BINGGO!!!
Anjing itu pasti bisa membaui majikannya. Topan segera mencari anjing itu. Meninggalkan majikannya berdiri lemah di tiang ranjang.
Tak lama, Topan dan Binggo datang. Topan meletakkan secarik kain berdarah di hidung Binggo. Dia juga memberikan bantal putri majikannya untuk Binggo cium.
Hidung golden retriever seperti Binggo mungkin tidak sebaik penciuman herder. Tapi Topan yakin, hidung Binggo jauh lebih berguna daripada hidungnya.
"Cari Ells, Binggo." Van Loen berkata lemah.
"Guk."
Binggo melesat dengan hidung nyaris menyentuh tanah. Dia berputar-putar di depan dan di dalam rumah sebelum akhirnya mengarah ke belakang rumah. Ke sudut pagar. Menggonggong ke arah atas. Ke arah pohon beringin. Di sana dia terus berputar-putar sambil sesekali menggonggong.
***
"Non Ells diculik, kemungkinan dibawa masuk ke hutan," lapor Topan pada van Loen sebagai hasil kerja Binggo.
Meski sudah menyiapkan diri untuk kemungkinan terburuk, mendengar hutan, tetap saja Van Loen merasa tidak hanya tulangnya yang menghilang tapi juga nyawanya.
"Kalau begitu, kerahkan semua untuk masuk hutan."
"Baik, Meneer."
"Kenapa kau di sini?"
"Apa tidak lebih baik kita lapor polisi, Tuan?" usulnya.
"Biar saya yang melapor. Kau pergi bersama yang lain!" desis van Loen. "Cari Ells. Sampai dapat!" Matanya menatap tajam kepala keamanannya.
Topan berubah menjadi tornado. Berlari menyusul pasukannya yang sudah dia siapkan.
"Panggil semua sekarang," perintah Topan.
Pasukannya langsung membubarkan diri dan berlari memanggil teman-temannya yang sedang tidak bertugas jaga. Tak lama, semua sudah berkumpul meski nyaris setengah di antaranya masih bermuka tidur dan berusaha menahan kuap.
Tanpa banyak kata, pasukan kecil itu berlari menuju hutan dipimpin Binggo dan Topan yang memegang tali kekangnya. Anjing pintar itu menggonggong gembira seakan sedang diajak bermain.
Mendekati tepi hutan, lari Binggo makin cepat tapi Topan justru menarik tali kekangnya membuat anak buahnya memperlambat laju.
"Menyebar. Cari apa pun yang bisa dijadikan petunjuk."
Pasukan itu langsung bekerja di bawah tatapan satu sosok yang memandang mereka dengan sangat tekun. Udayana hanya perlu berhati-hati saja, mereka sungguh ribut, semua terdengar jelas dari tempatnya menunggu. Dia berusaha naik lebih tinggi untuk menutupi tubuhnya dengan daun dan ranting. Selama tidak ada yang berpikir menoleh bahkan mencari ke atas, dia aman.
Dia terus menunggu, sampai sebuah suara lantang menguasai ruang di sana.
"PAK..." Seseorang berlari sambil mengacung-acungkan tangan. "LIHAT INI!"
Yang lain langsung berlari mendekat, Udayana pun menajamkan matanya ke sumber suara tapi dia tidak dapat melihat jelas apa yang ditunjukkan orang itu pada teman-temannya. Tak lama, kerumunan itu kembali menyebar. Beberapa kali mereka berkumpul seperti tadi lalu terasa mereka bergerak semakin menjauh dari tepi hutan tempat Udayana menunggu.
Sampai akhirnya dia bisa menyimpulkan bahwa mereka menemukan carik-carik kain yang tadi dia sebar ulang sebagai pengecoh. Dia sangat bersyukur dia tiba lebih dulu di sini. Meski dia yakin apa yang Airlangga sudah lakukan bisa sangat memperlambat laju pergerakan tim pencari, tapi apa yang sudah dia lakukan akan menambah kepeningan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
3, Kala Cinta Menyapa
Romance[Lereng Gunung Bromo, Hindia Belanda, 1831] . "Lalu untuk apa kau menculikku? Membawaku begitu jauh ke tengah hutan?" Diam. Senyap. Ells menunggu jawaban penculiknya. DIa benar-benar butuh jawaban itu untuk kemerdekaannya. "Ayahmu membunuh kakekku."...