TAPI Airlangga sudah begitu lemah. Dia tidak sanggup lagi membuka mata. Semua tanda vital di tubuhnya memburuk. Denyut nadinya melemah, wajahnya semakin pias. Napasnya pendek bernapas satu satu.
Panik, meraba tubuh Airlangga. Suhu tubuhnya terasa lebih tinggi dari normal. Bi Imah ikut panik. Dia memastikan Airlangga tetap bernapas dengan meletakkan punggung telunjuknya di depan lubang hidung Airlangga.
"Non, dia lemah sekali."
"Iya, Bi. Anggaku sakit." Ells kembali menangis. "Apa yang harus aku lakukan, Bi?"
"Panggil saja lagi Tuan Dokter Karel, Non. Biar dia memeriksanya lagi."
Tanpa berkata apa-apa lagi, Ells berlari ke ruang kerja van Loen. Dia menerobos masuk tanpa mengetuk pintu.
"Om Karel," Ells menarik tangan dokter itu. "Angga ... Angga ..." Dia tidak bisa berkata-kata. "Tolong Angga, Om."
Dokter Karel sigap berdiri diikuti van Loen. Bertiga mereka berderap ke kamar Ells.
"Bagaimana, Bi?" tanya Ells cepat pada Bi Imah yang duduk menjaga Airlangga.
"Napasnya lemah sekali, Non."
Ells kembali meraung.
"Ya Tuhan, Angga. Bertahanlah, Sayang." Ells berdoa di samping Dokter Karel yang serius bekerja. "Tadi dia ... dia ..." Ucapannya kembali tak utuh. Dia ingin mengatakan pesan Airlangga sebelum tak sadar. Pesan yang sangat menakutkan.
"Angga kenapa, Om?"
"Dia kekurangan cairan. Lukanya pun infeksi."
"Robert tidak memberi dia makan sama sekali. Bahkan minum pun tidak. Tiga hari, Om."
"Astaga, Tuhan .... Robert ingin membunuh anak ini."
Ells kembali meraung.
"Berdoalah, Ells. Semoga anak ini bisa bertahan."
"Om!"
Ells jatuh terduduk di tepi ranjang. Dia kembali merasakan sengatan di perutnya. Membuat panik Bi Imah dan van Loen. Dokter Karel harus mengurus dua pasien sekaligus.
Ells tidak menangis. Hanya airmatanya terus meleleh tak bisa dia tahan. Sepanjang Dokter Karel mengobatinya, tangannya tak lepas memegang tangan Airlangga yang masih tak sadarkan diri. Pesan terakhir Airlangga terus berdenging.
Kebahagiaan di depan mata membayang pergi. Air mata Ells meluncur makin deras tanpa isak. Van Loen kembali hancur.
***
"Anak itu sekarat, Robert."
Terperangah sejenak, Robert kembali mengeraskan hati.
"Aku memang ingin membunuhnya, Om. Kalau dia sekarang mati, Ells kembali menjadi milikku."
"Tapi Ells sekarang juga sakit, Nak."
"Hah?"
Van Loen mengacak wajahnya. "Om takut, Nak. Takut sekali."
"Apa Om serius akan menikahkan mereka?"
"Kalau pilihannya seperti itu, Om terpaksa memilih menikahkan mereka. Maafkan Om, Nak. Om sungguh-sungguh menyesal dan terpaksa mengambil jalan ini."
"Kalau anak itu mati?"
Van Loen menggeleng lemah.
"Om takut Ells menyusulnya. Melihat anak itu sakit, Ells langsung sakit juga. Om takut, Nak."
Robert mendengus kasar.
"Om akan berbicara langsung dengan papamu, Nak. Om harap kalian mengerti."
Robert mendengus main kasar.
KAMU SEDANG MEMBACA
3, Kala Cinta Menyapa
Romance[Lereng Gunung Bromo, Hindia Belanda, 1831] . "Lalu untuk apa kau menculikku? Membawaku begitu jauh ke tengah hutan?" Diam. Senyap. Ells menunggu jawaban penculiknya. DIa benar-benar butuh jawaban itu untuk kemerdekaannya. "Ayahmu membunuh kakekku."...