104, [END] Epilog 3: Harmoni Alam

19 2 0
                                    

AKU terlalu sering mendengar jeritan teredam kenikmatan Ells. Bahkan dinding batu tebal ini masih menyisakan ruang untuk telinga tua ini mendengar suara itu.

Apa pun yang pemuda itu lakukan pada anakku, sepertinya Ells sangat menyukainya. Sangat menikmatinya hingga terlihat di pagi hari, Ells bangun dengan wajah merona segar.

Brawijaya sudah lelap, terlalu lelah bermain membuatnya langsung tidur bahkan sebelum kepalanya menyentuh bantal dengan baik. Menyisakan van Loen yang masih merapikan selimut cucunya.

Dia sama sekali tidak membuang waktu! Pemuda yang energik.

Van Loen tertawa dalam hati. Itu pula sebabnya dia selalu berusaha merayu Brawijaya agar mau tidur bersamanya.

Hhmm....

Sebenarnya tidak perlu merayu Brawijaya. Cucunya selalu mau tidur bersamanya. Cucu selalu dekat dengan kakeknya, bukan? Apalagi jika memiliki cucu seperti Brawijaya. Van Loen tidak ingin menyia-yiakan waktunya untuk dekat dengan cucunya.

Kau ingin memiliki adik, bukan? Biarkan ayah dan ibumu berusaha untuk itu.

Opa tidak pernah bertanya urusan itu. Tak perlu. Opa tahu bagaimana kerasnya usaha ayahmu untuk memberikan adik buatmu.

Van Loen tersenyum sambil terus membelai rambut cucunya.

Pemuda itu—inlanders yang menculik anaknya—telah menculik hati anaknya juga. Dan sekarang, van Loen jatuh cinta pada menantunya.

Dia melihat dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana Airlangga memperlakukan anak kesayangannya. Di tahun kelima pernikahan mereka, van Loen selalu melihat mata cinta di setiap pandangan kasih mereka. Airlangga begitu memanjakan Ells, dan Ells begitu memuja suaminya.

Bagaimana Airlangga membuat Ells yang manja dan perajuk menjadi begitu penurut.

Anak ini pun selalu membantunya, baik di belakang meja maupun di lapangan. Dia membantu membuatkan laporan untuknya, dia pun sigap di ladang. Itu belum termasuk membantunya mendekati bangsanya, menjadi duta untuknya. Hal yang sulit dilakukan oleh orang lain. Hanya Airlangga yang begitu lentur, masuk ke seluruh bagian bangsanya. Menyatu, tanpa perlu kekerasan.

Bahkan, sudah begitu banyak kuda liar yang berhasil dia jinakkan. Dia seperti memiliki hubungan khusus dengan semua hewan. Dia akan mengelus dan berbisik di telinga kuda yang akan dijinakkan. Lalu menungganginya tanpa pelana. Tak perlu waktu lama, kuda itu pun akan sejinak kucing rumah.

Seorang pemuda keras, tangguh, tapi berhati lembut. Mungkin itu pula cara yang dia lakukan untuk merebut hati Ells.

Kelembutannya.

Jika binatang saja bisa luluh, tak heran jika Ells pun luluh pada kelembutan itu. Dan sekarang inlanders itu melakukan itu juga pada seorang van Loen. Anak itu pandai menempatkan diri. Dia tahu kapan harus keras dan tegas, tapi saat kelembutan diperlukan, dia akan menjadi sangat lembut.

Airlangga, walaupun selalu membantu mertuanya, tapi dia selalu menolak pemberian dari van Loen. Menurutnya, kewajiban seorang anak membantu orangtua. Dan bukan kewajiban orangtua untuk memberikan sesuatu pada anaknya yang telah dewasa.

Walau van Loen mengatakan, apa yang dia berikan adalah sepadan atas bantuan yang sudah Airlangga lakukan, tetap saja Airlangga menolak.

Jadi, apa pun yang Ells makan, apa pun yang Ells kenakan, itu adalah murni hasil keringat suaminya di ladangnya. Ladang warisan turun temurun tanpa campur tangan van Loen.

Airlangga bekerja begitu keras di ladang dan di kebun. Mengumpulkan semua jerih payahnya untuk anak dan istrinya. Sehingga Ells tetap bisa berlaku layaknya wanita Eropa walau tanpa bantuan ayahnya.

Ells memang payah untuk urusan dapur dan memasak. Tapi dia sangat terampil dengan jarum dan benang. Semua pakaian mereka adalah hasil tangan terampilnya.

Oh, mungkin sedikit yang Airlangga terima dari mertuanya adalah bahan pakaian. Van Loen selalu menyediakan bahan untuk Ells menikmati kegemaran menjahitnya. Jadilah lemari mereka penuh pakaian yang jarang mereka pakai. Bahkan Ells membuatkan Rindang gaun! Gaun yang hanya Rindang lipat rapi di lemarinya. Mana mungkin dia mencari tanaman obat di hutan memakai gaun seperti itu!

Ells yang aneh.

Tapi Ells sering membuatkan Rindang kebaya. Kebaya yang dibuat dengan pola dan metode eropa. Jadilah kebaya yang unik, sangat cantik untuk dipakai sehari-hari. Membuat Ells sangat dimanja oleh Udayana dengan cara membawakan kelinci khusus untuk Ells jika dia berburu ke hutan. Ells selalu menyukai kelinci yang dibakar oleh Airlangga. Dan bisa dipastikan, dia tidak akan kekurangan untuk itu.

Sangat bisa dipastikan....

***

Terengah, sama-sama terengah-engah. Airlangga benar-benar menyiksa Ells dalam siksaan kenikmatan.

"Tuhan, kenapa kau selalu senikmat ini, Angga?" Ells masih berusaha mengatur napas, tangannya terus membelai punggung basah Airlangga di atasnya. Airlangga masih tersaruk di atasnya, tak sanggup bergerak.

Tak sanggup dan tak mau.

Dia membiarkan Ells membelai punggungnya. Ells bisa merasakan bekas luka itu, tapi kabut kenikmatan membuainya. Membuatnya lupa asal luka yang teraba tangannya.

"Hahh! Tadi kau larang aku berbicara seperti itu," protes Airlangga di telinga Ells. Masih tersaruk di lekuk lehernya, di antara rambut keemasannya.

"Tadi aku tak tahan, Angga. Aku sudah sangat dekat dan kau berbicara. Aku takut kau lupa bergerak."

"Mustahil!"

"Dan sekarang aku tak tahan, kau selalu saja menyenangkan, Angga." Tangannya yang membelai punggung Airlangga bergerak mengangkat wajah Airlangga. Dia suka melihat kabut kenikmatan memudar di mata hitam itu. Dia yang membuat mata sehitam malam itu berkabut, bercahaya, berpendar semakin indah.

Wajahnya terangkat untuk mengecup mata itu.

"Matamu indah, Angga." Airlangga sudah menyangga tubuhnya dengan sikunya. Tak mungkin membiarkan Ells berlama-lama menahan berat tubuhnya.

Dia membiarkan Ells menikmati matanya. Hal sama yang sedang dia lakukan. Mata biru itu begitu indah. Tenang seperti danau tak beriak. Seperti langit siang tanpa awan. Berkabut jernih, sisa kenikmatan yang dia berikan.

Tersenyum, dengan tangan Ells tetap merangkum wajahnya, dan tangannya—walau sikunya menahan tubuhnya—membelai rambut Ells. Mereka saling menatap. Menikmati indahnya perbedaan mereka.

Selalu saja seperti itu, dua pasang mata indah saling menatap dalam tatapan penuh kasih. Saling memuja. Waktu memang terus bergerak, waktu jugalah yang menemani mereka mengisi hari dengan penuh kasih. Hari berganti, musim pun berganti, tapi cinta itu tetap melekat di antara mereka. Kehadiran Brawijaya semakin membuat mereka tak terpisahkan. Menatap anak itu, seperti menatap masa depan.

Mereka selalu takjub dengan digdaya waktu menumbuhkan kehidupan. Brawijaya membesar dengan kebahagiaan utuh seorang bocah. Dia memiliki segala hal yang seorang anak impikan. Airlangga mendidik anak itu dengan tangannya sendiri.

Di sini, di bumi ini, ternyata semua bisa hidup berdampingan. Manusia dengan warna-warni kulit dan perbedaan bahasanya memang diciptakan untuk menjaga makhluk lain dengan kemampuan otaknya. Semua hidup bersama dalam harmoni alam. Bahagia dengan kehidupannya sendiri.

Airlangga dan Daniella, dua anak manusia berbeda leluhur sudah membuktikan itu.

Kala cinta menyapa, pelangi terbentang indah, menjadi penghias hidup. Dan menjadi kehidupan itu sendiri.

***

End

@2014


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 04, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

3, Kala Cinta MenyapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang