FWB: 25

108 14 0
                                    

"Hai," sapa Jefri kepada Joy yang sudah siap di depan rumah. Ingat, tadi siang mereka sudah berencana untuk keluar bersama.

"Hai juga, kita langsung berangkat aja?" tanya Joy.

Jefri datang tepat waktu, jam tujuh malam mobil lelaki itu sudah bertengger apik di depan rumah Joy. Sebenarnya Joy sudah izin kepada Ayah dan Bundanya untuk keluar dengan Jefri, jadi lelaki itu tidak perlu pamit lagi. Namun, Joy hanya ingin berbasa-basi saja siapa tahu Jefri ingin mampir dahulu ke rumah.

"Di dalam ada orang tua kamu Joy?" bukannya menjawab lelaki itu berbalik bertanya.

"Ada kok, lagi nonton tv."

"Aku pamit dulu ya, masa bawa anak gadis nggak izin dulu."

"Oke, ayo aku anter ke dalam."

Joy mengantar langkah Jefri menuju ruang menonton tv, di mana orang tuanya berada. Melihat sikap Jefri yang sopan, dan selalu melibatkan orang tuanya membuat Joy jadi lebih merasa yakin lagi untuk melanjutkan hubungan ini. Ibaratnya Jefri ini seperti calon suami idaman para wanita, wajah nggak diragukan lagi, harta sudah pasti mapan, kepribadian lelaki itu juga bagus. Joy harap ini merupakan pertanda jika Jefri adalah Jodohnya.

Saat sampai di tempat kedua orang tua Joy. Jefri langsung menyapa keduanya dengan mencium tangan sebagai bentuk kesopanan. "Selamat malam Om, Tante."

"Oh, Jefri. Kalian nggak langsung berangkat tadi?" tanya Ayah bingung. Sebab tadi, Joy sudah berpesan jika kemungkinan ia akan langsung berangkat. Ternyata sekarang Jefri malah pamit dengan mereka.

"Nggak Om, saya mau pamit dulu mau izin membawa anak Om dan Tante keluar. Saya merasa tidak sopan jika langsung membawa Joy tanpa pamit orang tuanya," Jefri menjelaskan alasannya.

"Wah, sopan sekali kamu. Tante sudah izinkan kok kalian keluar," timpal Bunda.

"Ya kalian boleh keluar, jaga putri om di luar nanti," pesan Ayah kepada Jefri.

"Siap om, sebelum jam 9 nanti saya sudah bawa Joy pulang."

"Bagus lah, hati-hati di jalan."

"Baik Om, Tante. Kalau begitu saya dan Joy pamit untuk berangkat."

Jefri kembali mencium tangan orang tua Joy, kini tak hanya Jefri namun Joy juga ikut salim kepada orang tuanya. Kemudian keduanya melanjutkan untuk berangkat menuju tempat yang Jefri maksud. 

Perjalanan mereka menurut Joy tidak terlalu jauh. Mereka berhenti di sebuah kafe yang baru saja grand opening. Saat Jefri bilang ini adalah kafe milik temannya, ia tidak berbohong.

Baru saja kami memasuki kafe itu, seorang wanita berpenampilan mewah sudah menghampiri Jefri lalu bersalaman dengan dan juga berpelukan dengan lelaki itu. Sedangkan Jefri mengucapkan sebuah selamat pada wanita itu. Joy yakin seratus persen jika itu adalah pemilik kafe ini.

Tidak heran kafe ini memberi kesan mewah, pemiliknya saja juga mewah. Kafe ini hanya untuk high class sepertinya. Jika bukan diajak oleh Jefri, Joy sendiri akan berpikir dua kali untuk memasuki kefe ini. Ia lebih memilih beli boba murah di pinggir jalan dengan Alvian daripada beli secangkir kopi di kafe mewah ini.

Joy bukan meremehkan, memang jiwa pelitnya ini sepertinya sulit dihilangkan. Daripada habis uang gajinya hanya untuk foya-foya, lebih baik ia tabung saja untuk keperluan masa depan. Untuk modal menikah misalnya?

"Rose, ini kenalin dia Joy," ujar Jefri memperkenalkan Joy, setelah sebelumnya mengobrol panjang dengan wanita yang disebut Rose itu. Ngomong-ngomong, mereka sudah duduk di salah satu tempat yang muat empat orang. Joy berhadapan dengan Jefri, sedangkan wanita itu berada di samping Jefri.

