Tanah yang Berduka

1.7K 286 16
                                    

Hari itu senja berkabut. Kegelapan menguasai langit. Air yang turun dari langit bukanlah tetes hujan yang ditunggu oleh seluruh rakyat Deimos melainkan air mata duka yang menyelimuti.

Kepedihan yang tidak pernah siapa pun duga, termasuk sosok yang saat ini tengah berdiri dengan wajah kaku di depan papan nama sang Ayah yang telah dikremasi.

Di belakangnya berdiri seorang wanita mengenakan dress hitamnya, dengan setengah wajah tertutup veil. Elizabeth sangat ingin merengkuhnya, pikirannya turut berkecamuk karena di dunia itu dia satu-satunya yang mengetahui perihal kematian Grand Duke.

Kondisi Archie jauh lebih parah dari yang dia bayangkan, dia pikir dia hanya perlu melewati momen itu seperti membalik halaman yang dia baca. Namun tidak, mau tidak mau Elizabeth harus menunggu sampai semua kesedihan itu mereda.

Dia merasa gagal untuk membuat Grand Duke yang sudah seperti Ayah angkatnya di dunia itu. Apalagi kedua Ayah dan anak itu perlahan mulai dekat berkat kehadiran Elizabeth yang secara tidak sadar menjadi penghubung keduanya, sayang sekali, mereka tetap harus terpisahkan oleh maut.

Ketika semua orang telah meninggalkan ruang ritual, Archie masih berdiri terpaku menatap sosok yang hanya tersisa abu dan namanya saja. Dia tidak bergeming sedikit pun, lilin-lilin mulai dinyalakan menandakan senja sudah berlalu, digantikan gulitanya malam yang mencekam.

"Archie" Elizabeth masih setia menunggu, dia pun tidak beranjak sekali pun kakinya terasa kesemutan dia tetap tidak ingin meninggalkan ruangan itu sebelum Archie beranjak terlebih dahulu.

Elizabeth tidak melihat siapa pun lagi, dia memberi isyarat pada Julie untuk menunggu di luar dan memastikan tidak ada orang lain yang masuk.

"Archie" tangan wanita muda itu menyentuh pundak Archie yang terasa kaku dan dingin.

Pasti tidak lama setelah ini Argus akan memberikan surat yang ditulis oleh Grand Duke di medan perang untuk putra tersayangnya, surat berisi kalimat yang tidak dapat dia ucapkan secara langsung.

"Archie, malam semakin dingin, ayo kita kembali?" dia mencoba membujuk Archie.

Archie tidak meresponsnya sama sekali. Dia tidak berkedip tatapannya dipenuhi dengan kesedihan dan amarah.

"Archie, maafkan aku" gumam Elizabeth. Dia menyesal, seharusnya dia memperingatkan lebih keras, seharusnya dia tidak meremehkan kesalahan itu.

'Menjadi seseorang yang mengetahui masa depan sama sekali tidak menyenangkan. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menyesali langkah yang sudah kuambil. Atau mungkin—ini memang sudah di luar kendaliku. Aku bukanlah penulis yang menciptakan dunia ini.'

'Bahkan aku pun tidak bisa mengubah akhir dari kematianku sendiri...apa setelah ini, kau akan membenciku, Archie?'

"Menangislah" Elizabeth meraup wajah Archie, saat itulah dia bisa melihat matanya dengan jelas meski harus berjinjit.

"Apa yang sedang kau tahan, menangislah saja" Elizabeth tidak bisa membiarkannya begitu saja, dia melihat Archie seperti sosoknya di masa lalu, ketika dia menolak untuk mengeluarkan air mata. Baginya, air mata hanya akan membuatnya menjadi lemah.

"Tidak ada siapa pun di sini, hanya ada aku. Anggap saja aku sebagai dinding sekarang" gadis itu menyentuh wajah Archie tanpa rasa takut, yang dia pikirkan saat ini adalah bagaimana agar pikiran Archie bisa teralihkan,

"Kau bisa memikirkan soal balas dendam nanti, tapi sekarang, luapkan dulu emosi yang ada di dalam hatimu"

"..." Archie tidak menampik ucapannya, dia menatap Elizabeth dengan kosong.

Gadis itu maju selangkah lagi, ketika tubuhnya sudah cukup dekat, dia memeluk tubuh jangkung itu yang tingginya dua kali lipat darinya.

"Menangislah Archie, tidak ada yang lebih menyedihkan dibandingkan kehilangan bukan?" Elizabeth memeluk erat tubuh itu.

Don't Worry, We'll Get DivorcedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang