MATAHARI sudah sangat tinggi ketika Airlangga mengerjapkan mata. Cahaya matahari membangunkannya dengan silau dan kehangatan. Dia berusaha menggerakkan tubuh. Tapi tubuhnya seakan tak ada.
Ugh....
Sakit....
Kaku....
Perlahan, matanya mulai membuka.
Apa yang terjadi? Di mana aku?
Airlangga sedang berusaha mengumpulkan ingatannya yang tercerai-berai. Kepalanya berdenyut ketika berusaha mengingat.
Perlahan, ingatannya kembali. Hanya sampai dia terjatuh di mulut gua dan merangkak masuk gua dibantu tawanannya.
Tawanannya?
Mana dia?
Airlangga berusaha bergerak ketika menyadari tubuhnya terkubur pasir.
Ada apa ini?
Berusaha bangun, dia menyadari, tangannya yang tidak terkubur berada di genggaman tawanannya. Tawanannya tidur meringkuk setengah bersandar di stalagmit.
Airlangga menatap tawanannya dengan penuh haru. Gadis ini berjuang membantunya untuk bertahan.
Dan di sinilah dia sekarang, berhasil bertahan. Walau dengan tubuh yang masih sangat lemah, hingga keluar dari timbunan pasir seperti ini pun sulit. Perlahan, Airlangga menggerakkan tangan kanannya, tangan yang terkubur. Ketika dia berusaha melepaskan tangan kirinya dari genggaman tawanannya, genggaman itu menguat. Tak mau melepaskan tangan Airlangga.
Tersenyum, Airlangga berbisik, "Terima kasih, kau menemani, menjaga, dan mengurusku. Apa kau ketakutan semalam? Maaf aku tak bisa menemanimu semalam." Ibu jarinya bergerak lemah mengelus tangan yang menggenggam erat itu.
Akhirnya Airlangga berjuang membebaskan tubuhnya dengan satu tangannya yang bebas. Dia melihat luka cakar kera tertutup daun. Tersenyum, dia menoleh dan menatap ke gadis itu.
Kenapa dia menguburku seperti ini? Dia harus menggali pasir. Apa yang dia pakai untuk menggali? Ingatan terakhirku, aku menggigil. Berkeringat tapi kedinginan.
Oh, dia berusaha menghangatkanku dengan pasir ini.
Gadis cerdas.
Tubuhnya masih sangat lemah. Kepalanya masih berdenyut dan berputar. Tapi dia jauh lebih baik daripada kemarin.
Aku berhasil bertahan. Dengan bantuan gadis itu.
Akhirnya Airlangga berhasil melepaskan tangan kanannya dari timbunan pasir. Dia terus bekerja dengan satu tangan, perlahan menggali dan memindahkan pasir. Sampai kakinya bisa bergerak dan mempermudah usahanya. Ketika tangan kirinya lepas dari genggaman gadis itu, dia lebih leluasa bergerak sampai akhirnya dia total terbebas dari timbunan pasir.
Terengah, dia harus mengatur napasnya. Dengan pandangan berkunang-kunang dan kepala berdenyut berputar. Sungguh, dia tidak mengenali tubuhnya. Tubuhnya seakan terpisah-pisah. Merasa sangat lemah, dia begitu lemah tidak berdaya.
Hanya membebaskan diri seperti itu saja dia selelah ini. Dia tahu, tenaganya masih jauh dari normal. Masih dengan posisi telentang, dia terus mengatur napas. Ketika napasnya sudah lebih teratur, dia berusaha duduk.
Duduk bersila, tak jauh dari tawanannya, Airlangga mengambil sikap tapa. Semua gerakannya berupa gerak lambat.
Aku harus memulihkan tenagaku.
Duduk tenang menyatukan jiwa dan raganya dengan alam, Airlangga berusaha bernapas teratur. Beberapa saat yang senyap. Walau tubuhnya masih sangat lemah, tapi Airlangga merasa sakit di sekujur badannya jauh berkurang. Dia terus bernapas pelan dan teratur. Menghirup udara masuk ke paru-parunya. Merasakan darah mengalir di tubuhnya. Membersihkan sisa racun yang masih ada.
Sampai suara desis mengganggu konsentrasinya. Membuka matanya perlahan, dia melirik ke sumber suara. Dia mendapati seekor ular mendekat merayap mendesis-desis. Namun dia tak mampu bertempur melawan dengan tubuh selemah ini. Sedikit gerakan, ular akan terkejut dan langsung menyerang. Justru lebih beresiko.
Dia memilih diam. Membiarkan ular itu merayap di lutut kirinya, naik membelit ke perutnya, merayap di punggungnya, melilit ke dadanya, naik ke bahunya, lalu meluncur turun di antara tulang betisnya yang bertemu. Sangat perlahan. Dia hanya bisa berharap ular itu cukup puas bermain-main dengan tubuhnya. Dia tidak berani membayangkan jika gadis itu dijalari ular seperti ini.
Pada saat itulah dia mendengar tawanannya menggeliat bangun. Geliatnya perlahan menguat. Sementara dia terkungkung ular, tidak bisa bergerak.
"Sshh ... tidurlah lagi..." bisiknya dengan suara lembut berusaha meninabobokan.
Tapi gadis itu memilih terus menggeliat. Jantungnya berdegub cepat, dia bersiap mengambil resiko terburuk. Dia mengalirkan tenaga ke tangan kanannya, perlahan tangan itu menegang, bersiap menangkap kepala ular yang merayap di kakinya. Mungkin tubuhnya belum bisa bergelut dengan ular sebesar ini, tapi dia tidak ada pilihan lain. Matanya melirik mencari belati yang tidak dia temukan dalam jangkauan matanya terlebih dia harus membagi arah matanya dengan gerakan ular dan gadis itu. Jika terpaksa, dia harus berduel tanpa senjata dengan ular ini. Semoga tidak. Tenaganya masih sangat terbatas.
Dia hanya bisa bersiaga sambil menenangkan debar jantungnya. Khawatir ular itu bisa merasakan gerakan aneh di dadanya. Tangannya masih bersiaga, matanya masih mencari belati. Ketika itulah dia mendengar gadis itu terkesiap, bergerak cepat, beringsut mundur.
"Sshh ... tenanglah..." bisiknya ketika mendengar tawanannya bergerak gelisah.
Dia berbicara pada ular itu atau padaku? tanya Ells dalam hati.
Kedua-duanya.
Kembali, Ells menjadi batu. Menunggu tanpa tahu harus berbuat apa selain ketakutan yang sangat berhasil membuatnya sediam batu. Waktu seakan lupa bergerak. Membuat segalanya membeku dalam putaran hampa.
"Mana belatiku?" desis Airlangga bertanya.
"Ada padaku." Berbisik.
"Bagus. Pegang saja." Mendesis.
Setelahnya senyap. Menunggu dalam sikap siaga dan ketegangan maksimal. Waktu seakan lupa bergerak. Ells meringkuk, bahkan bernapas pun takut. Airlangga terus bersiaga meski tubuhnya terasa makin lemah. Dia seharusnya tidak boleh setegang ini. Ketegangan agak mengendur ketika ular itu merayap turuh dari tubuh Airlangga.
Semoga tidak menuju gadis itu.
***
Bersambung
![](https://img.wattpad.com/cover/357534445-288-k671452.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
3, Kala Cinta Menyapa
Romance[Lereng Gunung Bromo, Hindia Belanda, 1831] . "Lalu untuk apa kau menculikku? Membawaku begitu jauh ke tengah hutan?" Diam. Senyap. Ells menunggu jawaban penculiknya. DIa benar-benar butuh jawaban itu untuk kemerdekaannya. "Ayahmu membunuh kakekku."...