Di dalam kastel yang megah, dengan pilar-pilar marmer yang menjulang dan dinding-dinding berlapis permata indah, wanita itu berdiri di tepi jendela besar, menatap keluar ke hamparan taman yang luas dan terawat sempurna. Namun, di balik segala kemewahan itu, hatinya terbelenggu seperti seorang tahanan.
Udara di sekitarnya terasa begitu tebal, seolah setiap tarikan napas hanya memperdalam beban yang ia rasakan. Meski gaun mewah dari kain berkilauan membalut tubuhnya, dia tidak merasa bahagia.
Langkah-langkahnya di lantai marmer bergaung kosong, tak ada seorang pun yang berani mendekatinya, termasuk pelayan yang selalu menjaga jarak.
Setiap jendela yang ia lihat bukanlah pintu menuju kebebasan, melainkan penegasan dari batas-batas yang tak bisa ia lewati. Dia sedang berpikir bagaimana caranya untuk kabur dari tempat itu. Tempat yang dia pijak sekarang bukanlah kastel, tapi penjara yang membelenggunya, jangan tertipu dengan kemegahan yang menyilaukan mata.
Dia berjalan di lorong itu tanpa alas kaki, tidak ada jalan keluar. Elizabeth menginginkan sebuah kebebasan, dia berhasil terlepas dari sangkar awalnya, namun pada akhirnya terjebak di sangkar yang lain.
Para pelayan menatapnya dengan heran, mereka berusaha menghentikannya, "Nyonya kaki Anda mungkin akan terluka, saya akan membawakan sepatu milik Anda"
"Siapa kau berani mengaturku?" dia menjawab dingin, sangat berbeda dengan perlakuannya terhadap pelayan di kastel sebelumnya.
"Tolong maafkan saya"
Dia menunduk melihat goresan di kakinya yang tampak begitu jelas. Itu tidak sakit. Dia justru ingin melakukan sesuatu yang jauh lebih menyakitkan.
'Jika saja ada pistol yang bisa membunuh dalam sekali tarikan, aku pasti sudah menembakkan ke kepalaku sekarang. pikiranku seperti mau meledak. Aku hanya lompat dari satu batu ke batu lainnya...Eli, bodoh sekali."
Dia mengingat obrolan terakhirnya dengan Ezekiel di dalam kereta kuda, setelah dia menghabisi Isaac tepat di depan matanya.
"Anda menghabisinya, setelah memberikan informasi mengenai keberadaan saya, benar?"
"Ahahaha" pria itu tertawa, "Nyonya, sepertinya Anda berbakat untuk mengarang sebuah cerita ya"
Elizabeth menatap Ezekiel dalam kebisuan, namun pikirannya berisik. Dia yakin pria itu pasti berbohong.
"Anda akan mengantarku ke kastel?"
"Tidak, siapa yang mengatakan itu?"
"Kalau begitu, Anda ingin menculikku dari wilayah Deimos."
"Aku bukan menculikmu. Aku menyelamatkanmu barusan."
"Anda benar-benar sepicik itu ya, Yang Mulia." Dia membahas soal Isaac, orang itu secara tidak langsung hanya dimanfaatkan oleh Ezekiel. "Anda ingin membuat citra yang baik di mata saya, namun sepertinya rencana Anda gagal."
"Nyonya, bukankah sebelum menuduh, sebaiknya Anda berterima kasih terlebih dahulu?"
Elizabeth tidak menanggapi, dia sedang melihat celah untuk melarikan diri, namun di kanan kirinya ada pengawal milik Ezekiel yang berjaga dengan ketat.
"Isaac sudah mati. kalau begitu turunkan saya di sini."
"Astaga Nyonya, ini adalah hutan, hanya orang yang tidak waras saja yang meninggalkan seorang wanita di tempat seperti ini"
"Kalau begitu bicaralah secara jelas Yang Mulia. Apa yang Anda inginkan dari saya?"
Pria itu menyeringai. Namun dia tidak berkata apa pun, seolah membenarkan perkataan Elizabeth.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Worry, We'll Get Divorced
Tiểu thuyết Lịch sửWaktuku terbatas. Hanya itu yang kutahu. Namun apa aku juga harus berakhir di penjara berkat kebencianmu? Tidak akan kubiarkan hidupku berakhir mengenaskan, aku akan melarikan diri dan mati dengan tenang setelah menceraikanmu. ©Original story by...