FWB: 87

125 22 0
                                    

Alvian sudah tiba di meja makan tepat waktu. Setelah menyelesaikan mandinya dengan kilat, Alvian hanya memakai baju yang disiapkan oleh Joy lalu langsung keluar kamar dengan bau sabun mandi yang masih menguar. Joy yang mencium baunya saja sampai keenakan.

"Karena Alvian udah di sini, ayo kita mulai aja makan malamnya," ujar Ayah memimpin.

Langsung saja Joy ingin menyantap masakan sang Bunda yang menggugah selera makannya. Namun, belum juga satu suap masuk mulutnya Alvian menyenggol kakinya agak kuat.

Joy menoleh sebal ke arah lelaki di sampingnya. "Apa?" bisik Joy agar tidak mengganggu yang lain.

"Chandra gak ikut makan malam?" tanya Alvian heran.

"Dia udah makan dulu, katanya dia mau ada tanding main game," jawab Joy.

"Oh."

Hanya OH? batin Joy mengomel. Lalu buat apa Alvian mengganggu Joy yang akan memakan suapan pertamanya. Membuat Joy ingin  berkata kasar aja.

Selesai makan, Ayah kembali menahan anak dan menantunya agar tetap di meja makan. Beliau bilang ingin membicarakan sesuatu. Hingga Alvian dan Joy harus menurut dengan beliau.

"Kalian berdua kan sudah menikah, pasti rencana kedepannya mau memiliki anak kan?" tanya Ayah.

'Nggak dalam waktu dekat' / 'Tentu saja' sahut Joy dan Alvian bersamaan dalam hati. 

Namun, untuk menjawab secara langsung keduanya masih terdiam. Ragu menyuarakan pendapat masing-masing kepada Ayah.

"Kalian nggak menunda kan? Kami para orang tua ingin kalian segera memiliki keturunan. Apalagi diusia kami yang semakin tua, memiliki cucu merupakan cita-cita terbesar kami."

Alvian merasa bersalah. Sedangkan Joy merasa terbebani. 

"Tentu aja nggak Ayah, kami akan berusaha. Semoga Tuhan segera mengizinkan kami untuk mengurus seorang anak secepatnya," lagi-lagi Alvian menjawab dengan bijak. Jika sudah seperti ini Joy akan ikut alur yang dibuat Alvian. Joy pribadi tidak memiliki keberanian untuk membuat kebohongan di depan Ayahnya.

"Syukurlah, Ayah khawatir kalau kalian terlalu menuruti ego dengan menunda memiliki anak."

"Nggak, Ayah dan Bunda tenang aja dan sabar," Joy menimpali, menenangkan orang tuanya agar tidak banyak pikiran.

"Baiklah, ayah sudah puas mendengar jawaban kalian. Jadi yang bisa kami lakukan ada mendoakan kalian dan memberi nasihat."

"Iya ayah, terima kasih."

Setelahnya percakapan itu berakhir. Ayah dan Bunda kembali ke kamar tidur. Begitu juga Alvian dan Joy. Namun keduanya tidak hanya membawa tubuh, namun juga beban pikiran yang tiba-tiba sama semakin berat setelah bicara dengan Ayah tadi.

"Vi," panggil Joy lirih. Mereka sudah berada di atas kasur berdua, saling berdampingan. Semakin hari agaknya mereka tidak canggung lagi berada dalam satu ranjang. Dilihat dari Joy yang sudah rebahan, lalu Alvian yang masih bersandar pada headboard.

Alvian yang tadinya sibuk dengan ponsel, terpaksa harus menoleh ke arah sang istri yang barusan menyebut namanya. Joy terlihat cemas, dan dilema. Mirip dengan orang yang banyak pikiran.

"Apaan?" balas Alvian.

"Lo mau punya anak nggak?" pertanyaan dilontarkan Joy. Gadis itu bertanya tanpa ekpresi dan intonasi yang hampir datar. Untungnya Alvian sudah bersahabat dengan Joy hampir dua puluh tahun, sehingga ia tahu betul kebiasaan sahabatnya itu kalau sedang banyak pikiran. Joy jadi nampak tak bersemangat, dan aneh (?)

"Itu pertanyaan serius apa cuma iseng?" Alvian malas menjawabnya jika itu hanya pertanyaan main-main. Joy yang terlalu random kadang membuat Alvian malas menanggapi.

Help! [Ongoing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang