TANPA Ken Arok pun tak perlu waktu lama untuk mereka sampai di desa. Ini pengalaman pertama Ells berkuda tanpa pelana pun pengalamannya pertama berkuda berdua sedekat ini. Sangat menyenangkan. Sepanjang jalan dia tertawa-tawa. Airlangga sangat menjaga laju Ken Arok agar tidak menyakiti kandungan Ells. Mereka tidak diburu waktu. Mereka begitu menikmati kebersamaan ini.
Pulang.
Airlangga begitu merindukan rumah dan keluarganya. Dia ingin berlari, apalagi keberadaan Ken Arok yang gagah bisa membuatnya melesat pulang, tapi ada istri dan anak yang harus dia jaga. Tangannya nyaris tak lepas dari perut Ells.
Airlangga semakin memperlambat laju Ken Arok ketika mereka memasuki desa. Dia menghentikan Ken Arok tepat di depan rumahnya—rumah kakeknya, tepat di samping rumah pamannya.
Derap tertahan dan ringkikan Ken Arok membuat penghuni rumah—Paman Tirta dan Rindang—bersegera keluar, bersamaan dengan Airlangga yang membantu Ells untuk turun.
"ANGGA! ANAKKU...!" teriak Paman Tirta, spontan ketika melihat siapa yang datang. Dua orang itu berlari bergegas menerobos perdu yang menjadi batas pemisah dua rumah itu.
Berbalik, Airlangga langsung menjatuhkan dirinya di hadapan Tirta, pamannya, satu-satunya orangtuanya yang tersisa. Bersimpuh, dia menghormat. Pamannya membungkuk memeluk kemenakan yang berbulan-bulan tidak berkabar. Setelah beberapa saat Tirta menarik Airlangga bangun dan memeluknya erat.
"Tuhan ... terima kasih..." desah pamannya. Dia sangat-sangat bersyukur sampai hanya ucapan itu yang bisa keluar dari celah bibirnya.
Ells diam berdiri di samping Ken Arok. Kuda itu begitu jinak bahkan pada Ells. Dia membiarkan Airlangga melepas rindu dengan keluarganya. Dia bisa merasakan kelegaan keluarganya melihat Airlangga kembali dengan sehat tanpa kurang apa pun.
Kecuali bekas luka itu ....
"Kau sehat, Nak?" tanya Paman Tirta sambil melepaskan pelukannya untuk mengamati dengan lebih jelas tubuh Airlangga. Dia mengabaikan bekas luka itu.
Wajar. Apa yang dia lakukan sangat berbahaya. Menentang penguasa sama artinya menantang maut. Semua luka itu tidak berarti, yang penting anakku pulang masih bernyawa.
"Sehat, Paman. Dan sepertinya Paman pun sesehat aku."
"Paman sehat, dan menjadi sangat sehat karena kepulanganmu."
"Kakanda ..."
Airlangga menoleh ke sumber suara yang lembut dan mendayu. Dia hanya tersenyum melihat Rindang sudah berurai air mata.
"Aku pulang, Dinda." Airlangga bergerak sedikit untuk berhadapan dengan Rindang.
"Tapi—" Tangan Rindang terjulur ingin menyentuh bekas luka di dada Airlangga.
Airlangga menggerakkan tangannya untuk menenangkan adiknya, dia baru saja hendak membuka mulut ketika sebuah suara berteriak memanggil namanya...
"ANGGAAA...!!!"
Udayana.
Berlari sambil menjatuhkan rusa buruannya, bergegas menghampiri sahabatnya.
Mereka berhadapan sesaat, terbelalak, terkesima, lalu saling melemparkan tubuhnya, memeluk erat satu sama lain, dan saling memukul punggung satu sama lain dengan pukulan lelaki yang mematikan. Membuat Airlangga sedikit berkeryit. Luka itu masih meninggalkan nyeri.
"Maaf, Angga. Aku terlalu bahagia kau pulang." Udayana melepaskan pelukannya. Lalu melihat lebih jelas luka-luka di sekujut tubuh Airlangga.
"Tak apa. Sudah sangat berkurang sakitnya. Aku pun tadi lupa sakit itu karena terlalu bahagia."
KAMU SEDANG MEMBACA
3, Kala Cinta Menyapa
Romance[Lereng Gunung Bromo, Hindia Belanda, 1831] . "Lalu untuk apa kau menculikku? Membawaku begitu jauh ke tengah hutan?" Diam. Senyap. Ells menunggu jawaban penculiknya. DIa benar-benar butuh jawaban itu untuk kemerdekaannya. "Ayahmu membunuh kakekku."...