"Dokter Alvian, kamu kelihatan nggak fokus sejak tadi," komentar Karina.
Iya, Alvian sedang mengerjakan laporan rutin eua pasien yang ada di rumah sakit ini bersmaa Karina. Sebagai senior, Alvian dimintai langsung oleh gadis itu untuk membantu dan juga memberi penjalasan bagaimana sistem report para pasien di rumah sakit ini. Padahal semua report disetiap rumah sakit sama saja, karena sudah ada templatenya. Namuan, demi menjaga imagenya sebagai dokter yang cukup senior, ia terpaksa membantu Karina.
Dan gadis itu sejak tadi memperhatikan Alvian yang tidak bisa fokus pada satupun pekerjaan di atas meja ini. Kadang Alvian akan menguap, lalu termenung saat sedang menulis, dan juga tidak bisa fokus saat Karina mengajak diskusi. Karina sangat penasaran, hal apa yang bisa membuat dokter yang ia kagumi itu sampai kehilangan semangat kerja seperti ini.
"Ah, sorry. Kali ini saya akan lebih fokus lagi, kamu sebelumnya bahas apa?" Alvian kembali ke dunianya, ia sedikit merasa bersalah kepada Karina kerena telah membuat gadis itu kebingungan.
"Gimana kalau kita minum kopi dulu aja dok? Aku ada rekomendasi kafe yang bagus. Mau coba, kita take away aja kalau masih mau mengerjakan di sini," usul Karina. Kapan lagi ia memiliki kesempatan untuk keluar bersama dan minum kopi dengan dokter idaman satu rumah sakit.
"Shift sekarang siapa ya?" tanya Alvian sebelum memutuskan.
"Dokter Hadiri," jawan Karina cepat, menyebutkan dokter umum yang sedang bertugas sekarang.
"Kalau begitu kita sekalian pindah tempat saja, ganti suasana mungkin bisa membuat kita efektif dalam mengerjakan ini," putus dokter muda itu.
"Oke, kita pakai mobil dokter Vian apa pakai mobil aku?"
"Mobil kamu, saya nanti biar dijemput teman saja."
"Baiklah, kalau begitu mari berberes lalu segera ke parkiran basement untuk mengambil mobil."
Alvian merutuki dirinya sendiri sejak tadi. Bagaimana bisa ia tidak profesional di hadapan juniornya. Tetapi, Karina bukan junior yang jauh terpaut darinya. Mungkin hanya dua tahun di bawahnya. Kebetulan saja, mereka juga satu tempat kerja dan Alvian sudah menjadi dokter tetap lebih dahulu daripada Karina. Namun sama saja, kesalahannya ini tidak boleh dimaklumi.
Salahkan bang Rehan yang sudah membuatnya tidak bisa tidur nyenyak kemarin. Omongan Rehan tentang perasaannya kepada Joy waktu SMA, membuat Alvian kepikiran sampai pulang ke rumah. Ia harus kembali menggali memori masa lalunya, menelaah kembali perasaannya. Namun, nihil. Sudah terlalu lama Alvian memendam perasaan itu, hingga sekarang ia sudah lupa sepenuhnya. Untuk sekarang ia memutuskan jika perasaannya kepada Joy hanya sebatas sahabat baik.
Tetapi jika Tuhan berkehendak lain dan membalikkan perasaannya ia tidak mungkin memyembunyikan itu. Ia hanya berharap jika perasaan itu muncul, ia tidak terlambat.
"Ini arahnya ke mana lagi?" Alvian kembali bertanya begitu mereka melewati sebuah persimpangan.
Alvian sekarang sedang menyetir mobil Karina. Mereka sudah hampur setengah jalan menuju kafe yang wanita itu maksud. Karina bertugas untuk melihat maps dan mengarahkan jalan yang akan mereka tempuh.
"Perempatan ini lurus seratus meter, kafenya terletak di kiri jalan," jelas Karina yang terfokus pada Maps diponsel pintarnya.
"Yang ini kan?" tunjuk Alvian pada sebuah kafe yang cukup besar dan mewah. Dari luar saja, tempat itu bukan gayanya. Tapi biarlah, ia merasa bersalah dengan Karina. Setidaknya ia ingin menebus kesalahan dengan menuruti wanita itu untuk pergi ke kafe.
"Iya benar dok."
"Kalau begitu ayo kita turun."
Alvian turun terlebih dahulu, tidak seperti lelaki pada umumnya yang suka mencari kesempatan jika bersama perempuan dengan membukakan pintu mobil. Alvian malah melengos masuk terlebih dahulu, meninggalkan Karina yang membuka pintunya sendiri. Alvian hanya akan membukakan pintu untuk wanita yang sangat dekat dengannya, mama, budan, dan Joy misalnya. Tiga wanita itulah yang beruntung mendapatkan perhatian lebih dari sosok sedingin Alvian.
"Mau pesan apa?" Alvian bertanya kepada Karina tepat saat wanita itu baru masuk ke dalam Kafe.
"Caramel Macciato, sama choco cookies dok," sebut Karina setelah melihat beberapa menu.
"Baiklah, kamu cari tempat buat kita kerja nanti. Pastikan tempatnya ada stopkontak, dan nyaman. Karena mungkin kita akan diskusi lama," perintah Alvian kepada juniornya itu.
"Siap dok."
Karina meninggalkan Alvian yang sekarang sudah berjalan ke meja pemesanan. Lelaki itu menyebutkan menu yang Karina pesan dan juga menu yang dirinya sendiri pesan. Alvian menginginkan Americano dan juga cheese cake untuk pendampingnya.
"Totalnya seratus tujuh puluh lima ribu," sebut kasir. Alvian mengeluarkan dompetnya mengambil kartu debit untuk membayar pesanan itu.
Harganya sangat sesuai dengan kemewahan tempat ini. Jika Joy ia ajak ke sini pasti dia akan banyak mendumel. Sahabatnya itu tidak suka jika mereka membeli sesuatu yang mahal, apalagi hanya sebatas kopi dan sepotong kue.
Pesanan mereka akan di antarkan oleh pelayan, sehingga Alvian langsung saja melangkah ke arah tempat Karina duduk. Namun, di sana sudah ada dua wanita. Mungkin itu teman Karina, sebab wanita itu bilang jika kafe ini milik temannya.
"Dokter Alvian, ini aku kenalkan ke pemilik kafe ini sekaligus temanku. Rose," ujar Karina begitu semangat.
Alvian menatap Rose, dan mengulurkan tangan untuk bersalaman. "Alvian, rekan kerja Karina."
"Rose, teman Karina," balas wanita yang bernama Rose tadi.
Akhirnya mereka duduk bertiga, dan sedikit membahas tentang pribadi masing-masing. Tentang pekerjaan, dan pendidikan misalnya. Alvian cukup terkesan saat mengetahui jika Rose ternyata memulai bisnis ini sendiri. Jarang sekali wanita mau mengambil risiko berbisnis.
Sebuah fakta lain, ternyata Rose adalah kakak tingkat Karina. Jadi Alvian dan Rose adalah teman seangkatan.
Alvian sendiri banyak bertanya tentang bagaimana pembukaan bisnis kafe ini kepada Rose. Lelaki itu sangat tertarik dengan bisnis F&B (food and beverage). Ia sedang kepikiran untuk membuat usaha sampingan di luar pekerjaannya sebagai dokter. Mungki bisa ia realisasikan ketika dirinya sudah menikah nanti.
Soalnya, Alvian akan melarang istrinya bekerja kantoran dibawah pimpinan orang lain. Ia lebih baik membuatkan bisnis dan istrinya yang akan membantu mengelola. Sebuah ide yang cemerlang.
"Nggak nyangka ternyata kita seumuran ya," ujar Rose begitu senang.
Alvian mengangguk setuju, mungkin jika wanita itu berkenan mereka bisa saja berteman. Alvian tidak menutup hubungan pertemanan, apalagi hal itu bisa menambah koneksi. Siapa tahu Alvian ingin berinvestasi di bisnis makanan seperti ini suatu saat nanti, Rose mungkin bisa ia mintai tips-nya.
"Eh, kalian mau ngerjain kerjaan ya? Maaf banget kalau aku terlalu asik ngajak omong. Kalau gitu aku mau pamit ke depan ya, nyambut customer," Rose merasa bersalah sudah membuat Alvian dan Karina menjeda pekerjaan mereka.
"Nggak masalah kok, santai aja," Karina menenangkan Rose.
"Vi, aku kasih kartu nama. Mungkin kalau ada bisnis atau hal lain yang ingin dibicarakan kamu bisa hubungi aku. Aku lihat kamu tertarik banget sama bidang F&B."
"Makasih Rose. Aku bakal hubungi kamu kapan-kapan."
Rose tersenyum senang, lalu ia berpamitan dan langsung melangkan pergi menjauhi meja Alvian dan Karina.
TBC

KAMU SEDANG MEMBACA
Help! [Ongoing]
RomancePunya sahabat kalo nggak dimanfaatin ya buat apa? - Camila Joy Sahara Untung kenal dari orok, kalo nggak udah gua buang ke Afrika tuh sahabat sinting. - Alvian Jacka Swara