SEJAK pagi, Ells merasa sangat gelisah. Bahkan gelisah itu yang membangunkan dari tidur tak nyenyaknya. Dia tidak tahu apa. Memang kepalanya penuh pikiran yang menggelisahkan, tapi kali ini dia sendiri bingung apa penyebab gelisahnya. Mungkin terlalu banyak yang membuatnya gundah.
Gelisah, bahkan cenderung takut. Entah mengapa.
Dia butuh Airlangga untuk membuatnya tenang meski Airlangga menakutinya. Sebuah ironi bukan? Sangat aneh. Airlangga menakutinya tapi bisa membuatnya tenang. Di sini, semua tenang, semua berusaha membuatnya tenang, tapi malah menakutinya.
Tanpa mengingat itu pun dia selalu mengingat Airlangga. Namun kali ini, gelisah membuat dia merasa dia harus menghilangkan bayangan Airlangga. Karena semakin dia mengingat Airlangga, dia semakin gelisah.
Berjalan mondar-mandir sepanjang rumah. Melongok sembarang di semua jendela yang dia temui.
Kenapa aku segelisah ini?
Rumah kosong. Van Loen tidak di tempat. Hanya ada dia dan pelayan pengurus rumah dan tentu para penjaga yang ditempatkan van Loen di banyak titik di rumah besar itu.
Ells memutuskan kembali ke kamar.
Dia membanting tubuhnya di ranjang lalu teringat keberadaan anaknya, seketika dia merasa bersalah dan langsung mengelus perutnya.
Kali ini dia sendirian di kamar.
"Maafkan Ibu, Nak. Ibu tidak lupa kamu. Ibu hanya lupa kamu ada di dalam sana." Berbincang dengan anaknya menjadi satu-satunya hal yang menyenangkan ketika dia berjauhan dengan ayah anak itu.
"Apa kau baik-baik saja di dalam sana, Nak? Apa kau suka menu buatan Bi Imah? Ibu tahu kau tidak suka. Kau merindukan masakan ayahmu?" Mengingat ini, hatinya tercubit sakit. "Ibu pun sama. Tapi ayahmu tidak ada. Makanlah saja apa yang Bi Imah siapkan. Jangan membuat ayahmu cemas. Dia akan sangat sedih jika kau kenapa-kenapa di dalam sana."
"Apa kau tahu kabar ayahmu, Nak? Apa yang dia katakan? Apa dia baik-baik saja? Ibu takut, Nak."
Di titik ini Ells terisak. Dia tidak dapat menghentikan isaknya sampai dia jatuh tertidur. Tidur tak lelap ditemani mimpi tak jelas.
***
Airlangga berjalan pelan namun pasti. Tak ada hewan yang terganggu dengan keberadaannya. Seekor trenggiling tetap asik menghabiskan makan paginya ketika Airlangga melangkah di sampingnya. Seekor kelinci hanya terkejut lalu bersembunyi sesaat kemudian kembali lagi. Dia bahkan sempat berjalan beriringan dengan harimau. Dia terus melangkah, pelan namun pasti semakin mendekati titik tujuan.
Setiap langkahnya seakan menegaskan tekadnya.
Ells, aku datang, Sayang. Tak peduli berita apa yang kudengar, aku percaya padamu. Percaya pada cinta kita. Ells, aku datang, Sayang. Aku datang untuk menemuimu, sesuai janjiku. Aku datang untuk menggenapkan takdirku.
Akan kutemui kau sebagaimana seorang lelaki seharusnya menemui wanitanya. Jika bumi tidak mengizinkan kita bersatu, kutunggu kau di langit yang setia menanti cinta kita. Ells, aku datang, Sayang.
***
Berjalan pelan, Airlangga sampai di tepi hutan saat matahari sudah sangat tinggi. Tapi dia tidak peduli. Tidak ada lagi yang dia kejar. Tujuannya hanya satu dan yang satu itu bisa dia lakukan kapan saja dan berakhir kapan saja.
Di tepi hutan, Airlangga berhenti di bawah pohon akasia, saksi bisu perpisahan mereka. Di situ dia menancapkan tombaknya.
Di titik ini kutinggalkan senjata terakhirku. Akan kutemui wanitaku dalam damai. Di titik ini kami berpisah. Cintaku tertancap dalam menembus hatinya. Tertancap tak terpisah. Dalam damai, kuingin berjalan di atas pelangi. Ingin kuajak dia bersama. Kalau Langit belum mengizinkan kami berkumpul, kutunggu kau di ujung pelangi.
Dia menggenggam erat tombak yang sudah tertancap itu. Jika rencananya gagal, semoga Ells bisa ke sini dan menemukan tombak ini. Tidak ada lagi jejak yang tersisa darinya untuk Ells. Karena semuanya sudah dia berikan untuk perempuannya.
Perlahan, Airlangga berjalan menyusuri jalan setapak menuju rumah Ells. Di persimpangan menuju desanya, hatinya bercabang.
Bukan.
Dia tidak akan membatalkan niatnya menemui Ells, dia hanya ingin singgah sejenak untuk sekadar berpamit pada pamannya. Menghormat takzim meminta maaf atas semua yang sudah dia lakukan.
Maaf, aku tidak bisa bersama Paman lagi.
Matahari di puncak terangnya. Sinarnya menyilaukan mata. Airlangga bergegas meluruskan niat
Keluargaku akan tahu tentang aku. Udayana akan menemukan semua catatanku. Mungkin mereka akan mendengar tentangku dari kabar yang beredar.
Tanpa merasa perlu bergegas, dia melangkah menuju rumah Ells. Semakin mendekat, hatinya semakin menghangat.
Satu kali, Ells. Cukup satu kali, yang terakhir, aku ingin berjumpa denganmu. Sekadar melihat bening haru cahaya mata biru. Sekadar meyakinkan diriku bahwa kalian baik-baik saja.
Satu kali, Ells. Yang satu kali itu akan kutukar dengan satu-satunya nyawa yang kupunya. Satu kali, Ells. Agar kau yakin, aku sudah menggenapkan janjiku untuk menemuimu. Agar kau ingat janjimu untuk menemaniku di langit biru.
Satu kali, Ells.
Satu kali untuk yang terakhir.
***
Bersambung

KAMU SEDANG MEMBACA
3, Kala Cinta Menyapa
Romance[Lereng Gunung Bromo, Hindia Belanda, 1831] . "Lalu untuk apa kau menculikku? Membawaku begitu jauh ke tengah hutan?" Diam. Senyap. Ells menunggu jawaban penculiknya. DIa benar-benar butuh jawaban itu untuk kemerdekaannya. "Ayahmu membunuh kakekku."...