Air Laut yang Dingin

1.7K 283 24
                                        

Lagi-lagi wanita itu duduk diam di tepi jendela, tatapannya kosong menembus kaca, seolah menelusuri pemandangan halaman di luar kastel yang dipenuhi bunga-bunga bermekaran. Tapi bagi pikirannya yang berat, hamparan bunga itu tampak seperti pemakaman yang sunyi.

Memorinya sungguh terbatas, dia mencoba menyusun banyak rencana, namun tidak semudah itu karena ada beberapa hal yang tidak bisa dijangkau olehnya, akses pergerakannya benar-benar sangat terbatas.

'Musuh dari musuh adalah sekutu, saat ini hanya ada satu orang yang bisa menjatuhkan Ezekiel. Aku harus bisa membuat Ratu turun tangan.'

Dia tiba-tiba saja teringat, perseteruan antara fraksi Ratu yang berpihak pada pangeran kedua, dengan fraksi putra mahkota yang merupakan anak dari permaisuri yang sudah meninggal.

"Bagaimana caraku menjangkau istana ratu, kastel ini dipenuhi dengan mata dan telinga putra mahkota. Jangankan surat, ibarat lalat sekali pun tidak bisa keluar masuk sembarangan"

Dia hanya mengira-ngira, tapi cukup yakin kalau letak kastel ini jauh dari istana, meski pun masih dalam kawasan wilayah kekaisaran. Ezekiel juga tidak ingin mengambil risiko mengingat saat ini Ratu masih cukup disegani di tanah Orion.

Tiba-tiba saja dia menangkap sesuatu yang cukup menarik di pemandangan taman itu. Ada empat orang pelayan yang tampak sedang mengobrol, namun satu di antara mereka memasang wajah tidak senang. Dia membawa keranjang berisi kain lebih banyak dibandingkan yang lainnya.

'Hmm menarik, bahkan di era sekarang sudah ada pembullyan." Dia mengamati cukup lama, tiba-tiba saja terbesit sebuah ide di kepalanya.

'Sepertinya Dewa benar-benar membantuku kali ini'

.

.

.

Di tepi pantai yang sunyi, di bawah langit yang berwarna kelabu, pria itu berdiri di atas pasir basah, ombak lembut memukul-mukul kakinya yang terasa berat.

Angin laut yang dingin menerpa wajahnya, membawa sisa-sisa rasa asin, namun tak cukup untuk mendinginkan hatinya yang terbakar oleh rasa frustrasi dan keputusasaan.

Matanya menatap lurus ke lautan yang tampak tak berujung, raut wajahnya menggambarkan kehampaan yang kini mengisi hidupnya setelah dia kehilangan orang yang paling berharga dalam hidupnya, meninggalkan luka yang menganga di dadanya.

Tangannya mengepal, jemarinya gemetar saat dia memikirkan masa mudanya, sejak kecil dia sudah dihadapkan dengan beban tanggung jawab yang berat sebagai seorang penerus penguasa, hingga dia mengabaikan dirinya, perasaannya bahkan orang yang dicintainya.

Dia merasa telah kehilangan segalanya, seluruh alasan kenapa dia harus tetap bertahan memikul tanggung jawab itu. Kini dia mengerti, kekosongan itu benar-benar ada. Dunianya berputar kerena keberadaan Elizabeth, dan ketika wanita itu menghilang dunianya berhenti.

Hanya tersisa kesunyian yang menggema di setiap sudut pikirannya. "Untuk apa lagi?" gumamnya lirih, hampir tenggelam oleh suara ombak.

Setiap kenangan seperti jarum yang menusuk pelan, memutar perih di benaknya. Semakin dia mencoba melupakan, semakin kenangan itu menyiksanya, seperti bayang-bayang yang menolak pergi.

Tanpa sadar langkahnya menjadi semakin dangkal. Dia merasakan perlahan air laut itu mencapai pinggangnya. Semakin dia berjalan ke depan, air itu semakin kuat menariknya.

Dia melangkah lebih dekat ke tepi, air laut yang dingin kini mencapai lututnya. Sambil memejamkan mata, dia membiarkan tubuhnya bergetar, dadanya terasa sesak, dan air mata yang tak tertahan lagi jatuh bercampur dengan air asin.

Don't Worry, We'll Get DivorcedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang