"KAU kedinginan, Ells?" Tanpa menunggu jawaban, Airlangga menyambar kain yang ada lalu menyelubungi tubuh Ells.
Ells memang menggigil, tapi bukan kedinginan. Tubuhnya meremang oleh sentuhan jemari Airlangga. Dan kabut di mata itu mengganggunya sangat.
Ells tak tahan dengan keberadaan dinding itu. Bergerak, duduk di pangkuan Airlangga, dia merobek dinding itu. "Ada apa, Angga?" tangannya menangkup wajah mendung Airlangga. "Ada apa?"
Sesak.
Ells semakin serius menatap Airlangga. Isi kepalanya berputar mencari jawaban, berusaha menebak beban kabut di mata Airlangga. Sangat tidak menyangka pagi pertama setelah bersatu harus menghadapi lelaki berwajah sendu.
Airlangga hanya mampu menghela napas. Melonggarkan ikatan yang menyesakkan rongga dada. Berusaha mengosongkan beban. Tapi tak bisa. Dadanya masih terasa penuh. Masih terasa membebat menyesakkan. Ternyata, pernyataan cinta itu membuat dadanya terasa sesak, tidak hanya oleh cinta, tapi juga oleh rasa yang lain.
Perlahan Airlangga menyentuhkan dahinya ke dahi Ells. "Aku cinta kau, Ells." Berbisik, lemah tanpa daya.
Ells tersentak mendengar ketidakberdayaan itu. Angga-nya yang selalu kuat, bertahan dari semua hal. Kenapa cinta yang seharusnya menguatkan justru melemahkannya?
"Ya .... Aku tahu. Aku pun mencintaimu, Angga ..." Ells ikut berbisik, nyaris kembali terisak. Pasti ada yang dia pikirkan. Pasti ada yang mengganjal di hatinya. Apa pun yang mengganggu Airlangga, ikut mengganggunya. "Ada apa, Angga?" Pertanyaan yang belum terjawab.
"Ells..." mendesah berat, "bagaimana membangun jembatan untuk menghubungkan bumi dan langit?"
"Maksudmu?"
"Kita, Ells. Kita. Aku dan kamu. Terlalu jauh." Mendesah, lemah kehilangan daya. Pikirannya buntu tak menemukan jalan.
Tersentak, Ells bergerak mundur, menjauhkan wajah mereka berdua. Perlahan Airlangga mengangkat wajahnya. Membuat Ells mampu menatap tajam mata gelap yang berkabut. Mata itu meredup.
Itu rupanya yang menjadi kabut di mata indah itu.
"Itu yang mengganggumu, Angga?" Ells berusaha mencari jawaban di mata redup itu.
Airlangga berkedip satu kali. Keningnya berkeryit bahkan kepalanya meneleng, menatap Ells sungguh serius. Lalu dia mengangguk lemah satu kali.
"Maka dekatkanlah."
"Bagaimana caranya?"
"Apa dengan begini masih kurang dekat? Aku sudah menyerahkan tubuhku untuk kau tandai. Milikmu. Harus bagaimana aku?"
"Terlalu rapuh."
Ells meradang, bergerak meninggalkan pangkuan Airlangga. "Kau kira apa aku ini, Angga? Dengan mudahnya menyerahkan tubuhku padamu. Apa itu belum cukup buatmu? Kau lelaki pertamaku. Kau tahu itu. Aku menjaga tubuhku. Mungkin tidak begitu denganmu. Berapa banyak wanita yang sudah kau tiduri? Sehingga apa yang kulakukan kau sebut terlalu rapuh." Napasnya tersengal, kecewa. Matanya mulai berkaca-kaca. Ucapan Airlangga menyakitinya sangat.
"Kau wanita pertamaku, Ells. Percayalah. Aku lelaki memang tak berbekas, tapi kau yang pertama."
"Lalu kenapa kau berpikir seperti itu?" Ells mulai terisak. Membuat Airlangga bergerak bersimpuh di depannya.
"Jangan menangis, Sayang." Dia merengkuh tubuh bergetar itu. "Jangan menangis." Memejamkan matanya rapat. "Aku sudah terlalu sering membuatmu menangis. Kumohon, tidak ada lagi air mata sekarang."
"Tapi kau menyakitiku lebih sakit daripada ketika kau menculikku." Ells tetap terisak di dada Airlangga. "Dulu kau hanya menyakiti tubuhku. Aku marah ketika kau menuduh Papa, tapi kali ini, hatiku sakit dengan ucapanmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
3, Kala Cinta Menyapa
Storie d'amore[Lereng Gunung Bromo, Hindia Belanda, 1831] . "Lalu untuk apa kau menculikku? Membawaku begitu jauh ke tengah hutan?" Diam. Senyap. Ells menunggu jawaban penculiknya. DIa benar-benar butuh jawaban itu untuk kemerdekaannya. "Ayahmu membunuh kakekku."...