"Lagi-lagi dia seperti itu..." Noct menghela napas, dia adalah Dewa yang terjaga sepanjang malam. Mengirimkan jatah mimpi setiap manusia di alam fana. Malam itu, tepat ketika bulan mencapai titik merahnya.
Dia hanya bisa termangu sembari menatap seorang pria yang masih terjaga, dengan segelas anggur yang sudah tandas berkali-kali. Ia terus mengisinya lagi dan lagi hingga kehilangan kesadarannya.
Bukan pertama kalinya Noct merasa berempati. "Dia lagi-lagi seperti itu..." dia menggumamkan kalimat yang sama.
"Apakah kau tidak bosan menatapnya?" Peri kunang-kunang muncul, dia adalah teman berbincang yang begitu setia menemaninya setiap malam ketika Noct sedang bertugas membagikan mimpi.
"Tidak ada yang tahu bukan sisi gelap seorang Arche, selama enam kehidupan dia menjalani kehidupan tanpa mengetahui siapa yang telah banyak berkorban untuknya. Ini adalah kehidupan di mana dia akhirnya menyadari perasaannya yang sebenarnya"
"Namun sayang sekali Lula, sepertinya Dewa Acatia tidak akan mengorbankan hatinya untuk Arche"
"..." Lulaby hanya mendengarkan, dia sudah terbiasa mendengar keluh kesah Noct.
"Lula, apa kau tahu? Jika bukan karena permintaan Dewa Kegelapan, mungkin saja aku bisa sedikit memberikan bocoran tentang masa lalunya. Dia mungkin akan semakin gila jika mengetahui kebenarannya"
"..."
"Tidak ada yang salah dengan keputusan Dewa Ater, dia hanya berusaha melindungi putrinya." Tidak ada yang dapat dia lakukan selain melihat dari alam Dewa.
Ujian kehidupan alam fana tidak sebanding dengan ujian kehidupan alam dewa, mereka harus menjalani segala macam ujian dan rintangan, tidak ada seorang pun yang berhak ikut campur.
"Kini bukan lagi kegelapan yang menatap sang Rembulan. Rembulan-lah yang menantikan kegelapan itu. Kau dengar, Lula?"
"Apakah kau berpihak pada orang itu?" kini Lulaby mulai bersuara, menunjukkan wujud seorang perempuan cantik dengan rambut cokelat bercahaya.
"Tidak, aku tidak berpihak pada siapa pun"
"Aku berpihak pada Dewi Acatia, dia telah mengambil pilihan yang sangat tepat. Sudah cukup lama aku mengikutinya diam-diam, dia telah mengorbankan banyak hal untuk Dewa Arche, selama enam kehidupan fana, dia telah memberikan hatinya, hingga nyawanya. Pada kehidupan sebelum ini dia juga telah memberikan jantungnya pada orang itu. Dia sudah cukup berkorban"
"Itu karena Acatia tidak melihat, penyesalan yang dirasakan Dewa Arche setelah kematiannya"
"Apa gunanya sebuah penyesalan Noct? Apa yang diinginkan bukanlah penyesalan, kesabaran seseorang juga memiliki jangka waktunya"
Lulaby mulai terbawa suasana. Dia adalah kunang-kunang yang dibesarkan di kastel kegelapan. Dia mengetahui segalanya, termasuk kisah hidup Acatia, putri dari penguasa kastel.
"Kau sepertinya tahu begitu banyak mengenai wanita"
"Karena aku wanita, dasar Noct bodoh"
"Kalau begitu, sebagai sesama pria, aku juga berhak mengatakan sudut pandang Arche?"
"Memangnya sudut pandang seperti apa yang ada di pikirannya, bukankah dia sangat dengan mudah tergoda oleh wanita dari klan cahaya"
"Jika bukan karena benang takdir itu, aku yakin, sejak awal, hati Arche sudah berlabuh pada pengabdi setianya, Acatia."
"Dari mana keyakinanmu itu muncul?"
"Karena setelah kematian Dewi Acatia, dia kehilangan arah tujuannya yang sebenarnya. Dia terikat oleh benang takdir yang tak terlihat, setiap langkah dan pilihannya seperti digerakkan oleh kekuatan yang tak kasatmata. Ia tersenyum, berbicara, dan bertindak seolah semuanya berasal dari dirinya sendiri, tetapi jauh di dalam hati, ia tahu ada sesuatu yang salah." Noct mencoba menjelaskan seperti apa cara kerja benang takdir itu sendiri, mereka menyebutnya sebagai senjata ilusi milik dewa takdir.
Jiwanya yang sebenarnya tersembunyi, terkubur di balik lapisan hipnotis halus, bagaikan boneka yang digerakkan oleh tali yang hanya bisa dirasakannya, tetapi tak pernah dilihatnya. Terjerat dalam permainan takdir, ia berjalan dalam kebebasan semu, sementara dirinya yang sejati semakin menjauh, tertelan oleh takdir yang tak bisa dilawannya.
"Terlepas dari seberapa banyak kesalahan Arche, itu terjadi di luar kendalinya. Makhluk paling hina yang seharusnya menderita adalah Aten dan Alina"
"Yah, mereka berdua tidak akan diterima di alam langit. Mereka hanya akan mati kemudian menjadi asap yang menguar ke udara."
"Itu terlalu ringan untuk mereka berdua. Seharusnya mereka mengalami rasanya siksaan Dewa Alam Bawah, tubuh mereka berdua harus dileburkan kemudian dibentuk kembali, mengulangi hal yang sama berulang kali hingga mereka menangis darah memohon kematian yang abadi."
"Noct, aku tidak tahu jika kau cukup sadis dalam berpikir"
Noct menyeringai. "Aku adalah Dewa Mimpi, aku menciptakan banyak sekali karangan untuk mimpi orang-orang, mimpi menyenangkan, hingga mengerikan. Apa kau mau merasakannya Lula?"
"Hahaha...gurauanmu sangat keterlaluan. Aku akan kembali sekarang."
"Hei kenapa terburu-buru"
"Suasana hatiku sedang buruk, aku akan menemuimu lagi besok"
❀❀❀
Rambut cokelat bergelombangnya, bergoyang tertiup angin pantai yang terasa begitu menyejukkan. Dia duduk bersantai di atas pasir putih yang kering, menikmati pemandangan senja yang indah.
Suara deburan ombak terdengar seperti sebuah alunan musik yang menenangkan. Dia sesekali tersenyum, itu adalah moment terbaik dalam hidupnya, ketika dia terbebas dari segala permasalahan kehidupan yang menyesakkan.
"Aku akan mati di tempat ini, mayatku nanti akan terseret oleh air laut, menyatu dengan alam. Hah, ini sangat menyenangkan" dia merebahkan dirinya, seolah tidak ada beban lagi dalam hidupnya.
Namun ketika dia mulai memejamkan mata, bayangan seorang muncul tanpa bisa dia kendalikan. "Bagaimana denganmu di sana? Kau mungkin akan segera melupakanku, cepat atau lambat."
Perlahan dia mulai memejamkan matanya. Merasakan semilir angin yang menghembus ke arahnya. Dunia begitu tenang, pikirannya menjadi jernih. Dia ingin tidur lebih lama, jika bisa. Sudah hampir satu bulan dia melakukan aktivitas yang berulang. Dia benar-benar membuang waktu sambil menunggu ajalnya menjemput.
Terkadang, seorang wanita tua datang membawakan pie yang dia panggang sendiri. Dia wanita yang tinggal sebatang kara di area pesisir. Wanita itu bercerita, dulunya dia seorang mantan dayang dari keluarga bangsawan yang hancur. Sejak hari itu dia terkucilkan dari masyarakat.
Elizabeth yang mendengar itu menjadi sedikit lebih bersyukur, di dunia bukan hanya dia yang diuji, tapi semua orang hampir pernah mengalami masalah dan penderitaan yang menguras mental dan fisik.
Kulitnya terasa hangat oleh sentuhan sinar matahari yang mulai meredup. Suara deburan ombak seolah menjadi nyanyian pengantar tidurnya. Namun, di tengah kedamaian itu, telinganya menangkap bunyi langkah kaki di atas pasir yang semakin mendekat. Setiap langkah terdengar pelan, berat, dan membuat detak jantungnya perlahan berubah ritme, meski matanya masih terpejam.
"Bibi...?" ketika dia membuka matanya, dia mengira bahwa sosok yang mendekatinya adalah wanita tua itu.
Namun, seketika matanya membelalak. Melihat sosok yang tidak pernah dia bayangkan akan muncul di hadapannya.
"Wah, adikku tersayang. Apa yang sedang kau lakukan di sini?"
"..." wanita itu masih berusaha mencerna sesuatu, sambil memikirkan cara untuk melarikan diri.
"Kabur dari kastelmu yang megah dan memilih menjadi rakyat jelata seperti ini? sungguh mengagumkan."
"Isaac. Apa yang kau lakukan di sini?"
❀❀❀
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Worry, We'll Get Divorced
Historical FictionWaktuku terbatas. Hanya itu yang kutahu. Namun apa aku juga harus berakhir di penjara berkat kebencianmu? Tidak akan kubiarkan hidupku berakhir mengenaskan, aku akan melarikan diri dan mati dengan tenang setelah menceraikanmu. ©Original story by...
