78, Pamit

6 2 0
                                        

AIRLANGGA terbangun dengan pikiran sejernih air di sendang. Tidurnya lelap sekali membuatnya agak terlambat bangun dari biasanya. Kicau burung dan cahaya matahari yang berhasil menerobos daun, ranting, dan lubang angin yang membangunkannya. Tidur yang lelap membuat tubuhnya segar, seulas senyum terukir di wajahnya.

Sebuah senyum kepasrahan.

Aku akan menjalankan takdirku sesuai goresan penaNya.

Tidak ada yang memburunya. Dia menikmati pagi yang indah. Geliatnya pelan, gerakannya lambat. Dia membuka jendela dan kembali tersenyum melihat langit menembus daun dan ranting. Suara burung semakin ramai. Seekor burung bahkan sangat berani hinggap di ranting yang sangat dekat dengannya lalu berkicau di sana. Membuat Airlangga terkekeh sambil menjulurkan tangannya. Burung itu begitu jinak, dia diam saja dibelai jemari Airlangga. Sampai burung itu merasa bosan lalu kembali terbang. Airlangga merasa kehilangan teman.

Tak mau terlarut terlalu lama, dia duduk bersila dan semakin menyatukan dirinya dengan alam. Bernapas teratur merasai darah mengalir di tubuhnya bersama udara yang sangat bersih.

Dia ingin menghentikan waktu untuk menikmati pagi itu. Tapi sebuah janji membuatnya berhenti. Perlahan dia membuka mata. Tatapannya redup meski tetap berisi. Cahayanya memang memudar, tapi tatapannya tetap tajam. Seulas senyum tipis terbentuk. Senyum lembut untuk alam, tanda terima kasih.

Dia sudah siap menjalani keputusannya.

Airlangga mandi, semandi-mandinya. Sebersih-bersihnya. Mencukur rambut yang tumbuh berantakan di wajah.

Memakai kain terbaik yang dia miliki.

Dia duduk dan mulai menulis.

.

Udayana, Sahabatku, Saudaraku.

.

Jika kau membaca surat ini, aku sudah tak bersamamu di dunia.

Maaf untuk semua khilafku.

Terima kasih untuk persahabatan kita.

Surat ini hanya agar kau tahu satu hal.

Daniella Elizabeth van Loen, dia istriku, dan anak yang dikandungnya adalah anakku.

Kutitipkan dia padamu.

Mereka.

Aku akan menjemput takdirku.

Jika memang demikian Langit menulisnya untukku, akan kuhadapi takdirku sebagai lelaki.

Kita akan berjumpa lagi. Sahabat tidak akan terpisah oleh bentang alam.

Sampaikan salam hormatku untuk Paman Tirta. Dan salam sayangku untuk Adinda Rindang.

Dan tolong sampaikan pesanku pada Daniella, aku mencintainya, sangat. Kutunggu dia di ujung pelangi.

.

Maaf...

Terima kasih...

.

Airlangga

.

Dia membaca ulang isi surat itu sambil membayangkan sahabatnya. Sahabat terbaiknya sejak kecil. Sudah begitu banyak hal-hal menarik yang mereka lakukan bersama. Bermain, belajar, berkelahi, menjelajah .... Nyaris semua dia lakukan dengan Udayana. Dia yakin, ada yang Udayana lakukan untuk melindungi ulahnya. Begitulah sahabat, meski Udayana sangat menentang pilihannya, tapi ketika dia bersikeras, seorang sahabat tidak akan membiarkan sahabatnya jatuh sendiri.

3, Kala Cinta MenyapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang