LUKA itu menganga dan mengeluarkan darah terbentuk melintang di dadanya. Melihat sekilas lukanya, Airlangga menarik tawanannya berdiri, dan menempatkan gadis itu di belakang tubuhnya. Sedangkan dia mengamuk mengusir kera-kera itu.
Sampai akhirnya kawanan itu menyerah, kabur meninggalkan mereka dengan tubuh lebam terkena pukulan tombak Airlangga.
Daniella masih berjongkok dengan tangan menutup wajah. Dia tidak berani melihat pemandangan di depannya, dan takut jika kawanan itu mencakarnya juga.
"Sudah. Mereka sudah pergi." Suara Airlangga jernih tanpa ditingkahi jeritan kera-kera nakal.
"Ayo..." ajaknya ketika Ells masih tetap berjongkok tak berani melepas tangan yang menutupi wajahnya. Dia ikut berjongkok dengan sebelah kaki. Tapi tawanannya bergeming.
"Ayo. Jangan sampai mereka kembali dengan membawa keluarga besarnya ke sini membalas dendam. Itu bisa berart ratusan kera. Aku tidak bisa menghadapinya sendiri, lebih baik melarikan diri." Lagi-lagi Airlangga berlebihan. Dia sudah tahu cara membuat tawanannya lebih cepat sadar.
Berhasil!
Ells langsung membuka tangannya, dan kepalanya menoleh ke kanan, ke kiri, ke atas, ke bawah, ke segala arah.
"Apa yang kau cari?" seringai licik menghiasi wajah Airlangga.
"Kawanan kera yang lebih besar."
Tertawa kecil, dia berdiri. "Kau ingin bertemu dengan mereka lagi dalam jumlah yang lebih banyak? Apa yang tadi kurang?"
Mendelik ketakutan, Ells histeris. "Tentu tidak!"
"Kalau begitu, ayo. Kita harus cepat pergi. Mereka sedang rapat menentukan strategi untuk menyerang kita di sini." Airlangga bergegas melangkah, yang langsung diikuti langkah bergegas tawanannya.
"Kau terluka."
Airlangga hanya diam.
"Heyy ... kau terluka. Apa tidak lebih baik diobati dulu?"
"Nanti saja. Kita dikejar waktu. Aku takut kawanan kera itu sudah selesai rapat." Sesekali Airlangga memetik dedaunan. Meremasnya hingga mengeluarkan air, lalu menempelkan di lukanya. Ini hanya luka cakar. Bukan gigitan. Cukup dalam, tapi tidak berbahaya. Luka itu sudah tidak mengeluarkan darah, tapi masih menganga. Airlangga menutupnya dengan sehelai daun.
***
Seiring kedatangan Robert, keingintahuan warga desa yang lain pun datang. Beberapa warga tanpa takut beringsut perlahan mendekat dalam jarak aman dan ikut mendengar percakapan itu meski tetap dalam lingkaran pengawasan serdadu bayaran sementara yang lain mengamati dari jauh dan takut-takut. Ketika pemuda Belanda itu pergi bersama anak buahnya meninggalkan kepulan debu dari derap kaki kuda, orang-orang di kerumunan itu langsung menarik napas lega.
Tidak ada darah yang tertumpah.
Jika hanya bentakan, hinaan, bahkan pukulan, itu hanya dianggap angin lalu saja. Nyawa adalah sesuatu yang paling utama harus dijaga.
Mereka terus memperhatikan kuda-kuda yang menjauh itu sampai menghilang dari pandangan. Bersamaan dengan itu, masih dengan rusa di pundaknya, lelaki itu menjauh pergi diiringi tatapan masygul dari mata Tirta.
"Apa mereka akan kembali lagi, Paman?" tanya seorang pemuda desa pada Tirta.
"Aku tidak tahu." Tirta mendesah lalu bergerak berjalan ke arah balai-balai di bawah pohon mangga lalu menjatuhkan tubuhnya di sana.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya yang lain lagi sambil berjalan mengikuti gerakan Tirta.
"Tentu saja bersiaga. Tanpa kedatangan itu pun kita harus selalu bersiaga," jawab Tirta lugas.
KAMU SEDANG MEMBACA
3, Kala Cinta Menyapa
Romance[Lereng Gunung Bromo, Hindia Belanda, 1831] . "Lalu untuk apa kau menculikku? Membawaku begitu jauh ke tengah hutan?" Diam. Senyap. Ells menunggu jawaban penculiknya. DIa benar-benar butuh jawaban itu untuk kemerdekaannya. "Ayahmu membunuh kakekku."...