FWB: 24

88 12 0
                                    

Sesampainya mereka di rumah sakit, Alvian langsung berlarian menuju ruangannya. Sedangkan Joy, hanya mengikuti apa yang dilakukan Alvian. Dengan penampilan khas baju olah raga, mereka terlihat seperti atlet pelari. Bahkan sampai orang-orang menoleh melihat ada dua orang berlari kencang di koridor rumah sakit.

"Joy, lo tunggu aja di sini selama gue masih di ruang operasi. Karena ini ruangan khusus punya gue, jadi santai aja," Alvian memberikan petuah untuk sahabatnya itu.

Lelaki itu masuk ke bilik kamar mandi di ruangannya. Ia perlu membersihkan diri sebelum masuk ke ruang operasi. Untung saja, ia selalu menaruh seragam rumah sakit cadangannya disalah satu lemari di ruangan itu.

Joy yang melihat bagimana paniknya Alvian hanya bisa diam. Mau bertanya pun ia sungkan. Ada hal yang lebih penting daripada menjawab pertanyaannya. Alvian harus segera ke ruang operasi, gadis itu jadi ikutan prihatin membayangkan ada anak kecil yang terbaring lemah di ruangan operasi.

Ia duduk disalah satu sofa di ruangan itu, sambil menunggu Alvian keluar dari kamar mandi. Baru saja ia ingin bermain ponsel ada suara ketukan pintu yang cukup keras, mengganggu kegiatannya.

Joy melangkah cepat ke arah pintu dan segera membukannya. Ia menemukan sosok suster di balik ketukan pintu itu. Suster itu menatapnya kaget dan aneh.

"Siapa? Kenapa kamu bisa ada di ruangannya Doker Alvian?" tanya suster itu penuh curiga.

Joy yang mengerti jika ia dalam situasi salah paham, langsung menjawab dengan hati-hati. "Maaf suster, ini tadi saya cuma ikut dokter Alvian ke rumah sakit. Tenang aja suster, Alvian masih di kamar mandi untuk membersihkan diri."

"Memang kamu siapanya dokter Alvian, kok bisa sampai ikut," Suster itu kembali mencerca Joy.

"Saya sahabatnya sekaligus tetangganya suster—"

Belum juga selesai bicara, keberadaan Alvian yang sudah rapi dengan seragam operasi warna hijau membuat suster itu memotong penjelasan Joy.

"Dokter Alvian, para suster yang lain sudah menunggu di ruang operasi. Mari segera ke ruangan," ajak suster itu kepada Alvian.

Joy tahu jika mereka berdua itu sedang terburu-buru, tetapi bukan berarti suster itu berhak memotong penjelasannya. Ia jadi sebal sendiri, bahkan suster itu ia pergoki melihatnya dengan sinis. Apa yang salah dari ikut teman? Alvian juga sudah mengizinkannya untuk stay di ruangan itu dan menunggu sampai operasi selesai.

Joy kembali memainkan ponselnya untuk kambali menetralkan rasa marahnya. Dengan iseng ia membuka ruang percapannya dengan Jefri. Ia sepertinya sudah agak lama tidak bertemu pria itu, trakhir kali saat Jefri mampir ke rumah dan dibawakan oleh-oleh dari Bunda.

'Ting'

Astaga! Joy rasanya ingin teriak. Tiba-tiba saja ada sebuah pesan masuk dari Jefri, saat ia masih membaca chat mereka yang lalu. Apakah ini sebuah takdir? Ia jadi sedikit merinding dengan kebetulan yang baru saja dialami.

[Jefri]

Hai Joy, lama nggak jumpa. Mau ketemuan malam ini? Lagi sibuk nggak?

[Joy]

Hai juga Jef, mau ketemuan di mana? Weekend ini aku free kok.

[Jefri]

Pas sekali, aku mau ajak kamu ke kafe temenku yang baru launching. Siap-siap jam 7 malam ya, aku jemput ke rumah.

[Joy]

Eh, nggak ngerepotin jemput aku? Aku bisa kok bawa mobil sendiri, kasih aja alamatnya.

[Jefri]

Aku nggak repot sama sekali. Hitung-hitung supaya kita tambah dekat.

[Joy]

Baiklah kalau begitu, aku tunggu di rumah ya.

[Jefri]

Oke, see u.

Setelah kenal dengan Jefri, Joy jadi lebih sering keluar rumah. Lelaki itu selalu mengajaknya ketemuan jika ada waktu. Joy jadi yakin, kalau Jefri memiliki ketertarikan lebih padanya. Bukankah itu bagus? Joy jadi bisa menawarkan hubungan yang lebih serius nanti.

Sedari awal, melihat Jefri. Joy cukup nyaman dengan lelaki itu, sehingga ia memutuskan untuk membuka hatinya untuk Jefri. Lelaki itu masuk dalam kriteria calon suami impiannya, sudah tampan, mapan, dan sopan kepada perempuan. Dari sikap Jefri yang selalu peka, Joy jadi yakin untuk terus melanjutkan perkenalan ini ke tahap yang lebih jauh.

**

Satu jam, dua jam, dan sekarang hampir tiga jam. Joy masih setia menunggu Alvain di ruangannya. Hingga perut gadis itu merasa lapar kembali.

Joy ingin makan, tetapi ia bingung antara keluar sendiri atau dengan Alvian. Joy kepikiran kalau sahabatnya itu pasti lelah setelah operasi, mereka lebih baik makan bersama nanti. Ya, Joy harus menunggu Alvian untuk makan bersama.

Lama-lama rasa kantuk mulai menyambangi Joy. Ia menguap berkali kali sampai pipinya pegal. Sayang sekali di ruangan itu tidak ada kursi yang cukup panjang yang bisa menampung tubuhnya untuk tidur. Yang terpanjang hanya sofa yang ia duduki, ini hanya muat untuk dua orang sepertinya.

Saat akan menutup matanya, pintu ruangan terbuka. Dan ia menemukan Alvian dengan kendisi yang bisa terlihat jelas jika lelaki itu kelahan. Tanpa menoleh ke arah Joy, Alvian langsung masuk ke kamar mandi. Joy kembali menanti Alvian hingga keluar dari sana.

Selang sepuluh menit setelah Alvian masuk, akhirnya lelaki itu keluar dengan baju olah raga yang tadi dengan menyampirkan handuk di kepala.

"Vian?" tanya Joy yang merasa aneh dengan sahabatnya yang tiba-tiba jadi pendiam itu.

Alvian melangkahkan kakinya menuju sofa yang ditempati Joy, lalu duduk di sampingnya. Lalu dengan santainya menyederkan kepala ke bahu Joy.

"Capek," ujar Alvian lirih.

"Lo udah ngelakuin yang terbaik Vi, kalau lo butuh sandaran feel free aja pakai bahu gue." Joy menanggapi.

"Makasih."

"Vi, kerjaan lo sebagai dokter itu berat ya. Harus siaga setiap hari selama dua puluh empat jam, karena bisa aja kejadian kayak gini terjadi. Lo hebat, tetapi apa lo menikmati pekerjaan ini?"

Alvian terdiam dengan pertanyaan dari Joy. Tentu ia menikmatinya, ini adalah pekerjaan impiannya sedari kecil. Kini sudah terwujud, tinggal Alvian saja yang harus siap menerima baik dan buruknya profesi ini.

"Gue menikmati," jawan Alvian.

"Bagus, lo hebat Vi, lo berdedikasi. Jadi kalaupun lelah, lo tetap bahagia kan."

"Hm."

"Yang semangat dong, hari ini lo udah nyelametin satu orang."

"It makes me happy."

"Then good, kalau gitu gimana kalau kita makan?"

"Ya udah, kita delivery aja ya, gue belum siap untuk langsung bawa motor sekarang."

"Oke, pesen pizza ya sama colanya sekalian."

Kadang Alvian memang selalu mengeluh jika dirinya lelah. Namun, Joy tahu jika lelaki itu hanya butuh sebuah dukungan dari orang terdekatnya. Maka ia yang akan selalu menyemangati Alvian jika ia sedang bersama lelaki itu.

Selagi menunggu pizza pesanan mereka datang, Joy jadi teringat kembali dengan suster yang menatapnya sinis tadi. Sepertinya suster itu baru pertama kali ia temui har ini, karena wajahnya beda dengan suster yang pernah memarahinya dahulu. Joy jadi merasa aneh, kanapa suster poli anak selalu jutek dan galak.

"Vi, suster tadi siapa? Orang baru?"

"Ha? Suster Lisa maksud lo?"

"Nggak tau namanya gue, pokoknya yang tadi."

"Iya dia namanya suster Lisa. Bukan orang baru kok, lo nggak pernah ketemu ya? Mungkin karena shiftnya selalu malam dan hari libur."

"Ohh gitu, tapi galak ya dia."

"Galak dari mananya? Kan udah gue bilang kalau suster di poli anak itu ramah-ramah."

Aduh, Joy kalau bicara sama orang kurang peka seperti Alvian suka emosi.

TBC

Help! [Ongoing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang