LAGI-lagi van Loen melamun menatap hutan melalui ambang jendela. Hatinya makin teriris ketika dia tahu anak gadisnya sudah tidak ada di hutan itu. Entah sekarang Ells ada di mana. Sudah nyaris dua purnama berlalu sejak mereka menemukan dua pasang jejak kaki mengarah ke luar hutan. Itu pun mereka terlambat sepekan. Umur jejak itu nyaris sama dengan jejak di timur.
Ah, andai saja sejak awal aku mendengar saran Robert, tentu Ells lebih mudah terlacak. Mungkin Ells baru sehari atau dua hari meninggalkan hutan. Sepekan waktu yang cukup lama untuk melarikan diri.
Verdomme!
Van lLoen terus menyesali dan memaki.
.
Tok tok tok
.
Van Loen tidak terganggu. Jika itu Robert, anak itu akan masuk tanpa perlu suara mengizinkan masuk dari dalam.
.
Tok tok tok
.
Suara mengetuk lagi. Bukan Robert.
"Kom binnen."
Pintu itu baru terbuka setelah van Loen mengizinkan masuk.
"Apa aku mengganggumu, Fred?"
Van Loen langsung menoleh. Melihat William berdiri di tengah ruang, senyum tipis mengembang dan dia langsung menyambut sahabatnya itu.
"Ah, tentu tidak. Aku tidak sedang melakukan apa-apa. Bagus kau datang." Mereka bersalaman dan saling menepuk bahu ala lelaki.
"Apa yang kau lakukan di ambang jendela?" tanya Fred berhati-hati.
Van Loen mengedikkan bahu.
"Tidak ada."
Jawaban yang membuat der Passe menarik napas panjang. Semua tahu apa yang van Loen pikirkan selama ini. Hanya anak gadisnya yang membuat lelaki tua itu sering melamun terutama di ambang jendela menatap hutan. Di ruang kerja dan di kamar Daniella sama saja.
"Aku tahu apa yang kau pikirkan. Tapi semua sudah mencari Ells. Bahkan Van den Bosch pun sudah diberi tahu. Dia kan menyuruh seluruh wilayah mencari Ells." Der Passe terus memperhatikan van Loen. Sahabatnya ini mendadak terlihat jauh lebih tua dan ringkih. Bahunya melorot, matanya meredup. Dia mengerti, untuk mendapatkan Ells, van Loen harus menunggu sangat lama, lalu ketika Ells datang, dia harus merelakan istrinya pergi tanpa sempat melihat anak yang mereka tunggu.
"Ah, apa yang dia tahu? Dia baru beberapa tahun di Hindia Belanda."
"Mungkin dia tidak banyak tahu, tapi dia punya kuasa."
Van Loen mendengus.
"Dia hanya berkuasa di kota. Dia bisa menyuruh semua pasukannya mencari. Tapi apa dia bisa mencari ke hutan?"
"Tentu saja bisa. Dengan kuasanya, dia bisa menyuruh siapa pun mencari sampai ke hutan terdalam."
"Tapi bahkan titik di hutan terluar pun belum kita temukan." Van Loen makin ingin menangis. "Di mana Ells sekarang pun kita tidak tahu. Jejak itu keluar hutan, lalu kembali menghilang total. Sama seperti ketika mereka masuk hutan." Van Loen menampar dinding, kesal.
"Seandainya ada yang bisa aku lakukan, Fred, pasti akan aku lakukan. Katakan, apa yang bisa aku bantu?"
Van Loen menggeleng lemah. "Terima kasih. Aku tahu kau akan melakukan apa pun untuk membantuku, tapi yang aku tahu, kita sudah melakukan semua yang kita bisa."
"Dan kita akan terus berusaha." Der Passa menepuk punggung van Loen, menguatkan sabahatnya.
"Seandainya sejak awal aku mengikuti saran Robert, tentu jejak keluar hutan itu lebih cepat ditemukan." Van Loen menarik napas panjang, bahunya makin melorot. Dia tidak pernah bisa berhenti menyesali kesalahannya yang satu ini. Mereka tidak bisa menemukan jejak di hutan, mereka menunggu mereka keluar, hanya itulah satu-satunya kesempatan dia menangkap si penculik. Dan yang satu kali itu tersia-siakan.
Der Passe pun sama. Dia menyesali keterlambatan mereka menemukan jejak itu. Dan itu terjadi hanya karena saran anaknya tidak mereka dengar. Selisih nyaris semimggu tentu sangat berarti.
"Sudahlah, Fred. Yang sudah berlalu tidak bisa kita ulang. Yang sudah terjadi tidak bisa diubah. Yang bisa kita lakukan sekarang hanya terus berusaha."
"Lalu usaha apa lagi? Aku sudah buntu, Fred." Kali ini van Loen menunduk, skunya menumpu di lutut dan dua tangannya menutup wajah. "Aku tidak bisa membayangkan apa yang Ells alami. Sudah hampir dua bulan. Ya Tuhan..."
Kembali, der Passe menepuk-nepuk punggung sahabatnya.
.
Tok tok tok
.
Der Passe menoleh ke arah pintu yang tanpa diizinkan langsung terbuka lalu sosok anaknya muncul di sana.
"Apa ada kabar baru, Nak?" tanyanya langsung dengan tangan masih di bahu van Loen.
Robert menggeleng sambil membanting tubuhnya ke kursi di samping dua orang tua itu. "Tidak ada."
Ayah dan anak itu saling menatap, saling berkata tanpa suara.
Ini nyaris tidak ada harapan lagi menemukan Ells.
"Apa tidak ada kabar dari kota-kota lain?"
"Setiap hari aku bergantiian bertanya ke kota-kota lain melalui pesan kawat. Tapi memang tidak ada kabar baru. Mereka pun berjanji mengabarkan secepatnya." Robert membanting punggungnya ke sandaran kursi. "Mungkin benar mereka sudah menyeberang pulau."
"Apa ada tanda-tanda mengarah ke sana?"
Lagi-lagi Robert menggeleng. "Kita bisa bertanya manifest pada kapal kita, tapi tentu tidak bisa melacak penumpang kapal-kapal atau perahu-perahu inlanders. Dan itu banyak sekali. Aku yakin, penculik itu dibantu sesama inlanders sepanjang pelariannya."
"Tentu. Kalau tidak, bagaimana mereka bisa bersembunyi selama ini? Sementara Ells sangat berbeda dengan mereka."
"Apa kita kurang banyak memakai mata-mata?"
"Tidak. Kita punya sangat banyak mata-mata. Mereka sangat mudah dipakai. Beri saja sedikit uang, mereka akan melakukan apa pun. Tapi memang tidak ada."
"Kau yakin?"
Robert mendengus kesal. "Ayah, semua rekan Ayah dan Om di semua kota di seluruh penjuru Hindia Belanda sudah mendapat kabar soal Ells. Mereka sudah mencari termasuk memakai mata-mata. Apa yang penculik itu lakukan sangat menghina kita. Dia seperti mengejek kita. Menculik anak pejabat Hindia Belanda lalu membawa kabur entah ke mana, tak terlacak. Semua ingin menangkap inlanders itu. Apa perlu kita buat Jawa bergolak lagi? Pemberontakan Onkowiryo baru selesai."
Ayah dan anak itu diam menyusul van Loen yang tidak ikut percakapan keduanya.
Sejak dipastikan Ells sudah keluar dari hutan, tim pencari berhenti mencari di hutan. Awalnya mereka masih mencari, siapa tahu ada jejak masuk hutan lagi. Wilayah pencarian diperluas, tapi jejak masuk tidak ada. Jejak itu menghilang di jalan menuju kota. Tidak ada jejak yang bisa terbaca di jalan tanpa tanah dan rumput. Menyusuri jejak di sepanjang tepi jalan? Itu lebih sulit daripada ketika mencari di tepi sungai.
Mereka pun sudah bertanya ke banyak sekali orang. Berharap ada yang melihat sepasang lelaki dan perempuan yang sangat berbeda fisik berjalan melintas di sekitar mereka. Tapi tidak ada.
Yang paling memalukan adalah mereka sampai meminta bantuan cenayang. Mereka terpaksa menerima usul Topan meski sangat malu dengan ide seprimitif itu. Semua mereka lakukan meski harus menanggung malu.
Dan apa kata cenayang itu? Dua orang itu berada di sekitar mereka, bersama pohon dan air.
Hah!
Tentu saja. Di mana-mana ada pohon dan air.
Dasar primitif!
***
Bersambung
Kom binnen (Belanda) = Silakan masuk
Van Den Bosch = Gubernur Jendral Hindia Belanda 1830-1839
KAMU SEDANG MEMBACA
3, Kala Cinta Menyapa
Romance[Lereng Gunung Bromo, Hindia Belanda, 1831] . "Lalu untuk apa kau menculikku? Membawaku begitu jauh ke tengah hutan?" Diam. Senyap. Ells menunggu jawaban penculiknya. DIa benar-benar butuh jawaban itu untuk kemerdekaannya. "Ayahmu membunuh kakekku."...