FWB: 19

78 18 3
                                    

Setelah puas dengan mengamati, kedua orang tua Joy baru berdiri untuk menyambut Jefri. Alvian juga ikut berdiri, kecuali sang adik, dia terlalu fokus dengan oleh-olehnya.

"Selamat malam om, tante, saya Jefri," kini gantian Jefri yang memperkenalkan diri secara langsung.

"Oh, saya ayahnya Joy dan ini bundannya. Makasih ya udah mau antar Joy sampai rumah."

"Iya om, sama-sama. Sebenanya saya mau minta maaf, sudah bawa Joy sampai larut malam."

"Nggak papa, yang penting dia pulang dengan selamat. Oh iya, mumpung di sini pada kumpul, kamu kenalan juga sama mereka," tunjuk sang ayah kepada Chandra dan Alvian.

"Yang berdiri itu Alvian, sahabat Joy dari kecil, tetangga seberang rumah, udah seperti anak sendiri dia." Ayah memperkenalkan Alvian.

Jefri yang dikenalkan dengan Alvian, mau tidak mau harus kembali memperkenalkan diri. Lelaki itu berjalan mendekati Alvian dan menawarkan untuk berjabat tangan selagi bekenalan.

"Jefri, salam kenal."

"Alvian, sahabatnya Joy dari kecil," balas Alvian.

"Buat yang duduk itu, kamu kenalan sediri aja," lanjut Ayah.

"Hai dek, aku Jefri."

"Aku Chandra. Panggil nama aja, nggak usah pakai dek. Geli dengernya Kak."

"Oke. Jadi Chandra ya."

"Yap."

Setelah berkenalan, Ayah menyuruh Jefri untuk duduk bergabung  dengan mereka. Katanya nanti sekalian membawakan lelaki itu sedikit oleh-oleh dari kampung halaman.

"Kalian ini baru kenal ya?" tembak Ayah Joy.

Ayahnya tahu banyak kebiasaan putrinya. Jika baru kenal dengan orang, pasti akan terlihat sekali interaksi canggungnya. Dan Joy menunjukkan sikap itu saat bicara dengan Jefri.

"Iya om, kami baru kenal semingguan."

"Kalian satu kantor?" kini ganti Bunda yang bertanya.

"Bukan, saya kebetulan kerja di tempat lain."

"Loh gimana bisa kenal?" Bunda bertanya kembali, setelah mendapat jawaban dari Jefri tadi.

"Jeka yang kenalin kita berdua Bun," Joy yang menjawab.

"Oh gitu, pantesan kok bisa kenal."

Kini jam semakin malam, Joy takut juga jika Jefri mendapat pertanyaan aneh dari orang tuanya. Sepertinya ia harus segera membuat alasan untuk membuat Jefri pulang.

"Ayah, bunda kayaknya ini udah malam. Jefri juga kayaknya harus pulang, besok kan kerja," Joy beralasan.

"Oh, kalau gitu ini kamu bawa oleh-oleh ya Jef." Bunda membungkuskan sebuah oleh-oleh berupa makanan ringan untuk Jefri.

"Makasih Tante."

Jefri langsung berpamitan pulang setelah dibawakan oleh-oleh. Ini juga sudah terlalu larut, memang sudah waktunya untuk pulang.

"Yah, tadi sampai rumah jam berapa?" tanya Joy. Ia penasaran, karena jam segini orang tuanya masih bongkar oleh-oleh. Dugaan Joy, pasti mereka juga baru sampai rumah habis magrib atau mungkin sebelumnya.

"Jam enam kayaknya, sebelum Chandra pulang," jawab sang Ayah.

"Terus kok Vian bisa udah di sini aja."

"Bunda yang panggil." 

"Oh, kalau gitu Joy mau ke kamar dulu. Mau mandi," pamit Joy.

"Iya sana."

Joy pergi dari ruang santai menuju kamarnya. Ia menaruh tas kerjanya di meja, lalu mulai mengambil baju santai di lemarinya. Kemudian barulah ia masuk kamar mandi, dan melaksanakan agenda membersihkan diri.

Mungkin hanya perlu waktu sepuluh menit hingga Joy selesai mandi. Ia mandi menggunakan air dingin yang segar, karena tubuhnya sangat gerah. Ia memakai perawatan wajahnya sebelum keluar dari kamar.

Joy kembali menuju tempat di mana semua orang berkumpul tadi. Ternyata Alvian juga masih berada di sana. Ia pikir lelaki itu sudah pulang.

"Cowot tadi itu yang mau kamu kenalin ke ayah?" tanya sang ayah secara tiba-tiba. Jujur saja itu memang benar, tetapi Joy tidak menyangka sang ayah langsung tahu niatnya.

"Iya mungkin," Joy menjawab terbata.

"Sampai segitunya kamu menolak perjodohan?" sang Ayah kembali memanasi.

Joy terkejut Ayahnya langsung straight forward membahas perjodohan. Dan di sini masih ada Alvian, padahal hal ini adalah rahasia yang ia tutupi dari sahabatnya itu. Sungguh ayahnya tidak bisa melihat situasi.

"Ayah, jangan bahas itu sekarang," balas Joy tidak nyaman.

Joy melirik sedikit ke arah Alvian. Lelaki itu nampak tidak peduli dengan obrolannya dengan sang ayah. Namun, Joy kenal Alvian lama. Pasti lelaki itu mencuri dengar, kini ia tinggal siap-siap saja disidang oleh Alvian.

"Ayah, bunda, ini oleh-olehnya udah Vian bungkus. Jadi Vian mau pamit pulang dulu," tiba-tiba Alvian memecah ketegangan antara Joy dan ayahnya.

"Lho, buru-buru banget Vi," Bunda menyahut.

"Iya nih bun, kan sudah cukup malam besok juga ada shift pagi."

"Oh ya sudah, makasih ya mau bantu bongkar-bongkar barang. Salam untuk mamamu," ujar Bunda.

"Siap bun, assalamualaikum," Alvian memberi salam sebelum beranjak pulang.

"Waalaikumsalam," kami semua menjawab.

Setelah kepergian Alvian, ada sebuah keheningan di ruangan ini. Namun, selang beberapa saat Ayah kembali menanyai putrinya.

"Jujur saja, ayah kurang setuju kamu sama Jefri," ungkap sang Ayah.

"Kenapa gitu? Kan Ayah juga baru kenal, siapa tahu memang kami jodoh."

"Ayah lebih senang jika kamu sama seseorang yang ayah pilih."

"Nggak, Joy nggak mau."

"Ayah, biarin lah Joy mencoba dulu dengan Jefri. Bunda lihat juga, Jefri orangnya baik," Bunda berusaha meyakinkan Ayah untuk mendukung putrinya bersama lelaki pilihannya sendiri.

"Hm, ya sudah terserah kamu. Yang jelas, sampai hubungan kalian tidak berhasil. Kamu harus langsung setuju dengan pilihan Ayah."

Joy langsung terdiam dengan perkataan sang Ayah. Pada akhirnya nanti, jika ia tidak serius dengan Jefri. Ia harus rela melanjutkan perjodohan?

Astaga, kenapa nasibnya begini sekali sih. Kenapa juga sang ayah tiba-tiba jadi otoriter begini masalah jodohnya. Ia sekarang hidup di jaman modern, di mana pernikahan bukanlah tujuan hidup utama. Kini bahkan kebanyakan perempuan menikah di umur tiga puluhan.

"Terserah ayah aja," balas Joy dengan sebal. Ia segera berlalu dari hadapan ayah dan bundanya. Ia memilih istirahat di kamarnya daripada melanjutkan topik yang membuatnya sangat muak itu.

Kini ia juga harus berpikir lagi untuk membuat hubungannya denga Jefri bisa berjalan ke arah yang serius. Tetapi dalam hati kecilnya, Joy belum yakin dengan Jefri, lelaki pilihannya sendiri.

Namun hal bagusnya, ia jadi tidak punya tenggat untuk pelaksanaan perjodohannya. Setidaknya ia bisa mencoba mengenal lebih dalam sosok Jefri. Meskipun nanti jika hubungan itu tidak berhasil, ia akan membuat backup plan lagi. Sepertinya meminta pertolongan kepada Alvian tidak buruk. Kadang sahabatnya itu punya penyelesaian masalah terbaik. Alvian juga punya skill untuk membuat Ayah lebih lunak. 

Memikirkan tentang Alvian, Joy jadi teringat kejadian tadi. Sahabatnya itu terlihat agak marah saat tahu bahwa Joy akan dijodohkan. Joy jadi khawatir kalau besok akan diintrogasi oleh Alvian.

To be continue

Hai, kalian lebih setuju Joy sama Jefri apa sama Alvian?
Kalau ingin tahu kelanjutannya, stay tune di book ini ya. Jangan kemana-mana karena authornya nanti sedih kalau ditinggal.
Makasih, kalian bisa dukung buku ini dengan kasih vote dan komen kalau berkenan.

Help! [Ongoing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang