69, Bersedia

6 2 0
                                    

DI ruang kerja, van Loen berjalan mondar-mandir gelisah dan marah. Tidak terima anak semata wayangnya berlaku seperti itu.

Ells sudah gila!

Sudah berhasil kabur dari penculik malah ingin kembali ke si penculik. Dan siapa nama si penculik pun aku tidak tahu! Aku harus memaksa Ells membuka mulut. Van Loen terus merutuki kebodohan Ells meski cuma dalam hati sambil terus berjalan mondar mandir.

"Argh!"

Van Loen tiba-tiba menampar dinding diam sampai tangannya terasa perih. Tapi dia masih belum puas. Dia ingin mengamuk tapi mendadak dia merasa tubuhnya melemah seiring jantungnya yang berdetak tak normal.

"Masuk..." ujarnya kasar ketika mendengar suara ketukan di pintu.

Robert masuk perlahan.

Melihat Robert, van Loen membanting tubuh duduk di kursinya. Menutup wajah dengan kedua belah tangannya dan mendengus kasar. Dia berusaha menenangkan diri, menormalkan detak jantung termasuk mengumpulkan tenaga yang masih hilang.

"Om.... Apa om baik-baik saja?" Robert bertanya serius. "Om terlihat pucat." Dia menekuri wajah van Loen mcncari gejala lain. "Apa yang bisa aku lakukan, Om?" van Loen menggeleng. "Aku panggil Om Karel ke sini?" van Loen menggeleng lagi. "Om terlihat tidak baik-baik saja."

"Tolong mintakan teh hangat ke dapur."

Robert bergegas keluar. Dia berteriak memastikan pesanan itu sampai secepat mungkin lalu dia kembali ke ruang kerja, ke arah van Loen yang masih duduk lemas bersandar di kursi kerja.

"Om..." suara Robert terdengar penuh simpati dan empati. "Apa yang Om rasa?"

"Om sudah lebih baik, Rob. Terima kasih." Van Loen berusaha tersenyum dan menegarkan suara.

"Sebentar lagi tehnya datang." Dia tidak tahu harus menanggapi apa ketika dia melihat van Loen masih pucat dan lemah.

"Om, aku panggilkan Om Karel?"

"Tidak perlu, Nak. Om sudah lebih baik. Beri Om sedikit waktu menenangkan diri."

"Aku mengerti apa yang Om rasa. Apa yang tadi Ells katakan memang di luar dugaan. Dia bukan seperti orang normal."

"Om pikir Ells sudah gila." Van Loen kembali menggeleng meski tekanannya melemah.

"Mungkin." Robert mengedikkan bahu. "Hanya orang gila yang ingin kembali ke penculiknya."

"Maafkan Om, Rob. Om benar-benar jengkel pada Ells. Dan sangat-sangat marah pada inlanders br*ngs*k itu."

"Aku mengerti, Om. Inlanders itu memang tidak bisa diampuni. Entah apa yang dia lakukan untuk mencuci otak Ells." Robert punya alasan sendiri untuk marah. Wajahnya menunjukkan kegeraman yang sangat.

"Terima kasih, Nak. Om sangat bingung. Ini seperti mimpi buruk saja."

"Apa yang bisa kubantu, Om?"

"Om tak tahu, Om bingung. Ells berkata bahwa mereka sudah menikah."

Robert sampai harus berpegangan pada lemari di sampingnya ketika mendengar kalimat itu. Kalimat yang dia dengar sungguh terasa aneh di telinga.

"Tapi Om tidak mengakui pernikahan itu!"

Robert memang menarik napas lega tapi dia malah makin merasa aneh.

"Tapi kau tahu, apa yang telah terjadi pada dua orang yang mengaku sudah menikah kan?" Pertanyaan retoris yang Van Loen ucapkan dengan mendesah frustrasi, mendengus geram, mengerang marah. Sedangkan Robert? Tak tahu apa yang dia rasakan mendengar wanita yang dia puja sudah ...

"Om sangat yakin, inlanders itu sudah menodai Ells!" Van Loen benar-benar ingin membunuh inlanders itu. "Dia menodai anak gadisku! Verdomme!" Van Loen kembali merasa tubuhnya limbung. Dia ingin sangat ingin mengingkari kesimpulannya sendiri, tapi logikanya berkata itu tidak mungkin. Bahkan hati kecilnya pun mengiyakan.

Di saat yang bersamaan, ketukan di pintu mengantar pesanannya masuk. Robert sigap membantu van Loen menyesap teh hangat. Teh itu pasti tidak mengobati sakit hatinya tapi paling tidak teh itu bisa menurunkan ketegangannya. Harum teh melati menguar bersama hawa lereng gunung yang masuk melalui jendela bersama embusan angin. Vam Loen menyesap dan membaui aroma teh sambil menenangkan diri mengatur napas.

"Terima kasih, Nak. Om sudah jauh lebih baik." Dia merasa harus mengatakan itu ketika melihat wajah Robert masih sangat mencemaskan dirinya.

Semburat merah memang sudah mulai mewarnai wajah van Loen.

"Syukurlah kalau begitu, Om." Van Loen mengangguk. "Baiknya Om beristirahat di kamar. Tidur, Om."

Van Loen menggeleng sambil mendesah berat.

"Mungkin Om memang sudah lebih baik, tapi Om tidak akan bisa tidur, Nak. Ells benar-benar keterlaluan! Om akan kerahkan semua orang untuk mencari penculik itu. Tembak di tempat. Om tidak butuh dia hidup."

"Lalu, apa rencana Om untuk Ells?"

"Apa rencanaku?" Van Loen balik bertanya dengan wajah perpaduan antara heran dan pasrah. "Apa yang bisa direncanakan oleh orangtua yang anaknya telah ternoda? Tidak ada, Robert. Tidak ada." Van Loen benar-benar putus asa akan masa depan anak gadisnya.

Kembali, dia ingin mengamuk. Kenapa bisa Ells sampai melepas semuanya untuk orang itu? Apa orang itu memerkosa Ells? Ah, sepertinya tidak. Orang itu memperdayai anakku!

Kurang ajar! Verdomme! Dia ingin melontarkan semua makian yang dia kenal. Tapi dia merasa tubuhnya melemah lagi. Tapi dia cepat mengusai diri dengan tetap diam mengatur napas.

Aku harus tenang, aku butuh ketenangan untuk berpikir. Van Loen terus berbicara dengan dirinya sendiri menenangkan dirinya sendiri.

Diam.

Senyap.

Van Loen masih berusaha bernapas normal. Ulah Ells kali ini di luar akal sehatnya. Dia sungguh-sungguh butuh waktu untuk menenangkan diri.

"Om..." Suara pelan tapi tegas Robert membuyarkan lamunan van Loen. Napasnya masih belum teratur tapi tidak lagi menderu. "Apa Om akan memberi restu jika aku bersedia menikahi Ells?"

Terperangah, van Loen tidak berkata apa pun. Napasnya kembali tidak teratur dan menderu kasar ketika detak jantungnya kembali menguat. Membuat dia hanya menatap kosong pada sosok pemuda di depannya. Sosok pemuda impian seorang ayah untuk dijadikan menantu.

"Robert...?"

"Aku bersedia menerima Ells apa adanya." Tegas.

"Robert...?"

"Aku yakin, Om." Robert menjawab pertanyaan tak terucap dari van Loen. Dia menatap lurus ke dalam mata van Loen, berusah meyakinkan.

"Robert...?" van Loen balas menatap. Dia menelisik setiap kemungkinan Robert berbohong untuk kesembuhannya.

"Aku mohon restu dari Om. Restui kami, Om. Akan kunikahi anak gadis Om."

Diam.

"Om...?" tak sabar menunggu jawaban. "Bolehkan aku menikahi Ells? Aku mencintai Ells sejak pertama aku melihatnya." Suaranya mulai terdengar ragu demi melihat diamnya van Loen.

"Tentu aku bersedia, Robert. Tapi apa kamu yakin? Ells sudah..." Van Loen tidak bisa meneruskan ucapannya.

"Aku yakin, Om. Aku mencintai Ells apa adanya. Aku menerima Ells apa adanya."

"Tuhan... Terima kasih...." Van Loen menangkupkan kedua tangan di dada.

Tuhan selalu baik. Dia memberi cobaan, tapi Dia langsung memberikan solusi terbaik. Terima kasih.

"Kapan kau akan menikahi Ells?" Van Loen bertanya hati-hati. Masalah waktu pun hal yang krusial.

"Secepatnya, Om."

Robert tidak ingin penculik itu mengacak-acak pestanya. Waktu yang lama berarti waktu lebih dia menyusun rencana.

"Tuhan, terima kasih. Om setuju. Kau bisa meikahi Ells kapan pun, Nak."

***

Bersambung


3, Kala Cinta MenyapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang