SESOSOK tubuh tiba-tiba muncul dari arah hutan dan menabraknya. Sigap, dia menangkap tubuh itu.
"Rindang!"
"Kakanda?"
Dua suara terkejut saling menimpali menyebut nama.
"Apa yang kau lakukan di sini, Rindang?" tanya Udayana cepat ketika dia sudah pulih dari keterkejutannya. "Ini sangat jauh dari desa."
"Tapi ini hutan terdekat dari desa pamanku," sergah Rindang cepat.
"Ah, iya. Kau benar." Udayana menarik napas lega. "Lalu apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya lagi berkembali ke tajuk utama.
"Aku mencari tanaman obat untuk Paman. Kaki dan tangannya terluka ketika mengurus ladang dan dia mengabaikannya begitu saja."
"Lalu mana tanaman yang kau dapat? Kau tadi dari arah hutan, artinya kau sudah mencari bukan baru akan mencari." Pertanyaan penuh selidik dari Udayana menyentak Rindang.
Rindang kembali panik, tangannya spontan memegang dadanya, menepuk-nepuk di sana untuk meredakan detak yang tadi sempat menggila. Dia terus begitu sambil berkali-kali menoleh ke segala arah seperti orang mencari sesuatu dengan mata membulat dan tatapan panik dan penuh ketakutan.
"Ada apa, Rindang? Ada yang terjadi di hutan? Apa kau baik-baik saja?" Pertanyaan beruntun itu menunjukkan kecemasan Udayana.
"Jatuh. Semua yang kupetik jatuh ketika aku berusaha bersembunyi dari lelaki muda Belanda yang datang ke desa."
"Apa?" Mendesis, wajah Udayana menegang. Matanya mendelik sempurna. "Apa tujuan utama dia ke sini? Mencarimu atau mencari Airlangga?"
"Aku tidak tahu, tapi tadi dia berusaha melakukan hal yang tidak sopan padaku."
"APA?" Kali ini Udayana berteriak. "Apa yang orang itu lakukan padamu?" Tubuhnya bersiap total. Siaga menyerang. "Dia menyentuhmu?"
"Tidak, tidak, tidak. Dia hanya mengancamku saja."
"Apa?"
"Dia melamarku menjadi istrinya." Ells bergidik, tak berani membayangkan dirinya menikah dengan orang seperti itu. "Ah, tidak, itu terlalu sopan. Dia hanya mengajakku bersenang-senang menghangatkan ranjangnya saja."
"APA?" Udayana lagi-lagi berteriak. "Apa dia tidak tahu kau dijodohkan dengan Airlangga dan sebentar lagi menikah?"
"Kukira dia sudah tahu." Rindang berusaha mengingat-ingat. "Ayah mengatakan itu ketika dia datang."
"Lalu kenapa dia tetap melamarmu?" Udayana geram, tangannya mengepal sampai berbuku putih.
"Entahlah. Awalnya dia sangat tidak sopan. Dia hanya memintaku menjadi gundiknya saja."
"Lalu kau meminta lebih?"
"Tentu tidak. Aku hanya terlalu terkejut lalu dia menawari menikahiku."
"Lalu apa jawabanmu?"
"Jawabanku? Aku tidak sempat menjawab, aku langsung lari begitu ada kesempatan."
"Kalau kau sempat menjawab?"
Rindang menatap wajah Udayana seperti lelaki itu makhluk lain berwujud aneh.
"Tentu saja jawabanku tidak." Dahinya berkeryit. "Kenapa Kakanda bertanya seperti itu?"
"Tidakmu itu akan berbahaya bagi keselamatanmu."
"Itu yang membuatku masih gemetar meski sekarang aku sudah aman."
"Apa kau masih perlu tinggal di rumah pamanmu, Rindang? Sementara lelaki Belanda itu sudah mengetahui keberadaanmu."
"Dia belum tahu. Kami bertemu di hutan. Entah kalau dia membuntutiku sejak dari ladang."
KAMU SEDANG MEMBACA
3, Kala Cinta Menyapa
Romance[Lereng Gunung Bromo, Hindia Belanda, 1831] . "Lalu untuk apa kau menculikku? Membawaku begitu jauh ke tengah hutan?" Diam. Senyap. Ells menunggu jawaban penculiknya. DIa benar-benar butuh jawaban itu untuk kemerdekaannya. "Ayahmu membunuh kakekku."...