BERLARI dan terus berlari hingga habis tenaganya, sesak napasnya.
Dia tidak menyangka, dia selemah ini. Cinta yang hadir dengan cara yang menakjubkan, sekarang melukainya.
Aku tak siap untuk sesakit ini.
Ells menikah.
Bunuh saja aku.
Jika mati bisa menghilangkan semua sakit, bunuh saja aku!
Dia tidak menyangka berita ini yang dia terima. Dia hanya berpikir bahwa Ells tidak dilepas pergi. Tapi menikah dengan lelaki lain, sungguh, dia tidak pernah berpikir ke sana. Ells tidak pernah sama sekali menyinggung lelaki lain sepanjang kebersamaan mereka. Dia bahkan berkali-kali mengatakan tentang kekebasan dari ayahnya dalam hal memilih pendamping.
Ini gila!
Ini bisa membuatnya gila!
Dia terus berlari. Terengah bukan karena lelah. Kepalanya begitu penuh, hatinya begitu sesak. Dia hanya ingin melarikan diri seakan tidak pernah mendengar berita itu. Tapi suara-suara dua wanita itu seakan terus mengikuti langkahnya. Berdenging jelas di telinga. Wajah-wajah mereka pun masih sangat jelas. Semua itu membuat dia sulit mengelak dari kenyataan yang tadi dia terima.
Beningnya sendang menghentikan pelariannya. Airlangga menceburkan diri ke bening dan segarnya sendang. Berharap air bisa melarutkan laranya. Biar duka itu pergi menggelontor bersama air terjun lalu menghilang mengikuti aliran sungai, terus pergi sampai ke muara, bersatu dengan semua luka ke laut dalam. Tenggelam, lalu menghilang.
Dia menyelam sampai habis napasnya. Seakan dia tidak ingin keluar ke permukaan. Dia ingin tenggelam saja. Namun insting bertahan hidupnya membuat dia kembali mencuat ke permukaan untuk mengambil napas. Berkali-kali seperti itu, membuat dia makin terengah. Lelah dan kali ini benar-benar kehabisan napas.
Dia ingin tenggelam dan sendang ini lebih menyakitinya. Sejuknya air menyegarkan ingatannya akan Ells. Dia tidak bisa menenggelamkan kenangan itu. Dia tidak bisa mengusir pergi semua dari kepalanya. Semakin dia berusaha menenengalamkan kenangan, semakin kuat ingatan itu mencuat ke permukaan.
Ells dan sendang. Ells, sendang, dan anak di dalam kandungan Ells. Tiga hal yang menyatu menjadi sebuah keindahan. Kebersamaan mereka di sini begitu indah dan membekas. Kebersamaan yang sebentar tapi tidak akan bisa dia hilangkan.
Sebuah surga yang hilang.
Kebersamaan mereka, kerinduan ini, percintaan mereka, melebur dan muncul satu per satu seperti bunga di musim semi. Semua itu semakin memenuhi pikirannya, semakin membuatnya teriris. Sakit. Teramat sakit sampai dia merasa mati rasa. Inikah puncak rasa sakit itu? Inikah puncak kehilangan itu? Kali ini dia harus kehilangan dua orang sekaligus.
Dan anak itu? Dia bahkan belum sempat bertemu. Apakah dia bisa bertemu anak itu? Anak yang menyatukan mereka tapi anak itu juga yang membuat mereka berpisah.
Salahkah keputusannya kemarin? Apa dia seharusnya tidak menyuruh Ells pulang? Haruskah dia menyesal sekarang? Menyesal sekarang tiada guna. Semua sudah terjadi. Ells sudah pergi dan akan menikah dengan lelaki yang sederajat dengannya. Apalah dia si inlanders penculik. Dia tidak akan bisa disandingkan dengan mereka. Bukan dia yang membuat batas itu, tapi kecongkakan mereka. Mereka yang merasa lebih tinggi dari yang lain. Karena itu dia selalu menghindari mereka, tak butuh pengakuan mereka. Tapi kenapa dia malah jatuh cinta pada salah satu dari mereka?
"DANIELLAAAAAAA...." Airlangga berteriak membangunkan semua makhluk yang sudah bersiap beristirahat.
Mengamuk, dia memukuli air, menarik pokok tanaman, menggulingkan bebatuan, berteriak mengeluarkan gundahnya.
Tapi, sampai lelah tubuhnya, sampai habis tenanganya, sampai putus napasnya, sampai keringat ikut bercampur bersama air, dia masih tidak bisa menerima berita itu.
Ini gila!
Dia sungguh tidak menyangka berita seperti ini yang akan dia terima. Ini terlalu sakit. Dia tidak siap untuk sesakit ini.
Ells, kau anggap apa aku? Sekadar penculik ragamu? Aku penculik hatimu. Aku, Ells. Aku yang menculik hatimu. Kusimpan dan kujaga hatimu. Jika hatimu sudah kumiliki, kenapa kau mau menikah dengan pria lain. Kau anggap apa aku? Kau anggap apa kebersamaan kita? Percintaan kita. Anak kita. Anakku! Itu anakku, Ells! Anakku! Tak kuizinkan lelaki lain menjadi ayahnya. Anakku!
Dia terus mengamuk dalam hati sambil terus menghancurkan hutan. Matahari sudah semakin rendah. Siang kembali akan pergi. Malam kembali akan menjelang. Sudah setengah hari Airlangga mengamuk tapi marahnya tetap tidak mau pergi. Entah kepada siapa marah itu dia tujukan.
Kepada Ells? Ells yang akan menikah dengan lelaki lain ketika mereka sudah menikah. Apa Ells sudah gila? Bagaimana bisa dia menikah dengan lelaki lain?
Kau istriku, Daniella Darma!
Airlangga kembali mengamuk. Tak ada makhluk lain yang berani mendekat. Ikan pun bersembunyi di lubuk paling tersembunyi di sendang itu. Burung-burung terbang menjauh. Tupai dan kelinci berlompatan pergi. Meninggalkan Airlangga berdua saja dengan marah dan gundahnya.
Marah, sedih, dan terutama kecewa melemahkan Airlangga. Ditambah tak pernah makan dan berlari sepanjang jalan menuju sendang. Tenaganya habis. Dia bahkan tidak bisa mengangkat tubuhnya. Tidak bisa atau tidak mau? Dia terkapar lelah dan merana di batu. Batu yang sama tempat dia selalu memandikan Ells.
Dia begitu lemah. Dia bahkan tidak bisa menahan tetes air yang jatuh dari matanya. Dia tidak lagi mengamuk di sendang yang airnya bisa menyamarkan air mata. Lemah, tidak berdaya menghentikan laju air mata, dia membiarkan dirinya menangis dengan tubuh tergeletak pasrah di atas batu.
Menangis.
Inilah puncak kelemahannya.
Lelaki tidak menangis, Angga.
Itu kata kakeknya ketika dia masih berupa bocah kecil yang babak belur akibat berkelahi dengan Udayana. Seakan baru kemarin kakeknya mengelus rambut untuk menghiburnya. Kali ini tidak ada yang menghiburnya. Dia benar-benar sendiri. Menangis dan sakit.
Sekarang aku menangis, Kek. Aku sakit, Kek. Bukan Dayana yang membuat tubuhku babak belur. Tapi Daniella yang membuat hatiku hancur lebur. Kakek tidak ada untuk tahu bagaimana rasanya terluka hati.
Menangis.
Airlangga tidak pernah menangis. Tapi Ells membuatnya menangis.
Menangis.
***
Malam sudah sangat pekat. Bulan sudah mulai menyabit. Tapi cahayanya cukup untuk menemani Airlangga merenung duduk bertopang dagu di ambang jendela.
Dia sedang berusaha menghabiskan ubi jalar. Ubi sisa semalam, masih akan tersisa untuk esok jika dia makan seperti itu. Dia terlalu tekun melamun sampai lupa mengunyah lupa menyuap.
Dia masih sedih, masih sakit, dan masih sangat kecewa pada Ells dan pada hidup yang harus dia jalani. Tapi melamun bisa membuat halimun di kepalanya menipis. Sakit itu masih sangat teasa, tapi berkepala jernih membuat dia bisa berpikir dari sisi yang lain. Sisi Ells yang sekarang ada di rumah ayahnya. Sisi Ells yang melanggar janji.
Mungkinkah Ells memberikan hatinya pada lelaki lain jika hatinya sudah kumiliki? Mungkinkah Ells bersedia menjadi wanita untuk lelaki lain jika dia sudah kumiliki? Mungkinkah cintanya masih bersisa untuk lekaki lain jika cintanya sudah semua kumiliki? Tidak! Itu bukan Daniella. Itu bukan Ells-ku. Ells-ku akan selalu setia. Tak akan berpaling.
Lalu berita itu?
Jika kemarin dia tidak bisa datang sesuai janjinya, dan sekarang dia akan menikah? Tidakkah itu berarti dia terpaksa? Itu lebih mungkin. Sangat lebih mungkin.
Ya...
Ells terpaksa. Ayahnya memaksanya. Itu yang membuatnya melanggar janji. Itu yang membuat aku mendengar berita yang membuatku gila. Dia tidak menerima pernikahan itu. Dia terpaksa. Ells tidak mungkin mengecewakanku. Aku tidak boleh kecewa padanya. Cinta kami tetap utuh. Tidak ada yang bisa mengubah rasa itu.
Sebuah pemikiran sederhana yang akhirnya menjadi obat tidur mujarab untuknya.
***
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
3, Kala Cinta Menyapa
Romance[Lereng Gunung Bromo, Hindia Belanda, 1831] . "Lalu untuk apa kau menculikku? Membawaku begitu jauh ke tengah hutan?" Diam. Senyap. Ells menunggu jawaban penculiknya. DIa benar-benar butuh jawaban itu untuk kemerdekaannya. "Ayahmu membunuh kakekku."...