FWB: 46

68 12 0
                                    

Gerbang tinggi itu perlahan bergerak terbuka, menampilkan hal tersembunyi di dalamnya. Mobil Jefri mulai bergerak memasuki pekarang rumah. Joy baru bisa melihat bagaimana bentuk rumah di dalamnya setelah mobil masuk lebih dalam.

Joy akan katakan ini istana, bukan rumah. Bagaimana bisa bagunan yang begitu luas dengan desain khas eropa itu disebut rumah. Tiba-tiba Joy kembali diserang rasa panik. Di dalam otaknya muncul pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya takut.

‘Bagaimana jika penampilannya buruk? Bagaimana jika bingkisannya ini tidak menyenangkan orang tua Jefri? Bagaimana jika nanti ia bicara dengan aneh? Bagaimana jika orang tua Jefri tidak menyukainya karena berasal dari kalangan biasa?'

“Hei, kenapa melamun? Kita sudah sampai,” ujar Jefri menyadarkan Joy yang sejak tadi terdiam melamun.

“Oh, iya, maaf. Kita turun sekarang?”

“Ya, tentu saja.”

Joy membuka pintu penumpang, dan segera turun dari mobil. Ia menghirup napas dalam, merasakan udara dari rumah mewah itu. Ia menoleh kearah Jefri, lelaki itu memberikan senyuman yang membuatnya tenang. Jefri mengulurkan tangannya kepada Joy, dengan senang hati gadis itu menerimanya. 

Mereka berjalan bersama, mulai memasuki rumah. Lagi-lagi Joy dibuat kagum dengan keindahan rumah itu. Begitu asri, dan nyaman diwaktu yang bersamaan. Apakah jika ia menikah dengan Jefri nanti, gadis itu bisa tinggal di rumah megah ini? Sebuah fakta yang menyenangkan dan menakutkan diwaktu bersamaan.

"Orang tuaku sudah menunggu di dalam," Jefri memberitahu Joy. Gadis itu mengangguk patuh dan mengikuti lelaki itu menyusuri rumah hingga ke dalam.

Kemudian langkah Jefri mulai memelan saat membawa Joy kesebuah ruangan semacam ruang makan luas yang menjadi satu juga dapur mewah. Di sana Joy bisa melihat seorang laki-laki paruh baya, wanita paruh baya, dan seorang punggung gadis yang belum bisa Joy lihat wajahnya.

Ia bisa menebak jika dua paruh baya itu adalah orang tua Jefri. Tapi untuk gadis muda yang satunya, ia tidak tahu. Jefri tidak pernah cerita kalau dia punya saudara.

"Mom, Dad," interupsi Jefri begitu melihat orang tuanya sedang asik dengan kegiatan di ruangan itu.

Mendengar suara Jefri tiga orang di depan langsung menoleh ke arah datangnya suara. Joy kaget, begitu mengetahui sosok gadis muda yang bersenang-senang dengan orang tua Jefri. Rose? Iya, gadis itu di sana. Menjadi pusat kesenangan di ruangan yang hangat itu.

Perasaan kecewa dan iri menghampiri Joy. Apakah ini tanda jika, ia tidak akan cocok pada keluarga Jefri?

"Jefri, kamu sudah sampai," sahut mama Jefri, seraya menghampiri putranya dengan bahagia. Diikuti juga dengan Ayahnya dan Rose mengekor di belakang.

"Rose juga di sini?" tanya Jefri bingung melihat sosok yang sudah ia anggap sebagai teman dekatnya.

"Iya, mom yang undang. Kamu tahu kan mom butuh bantuan kalau mau masak banyak."

"Iya, Jefri tahu," balas lelaki itu datar. 

Keempat orang itu terlihat begitu akrab di mata Joy, juga sikap Jefri tidak terlalu kaget dengan kehadiran Rose di sana. Joy rasa ada kejanggalan di sini. Ia tidak berekspektasi jika Rose sedekat itu dengan keluarga Jefri.

Kenapa begitu kebetulan, Rose sedang berkunjung ke rumah Jefri. Disaat Joy juga akan dikenalkan kepada keluarga itu. Izinkan Joy untuk berpikiran negatif sekarang. 

"Mom, aku bawa Joy kekasihku," tutur Jefri dengan bangga.

Mendengar Jefri menyebut namanya, gadis itu segera berjalan mendekat ke arah orang tua Jefri. Dengan senyuman tulus, serta tingkat kepercayaan diri yang ia naikkan. Joy mengawali dengan memperkenalkan diri.

"Selamat malam Om, Tante, saya Joy," ujar gadia itu dengan intonasi yang sangat lembut dan hati-hati. "Ini juga, saya bawa oleh-oleh sedikit untuk om dan tante. Terima kasih," lanjut Joy seraya menyerahkan parcel buah yang ia bawa dari rumah tadi.

"Makasih banyak loh Joy, ini kayaknya segar dan bagus banget kualitas buahnya."

"Iya tante sama-sama,"

"Oh, ini yang kamu ceritakan kemarin Jef? Cantik juga pacar kamu," komentar Ayah Jefri.

"Iya Dad," jawab Jefri bangga.

Joy hanya bisa tersenyum dan berterima kasih dengan lirih atas pujian dari Ayah Jefri. Ia pikir pertemuan ini akan berjalan lancar, melihat respon dari keluarga Jefri yang sangat baik kepadanya. Meski Joy sejak tadi memperhatikan Rose yang hanya diam dibelakang orang tua Jefri.

"Halo Joy, saya Hera dan ini suami saya Muji. Kami orang tua Jefri."

"Baik Tante Hera dan Om Muji, salam kenal."

"Karena ini sudah jam makan malam. Mari kita makan dulu, dan melanjutkan berbincang setelahnya," putus Ayah Jefri sebagai kepala keluarga yang memimpin urusan di rumah ini.

Semua mengangguk setuju, lalu Joy dituntun oleh Hera menduduki salah satu kursi. Beliau memilihkan kursi di hadapan Jefri.

"Mama Hera, kayaknya Rose nggak ikut makan bersama di sini. Aku nggak mau mengganggu acaranya Joy dan Jefri," tiba-tiba Rose mengeluarkan sebuah kata yang menurut joy hanyalah mencari muka. Joy sudah melirik ke arah wanita itu dengan tatapan sinisnya.

Joy ingin menjadi gadis yang baik, namun Rose selalu berhasil membuatnya naik darah dengan tingkahnya yang begitu suka mencari perhatian. Pikirannya menjadi begitu penuh prasangka negatif begitu melihat wajah Rose.

"Nggak perlu Rose, kamu makan bareng sama kita. Kamu sudah seperti keluarga di rumah ini," bujuk Hera, tak membiarkan Rose beranjak dari area meja makan.

"Menu hari ini, spesial Mama buat sama Rose—" sebuah jeda diberikan oleh Hera. "Oh, tante lupa buat kenalin kamu ke Rose. Kamu kenal dia Joy?" lanjut Hera bertanya, begitu ia ingat  kalau belum memperkenalkan Rose dengan Joy.

"Kenal tante, kami pernah bertemu saat grand opening kafe milik Rose," balas Joy menjawab seadanya. Ia sangat ingat bagaimana pertemuan pertamanya dengan Rose.

"Wah jadi sudah saling kenal ya. Joy, Rose itu temannya Jefri. Mereka sudah dekat sejak di kampus. Tante sudah anggap Rose seperti anak sendiri," jelas wanita paruh baya itu panjang.

"Tante bisa aja," sahut Rose ketika ia dipuji pada kalimat terakhir.

Dialog singkat tiga wanita di meja makan itu harus terhenti. Setelah para lelaki sudah bilang ingin segera makan.

"Kita makan dulu aja. Nanti baru ngobrol bersama," nasihat Muji kepada istrinya yang terlihat asik bercerita kepada Joy.

Lagi-lagi Joy merasa janggal dengan perilaku Tante Hera. Wanita paruh baya itu terus saja membuat Rose melayani Jefri. Mulai dari mengambilkan piring, nasi, hingga lauk. Sedangkan yang bisa Joy lakukan hanya melihat dalam diam. Ia bahkan mengambil semua itu secara mandiri.

Joy memang merasa diterima sebagai tamu di rumah ini. Tetapi ia tidak merasa dihargai sebagai kekasih Jefri. Orang tua Jefri terutama mamanya, cukup memperlihatkan jika beliau lebih suka dengan Rose dari pada Joy.

TBC

Aku mau update banyak, siap-siap readers💚💚

Help! [Ongoing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang