DI kamar, Ells masih marah, panik, kesal, dan semua emosi negatif menyerangnya, membuat tubuhnya melemah. Tak tahu apa yang harus dia lakukan kecuali bergerak acak di sepanjang kamar sambil menangis.
Angga, kau pasti sudah di sana menungguku kan? Maafkan aku, aku tak mungkin melarikan diri. Papa pasti menyuruh orang untuk mengikutiku. Itu sangat berbahaya untukmu dan keluargamu, Sayang.
Ells terus berjalan mondar-mandir di kamar. Berkali-kali melongok ke jendela, ke arah hutan dan halaman rumah. Melongok ke luar kamar, melihat situasi.
Paling tidak ada tiga orang yang berjaga. Itu yang terlihat. Yang tidak? Aku yakin masih ada lagi. Makin sulit untukku keluar rumah.
Anggaaaaa....
Ells semakin panik. Hari pun makin bergerak. Pagi sudah berganti siang. Dan tidak ada celah untuknya menjumpai Airlangga. Bahkan dia tidak punya ide bagaimana mengabari Airlangga tentang kondisinya sekarang.
Bagaimana caranya kita bertemu? Jemput aku, Angga. Culik aku, Sayang.
Ah!
Seandainya saja tadi dia langsung pergi tanpa berpamit pada van Loen, mungkin dia sudah bersama Airlangga.
Bodoh! Bodoh! Bodoh!
Ells terus merutuki dirinya sendiri.
Untuk apa tadi dia berpamit? Bodoh sekali. Seharusnya dia bisa membaca situasi lebih cepat dan cerdas bahwa ayahnya tidak akan mengizinkan dia pergi.
Ya Tuhan.... Alangkah bodohnya aku! Sekarang aku makin sulit mencari celah melarikan diri. Mungkin tadi malam semuanya akan lebih mudah. Aku cukup menunggu di tepi hutan atau ke rumah Angga.
Ells tidak bisa menghentikan penyesalan atas kebodohannya sambil menggenggam kalung milik Airlangga. Dia terus mengeluh dan memaki dirinya sendiri. Dia menghabiskan hari itu dengan menangis dan menangis. Memilih terkurung di kamar, malas melewati pintu kamar jika hanya mendapati para penjaga.
.
Tok tok tok
.
Ells mengabaikan suara itu. Dia sedang duduk di meja rias dengan sebelah tangan bertumpu di meja sambil memijat kening sementara sebelah lagi mengelus bekas tancapan pisau di meja rias. Wajahnya muram, berbanding terbalik dengan matahari yang terik di luar.
Tiga kali ketukan berulang tiga kali dan tetap tidak berbalas.
Merasa terabaikan, pintu bergerak dan berderit lemah mengantarkan Bi Imah masuk sambil membawa nampan.
"Non, sudah siang. Makan dulu."
Ells tetap abai. Bi Imah terus berjalan ke arah majikannya. Dia melatakkan nampan itu di hadapan Ells. Tangannya sudah bergerak ingin menghalau isi nampan ketika dia teringat anak di dalam rahimnya. Berkedip satu kali, dia berusaha menahan isak sedih yang makin terasa mengiris sukma. Tangannya mengepal mengejang kaku demi tidak bergerak mengelus anak yang terlindungi di dalam daging dan kulitnya.
"Makan dulu, Nona." Melihat majikannya semakin sendu, Bi Imah makin melembutkan suara. "Sedikit saja. Tadi pagi pun Nona tidak makan."
Ells menunduk semakin dalam. Tanpa bisa dia cegah, setetes air matanya jatuh, menyusul tetes-tetes yang lain. Tangannya semakin erat mengepal. Dia begitu ingin menyentuh apa pun yang berhubungan dengan Airlangga.
Bi Imah tak kurang akal. Dia mengambil sendok dan menyendok sedikit bubur lalu berusaha menyuapi Ells. Tangannya terhenti di depan wajah Ells yang masih menunduk.
"Nona, buka mulut Nona."
Hanya demi satu nyawa lain yang berbagi tubuh dengannya Ells akhirnya mau membuka mulut. Bi Imah menarik napas lega. Bersemangat, dia menyuapi Ells.
![](https://img.wattpad.com/cover/357534445-288-k671452.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
3, Kala Cinta Menyapa
Romance[Lereng Gunung Bromo, Hindia Belanda, 1831] . "Lalu untuk apa kau menculikku? Membawaku begitu jauh ke tengah hutan?" Diam. Senyap. Ells menunggu jawaban penculiknya. DIa benar-benar butuh jawaban itu untuk kemerdekaannya. "Ayahmu membunuh kakekku."...