MATAHARI sore masih menerobos di sela-sela dedaunan. Hangatnya menyiapkan bumi untuk dinginnya malam. Alam begitu indah, ramah menyambut pemilik rumah.
Di sanalah mereka.
Berdiri, dengan kepala menengadah ke atas, dan jemari saling menggenggam erat.
Rumah pohon.
Rumah kecil beruang satu, tanpa sekat, tanpa perabot. Hanya ada kehangatan kasih di atas sana.
Airlangga semakin mengeratkan genggaman tangannya. Tak lekang matanya menatap rumah yang lebih tepat disebut gubuk itu. Rumah yang dia dan Udayana buat untuk mereka menikmati hutan.
"Kita sampai, Ells..."
Ells menarik napas. Setelah sekian lama dia lupa bernapas, terlalu terpesona melihat keindahan di atas sana. Bergerak melepaskan genggaman tangannya, untuk memeluk tubuh Airlangga. Menyurukkan wajah di dada lelakinya.
Impiannya menjadi nyata.
Bersama Airlangga, di rumah ini, mengambil belati.
"Kau ingin naik sekarang?" Sebelah tangannya memeluk bahu Ells, dan sebelah lagi membelai punggung wanitanya. Dia tak mendengar jawaban dari pertanyaannya. Hanya gerak mengangguk di dadanya yang dia rasa.
Tersenyum, dia meraih sulur. Dan Ells, tanpa perlu melihat apa pun, langsung bergerak untuk memeluk Airlangga dari belakang, melingkarkan kakinya di pinggang Airlangga. Meletakkan kepalanya di bahu dan memeluk erat leher Airlangga.
Tersenyum samar, Airlangga menoleh sedikit, sekadar menangkap kilau cahaya dari mata Ells, dia mengecup ringan lengan Ells. Lalu mulai memanjat.
***
"Angga..." Ells berdiri takjub di ambang pintu. Matanya menatap ke sekeliling ruang kecil itu. Matahari sore memberi sinar dramatis ke seluruh ruang.
Kenapa sesuatu yang begitu sederhana bisa sedemikian terlihat indah dan menawan?
Airlangga tak tahu harus berkata apa. Berdiri di belakang Ells, tangannya memeluk Ells dari belakang, menyandarkan kepalanya di bahu Ells.
"Kita sampai..."
Diam.
Senyap.
Menikmati kebersamaan mereka. Sesuatu yang abadi terentang di hadapan mereka. Menanti di ujung harapan, sebuah keindahan dari kebersahajaan alam.
Sepi.
Saat kata-kata tenggelam di lubuk hati. Terisolir dari keriuhan pikiran. Tertinggal di belakang hari.
Memang tak ada yang perlu terucap. Semua tergambar nyata. Jelas. Tak menyangka bisa berada di rumah ini. Rumah perlambang penyatuan mereka.
Sungguh, Airlangga tidak menyangka bisa melihat rumah ini lagi terlebih bersama Ells. Teringat bagaimana pasrahnya dia pada jalan nasib menuju takdir, dia merasa sangat terberkati dengan keberadaan mereka di sini.
"Di mana kau sembunyikan belatimu?" bisik Ells memecah kesenyapan, membuat Airlangga bergerak melepaskan pelukannya.
Dia bersimpuh di depan meja kecil, tempat dia biasa menulis. Ells ikut bersimpuh di sampingnya. Lalu dia mengangkat meja itu, memindahkannya ke sudut lain. Tak perlu bergerak bangun. Ruangan itu sangat kecil. Cukup memutar pinggang sedikit, lalu mendorong, meja itu sudah sampai di sisi lain.
Ada lubang kecil, hanya cukup dimasuki satu ujung jari di lantai papan. Dia memasukkan telunjuknya di lubang itu, lalu menarik lepas papan penutup lantai. Sebuah rongga kecil berisikan dua buah bungkusan kulit.
![](https://img.wattpad.com/cover/357534445-288-k671452.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
3, Kala Cinta Menyapa
Romantizm[Lereng Gunung Bromo, Hindia Belanda, 1831] . "Lalu untuk apa kau menculikku? Membawaku begitu jauh ke tengah hutan?" Diam. Senyap. Ells menunggu jawaban penculiknya. DIa benar-benar butuh jawaban itu untuk kemerdekaannya. "Ayahmu membunuh kakekku."...