"Oh, hai. Gue Rose, temen deketnya Jefri sejak kuliah," ujar Rose memperkenalkan diri kepada Joy, tidak lupa wanita itu juga mengulurkan tangannya ke hadapan Joy.

"Hai, gue Joy. Salam kenal," balas Joy basa-basi.

Sepertinya dari perkenalan Rose kepadanya, wanita itu menegaskan jika ia dekat denga Jefri. Joy menduga jika hubungan Jefri dan Rose lebih dari teman sebelumnya. Sangat terlihat jika Rose tidak bisa move on, sikapnya pun menggambarkan jika ingin menunjukkan betapa dekatnya dia dengan Jefri.

Joy menghela napas lirih, bahkan dirinya baru saja ingin menjalin hubungan serius dengan Jefri. Tetapi, dari awal saja saingannya wanita karir sukses dan cantik lagi. Tidak heran sih sebenarnya, memang pas sekali jika Rose menyukai Jefri. Mereka berada dilevel yang sama.

Joy jadi insecure sendiri, dirinya saja masih menjadi budak korporat. Masih tertekan dengan tugas dari atasan, gaji juga belum bisa untuk beli mobil. Joy merasa kalah dengan Rose.

"Gimana kerjaan lo Jef?" Rose mulai menjalin percakapan.

"Ya bagus seperti biasa," jawab Jefri sekenanya.

"Hm, terus mama sama papa gimana kabarnya? Lama juga gue nggak ketemu."

"Sehat, kalau mau ketemu silahkan aja ke rumah. Mereka pasti seneng lo mau mampir."

"Haha oke, kalau luang gue pasti mampir."

Bla bla bla, Joy hanya diam mendengarkan kedua orang di depannya mengoceh tidak ada akhir. Terutama Rose, wanita itu seperti tidak punya rem saat bicara. Apalagi Rose selalu mengabaikannya, dan hanya fokus pada Jefri.

"Rose, jangan cuma ngajak ngobrol gue dong. Kenapa nggak coba bicara sama Joy."

"Oh, oke. Gue lupa lo bawa temen, gue terlanjur excited banget karena lo datang ke acara ini."

"Nggak papa kok, gue paham kalian pasti jarang ketemu. Jadi ini momen penting buat kalian reuni." Joy menanggapi ucapan Rose yang seperti mengejeknya.

"Haha, jangan marah ya Joy. Gue nggak maksud apa-apa kok. Udah lupain aja, gue mau tanya sekarang. Sekarang ini lo sibuk kerja apa?"

"Em, gue manager di perusahaan swasta."

"Oh, Selain itu, gue penasaran gimana kalian bisa saling kenal?"

"Dikenalin temen sih," kini Jefri yang menanggapi.

"Udah berapa lama kalian saling kenal?" lanjut Rose bertanya.

"Mungkin hampir sebulan? Iya kan Joy?"

"Iya kayaknya, sudah hampir sebulan."

"Wow, ternyata kalian baru kenal," Rose berujar kaget, "kelihatan sih," lalu melanjutkan dengan lirih kata terakhirnya.

"Dari tadi kita ngobrol terus sampai lupa buat pesen makanan. Gue panggilin pelayan dulu, biar kita bisa pesen. Jef, Joy kalian bisa pilih menu di buku itu."

Sebuah buku menu sejak tadi sudah berada di hapan mereka. Joy mulai membuka dan membolak balik halaman yang ada. Semua nama makanan yang ada di buku itu tertulis dengan bahasa Inggris. Ini sudah bukan kelas kafe lagi menurut Joy, namun sudah kelas Hotel.

Seorang pelayan datang, membawa buku catatan untuk menulis pesanan kami. "Permisi, silahkan sebutkan pesanan Anda."

"Kami pesen dua hot americano, satu hot chocolate, dan pizza large ya," ujar Rose menyebutkan pesanan kami.

"Baik nyonya, silahkan ditunggu pesanannya."

Setelah pelayan itu pergi, kursi ini kembali hening. Atau cuma Joy saja yang hening, soalnya dua orang di depannya kembali melakukan hal seru sendiri.

TBC

Help! [Ongoing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang