MALAM itu mereka menikmati makan malam ransum yang Arilangga siapkan sebagai cadangan. Waktu sore hari yang biasa dia sisihkan untuk mencari makan habis terpakai kegilaan mereka bergumul berdua. Makanan itu dia siapkan untuk kondisi darurat yang genting. Jika dia terjebak tak bisa berburu. Dia tidak menyangka, makanan yang dia siapkan itu terpakai karena alasan seabsurd itu.
"Kenapa kau tersenyum-senyum seperti itu, Angga?"
"Tidak. Aku suka melihat kau makan lahap." Dia berusaha mengelak.
"Aku pun heran. Sejak di hutan makanku banyak dan lahap."
"Mungkin karena di sini kau selalu aktif bergerak. Berbanding terbalik jika kau di rumah. Apa yang kau kerjakan di rumah?"
Ells terkekeh. "Tidak ada."
"Apa kau tidak bosan hidup seperti itu?" Airlangga bertanya serius. "Rumah sebesar itu, penghuninya hanya kalian berdua. Untung ada pelayan-pelayan itu. Jika tidak, alangkah sepinya. Dan kau pun tidak akan bisa mengurus rumah itu."
"Aku sering berpesta. Kami suka berpesta. Apa pun akan kami rayakan sebagai alasan berpesta. Bahkan kucing melahirkan pun kami yang berpesta."
Airlangga mendengus.
"Itu sebabnya rumah kalian luas? Kalian butuh tempat luas untuk berpesta kan?"
"Mungkin." Ells tergelak.
"Lihatlah rumah ini. Sangat kecil dibanding rumahmu. Tapi kita bisa tinggal nyaman di sini. Hanya seluas ini yang kita butuhkan. Manusia terlalu sering hidup berlebihan."
"Ya. Aku senang di sini. Kita selalu bisa berdekatan. Apa pun yang kau kerjakan, aku ada di dekatmu."
Airlangga terkekeh. "Tentu saja. Aku memasak di sini, kau tinggal makan di sini."
"Siapa yang membuat ini semua, Angga. Ini enak sekali." Ells menunjukkan dendeng rusa di tangannya.
"Tentu saja aku."
"Kau pintar memasak, Angga. Masakanmu lezat semua."
Airlangga mendengus. "Kita harus bisa mengerjakan semua hal jika masuk hutan. Apalagi urusan makan. Dari berburu sampai memasak, harus bisa jika tidak ingin seperti tikus yang mati kelaparan di lumbung padi."
"Apalagi yang kau bisa, Angga?" Ells asyik mendengar Angga berkisah. "Kau bisa melakukan banyak hal."
"Tidak. Aku hanya bisa melakukan hal-hal yang diperlukan untuk bertahan hidup."
"Apa yang kau kerjakan jika di rumah?"
Airlangga terdiam. Diam yang membuat Ells ikut terdiam dengan jantung yang mendadak lupa berdetak.
"Dulu aku, Kakek, dan Paman mengurus ladang kami bersama." Ada yang mencubit hatinya mengingat kebersamaan mereka. "Sekarang aku pergi. Tinggal pamanku yang mengurus semuanya sendiri. Entah apa yang terjadi dengan meeka sekarang. Kuharap mereka semua baik-baik saja."
Mendengar itu, Ells langsung mendekat. "Maafkan aku, Angga. Aku ikut berduka untuk kakekmu." Berbisik, duka itu terdengar tulus.
Airlagga terdiam.
"Apa aku boleh bertanya satu hal?" tanya Ells sangat berhati-hati. Sangat takut apa yang akan dia tanyakan menyinggung perasaan Airlangga.
Airlangga tidak menjawab. Dia hanya mendongakkan wajah untuk menatap Ells langsung.
"Apa kau yakin pelakunya papaku? Maksudku, yang menyuruh mereka adalah papaku." Wajahnya ketika bertanya itu sangat tegang. Dia sungguh tak mau Airlangga meledak apalagi sampai berduka lagi.
Airlangga menarik napas panjang.
"Siapa di sini yang berpangkat paling tinggi, Ells? Kalau pun bukan ayahmu, siapa pun dia, dia bergerak atas sepengetahuan ayahmu."
"Bagimana kalau tidak? Maksudku, bisa saja bawahan papaku mengambil keputusan sendiri tanpa sepengetahuan atasannya. Untuk urusan keamanan, ada polisi yang mengurus, bukan Papa."
Lagi-lagi Airlangga menarik napas panjang. Dia bergerak lambat untuk bersandar di dinding kayu. Dengan tubuh lemah dia menatap kosong ke arah langit melalui jendela yang terbuka lebar. Seakan ada wajah kakeknya di langit hitam.
"Aku sedang berburu di hutan ketika kalian datang. Ketika aku mendengar suara tembakan, aku berlari secepatnya ke desa, tapi yang aku jumpai Kakek sudah meregang nyawa. Dan yang membuatku lebih marah lagi, mereka tetap menyiksa Kakek. Seakan nyawa satu manusia sangat tidak berharga."
"Maafkan aku, Angga."
"Dari Paman Tirta aku tahu, mereka datang untuk memaksa Kakek menyuruh seluruh warga desa menanam tanaman sesuai perintah mereka."
"Kenapa mereka memaksa kalian?"
"Kalian butuh uang banyak untuk menutupi kerugian besar akibat perang."
"Kenapa kalian tidak mau?"
"Tentu saja kami tidak mau. Tanah kami sudah menghasilkan dengan tanaman yang lama. Menumbuhkan tanaman baru tentu butuh waktu. Dalam masa itu, apa kalian mau menyuplai makanan untuk kami? Sementara kami kekurangan makan kalian bisa membayar utang yang ada akibat ulah kalian sendiri."
Diam.
"Kami pun yakin, hasil panen kami akan kalian beli dengan harga semurah-murahnya. Lalu kalian menjual dengan harga semahal-mahalnya. Dari situ kalian untung besar sementara kami kelaparan."
Ells makin terdiam. Dia tidak menyangka seperti itulah yang terjadi.
"Apa Papa yang memaksa kalian menanam tanaman itu?"
"Papamu salah satunya. Dia tuan tanah di sini. Dia harus mencari keuntungan sebesar-besarnya untuk kas negara kalian dari negeri aku."
"Apa yang kalian dapat dari sana?"
"Tidak ada, Ells. Tidak ada yang kami dapat selain kesengsaraan. Itulah sebabnya kami marah dan memberontak. Lalu kalian mengecap kami sebagai penjahat. Kami tidak bermaksud jahat dan menjahati kalian. Kami hanya ingin hidup bebas di negeri kami sendiri. Kenapa kalian tidak pulang saja lalu hidup nyaman di negeri sendiri? Jika kalian tidak ada tentu tidak ada perang-perang pemberontakan itu."
Sungguh, ini percakapan mereka yang paling serius. Sebelumnya mereka pernah menyinggung soal ini, tapi berakhir di Ells yang marah lalu menghilang.
"Negara kami miskin, Angga. Kami tidak punya apa-apa. Jauh berbeda dengan negerimu yang semua ada."
"Jika saja kalian tidak ingin mengusai, tentu kita bisa hidup damai. Kami menerima semua pendatang dengan tangan terbuka."
"Maafkan aku, Angga." Ells bergerak mendekati Airlangga, lalu melabuhkan dirinya di dada lelakinya. "Maafkan kami."
Airlangga terdiam. Kelebat ketakutannya kembali hadir. Mungkin dia bisa membuat Ells mengerti kondisi negerinya. Membuat Ells tahu apa yang orang sebangsanya mau. Tapi apa mereka bisa membuat pendatang itu mengerti? Bahkan membuat van Loen mau mengerti cinta mereka pun Airlangga ragu. Namun dia diam. Dia tidak ingin merusak kebersamaan mereka dengan membahas kerapuhan hubungan mereka. Ells begitu naif, selama ini dia hidup di awan. Dia hanya mengenal hitam dan putih.
Dan...
Apa dia harus bersiap ditinggalkan lagi?
Pada siapa hati ini akan dia titipkan jika dia harus kehilangan lagi?
Pernikahan mereka... itu hanya cara Airlangga agar mereka berlaku lebih seperti manusia yang terikat pada aturan. Pernikahan itu sendiri begitu rapuh. Terlalu mudah retak terusik ego. Perbedaan mereka terlalu jauh. Terlalu banyak kepentingan yang harus dijembatani jika harus bersatu. Tapi apa mau dikata, cinta datang tanpa dinyana.
Malam itu adalah malam yang kelam. Keduanya lebih banyak terdiam menyelami alam pikiran masing-masing. Nyaris tidak ada suara kecuali helaan napas. Ells berusaha memahami perasaan Airlangga seperti Airlangga berusaha mengerti posisi Ells. Semua sudah terjadi. Dan perasaan ini sudah menguat. Hati sudah menyatu bahkan tubuh pun sudah bertemu lekat. Apa rasa itu harus mengalah? Pada pongahnya dunia dan hasrat berkuasa.
***
Bersambung
![](https://img.wattpad.com/cover/357534445-288-k671452.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
3, Kala Cinta Menyapa
Roman d'amour[Lereng Gunung Bromo, Hindia Belanda, 1831] . "Lalu untuk apa kau menculikku? Membawaku begitu jauh ke tengah hutan?" Diam. Senyap. Ells menunggu jawaban penculiknya. DIa benar-benar butuh jawaban itu untuk kemerdekaannya. "Ayahmu membunuh kakekku."...