembali melangkah tertatih. Dengan bantuan Ells dan tongkat, dia berusaha berdiri. Tangannya menggapai berusaha mencari pegangan—apa pun—yang lebih kokoh dari tongkat. Dia bersandar di batang pinus lalu terengah beristirahat sejenak. Ells mengambil isi tangan penculiknya sebelah tangannya membantu lelaki itu berjalan. Seperti itulah mereka kembali masuk ke gua.
Berdua mereka mengumpulkan ranting dan daun untuk membuat api. Tak bisa terlalu jauh dari mulut goa. Seadanya saja, hanya untuk membakar umbi. Untuk nanti malam biar nanti dicari lagi. Ells terus melirik ke arah Heyy yang sesekali memegang keningnya.
Dia masih sakit.
Hujan membuat segalanya lembab. Dan mereka berada di wilayah hutan hujan tropis. Tempat terlembab di dunia.
Airlangga duduk terengah mengatur napas. Setelah cukup, dia berusaha membuat api. Tapi tangannya masih sangat lemah. Dan bekas gigitan ular itu masih terasa sakit. Berkali-kali dia menumbukkan dua buah batu api, dan selalu gagal.
Putus asa, dia memegang tangannya yang sakit. "Aku tidak bisa membuat api." Kepalanya pun masih berdenyut berdentam. Sakit sekali.
"Sudahlah ... nanti saja kita makan. Bukan salah tanganmu, batu itu lembab. Daun-daun ini pun kurang kering, tidak bisa menangkap bara api." Ells berusaha menghibur, tapi Airlangga tahu yang sebenarnya.
Tapi tawanannya kelaparan. Gadis manja seperti dia, mana pernah merasakan lapar. Perlahan, Airlangga kembali ke luar gua.
"Kau mau ke mana lagi?" Ells khawatir. Sangat khawatir. Kembali, Ells bergerak bersama penculiknya.
Airlangga hanya tersenyum. "Mencari buah."
"Aku ikut." Dia takut sendirian dan dia khawatir Heyy jatuh.
Airlangga hanya mengangguk mengiyakan.
Pohon buah terdekat adalah belimbing dan jambu air.
"Kau bisa makan ini?"
"Aku suka buah. Apa pun." Itu benar. Tapi walaupun dia tidak suka, Ells akan tetap mengangguk, daripada mereka mencari lebih jauh.
Airlangga memetik buah sejangkauan tangannya saja. Dia tidak mampu memanjat. Tapi itu sudah cukup.
Berdiri dan mendongak terlalu lama, kepala Airlangga kembali berputar hebat. Segera dia menepi, berpegangan pada pohon jambu air. Bersandar, lalu jatuh merosot. Terengah, duduk mengumpulkan tenaga. Buah yang dia petik baru sedikit.
"Heyy?!" Ells semakin mendekat. Kembali bersimpuh di depan penculiknya.
"Sebentar." Airlangga berusaha memulihkan dirinya sendiri. Bernapas lebih teratur. Lalu berusaha memetik lagi. berkali-kali. Memetik, duduk, mengatur napas, lalu berdiri untuk memetik lagi.
"Sudahlah. Ini sudah cukup." Ells berusaha menghentikan usaha Airlangga menggapai buah yang makin tinggi. Dia bahkan sudah menggunakan tombak untuk menjatuhkan buah. Tapi tombak memang bukan galah, hanya sedikit buah yang berhasil dia dapat dengan usaha yang menghabiskan napas. Dia kembali merosot terduduk. Kepalanya makin berdenyut ulah menggalah buah.
"Ini sudah cukup. Mari kita pulang."
Airlangga menyerah, dia mengangguk pasrah. Dia berusaha berdiri, lalu berjalan terseok ke gua. Pohon itu tidak jauh dari mulut gua, dan dia kesulitan melangkah sedekat itu. Tungkainya lunglai. Langkahnya goyah. Tubuhnya lemah. Napasnya pendek. Dia sungguh tersiksa dengan kondisi fisiknya yang seburuk itu.
Sampai kapan lemah ini mengepungnya?
***
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
3, Kala Cinta Menyapa
Romance[Lereng Gunung Bromo, Hindia Belanda, 1831] . "Lalu untuk apa kau menculikku? Membawaku begitu jauh ke tengah hutan?" Diam. Senyap. Ells menunggu jawaban penculiknya. DIa benar-benar butuh jawaban itu untuk kemerdekaannya. "Ayahmu membunuh kakekku."...