Bab 90 || Semoga Damai ||

254 22 12
                                    

Ken memperhatikan raut wajah istrinya yang begitu senang, padahal hanya mendapat balon.

Balon berbentuk bunga itu ia taruh di kursi belakang, untung nya Lisa hanya meminta satu balon saja bagaimana jika sepuluh balon? Bisa-bisa mereka bisa penuh mobil Ken dengan balon-balon itu.

"Seneng gak?" tanya Ken menoleh pada sang istri.

"Seneng! Makasih yah, Ken." balas Lisa dengan semangat, serta menunjukan senyum manis nya.

"Sama-sama, langsung pulang yah?"

"Oke."

Ken pun menyalakan mesin mobil nya, mobil berwarna hitam itu berjalan dengan kecepatan stabil. Sesekali Lisa bercerita tentang apa yang ia lakukan selama dikantor tadi, Ken menjadi pendengar yang baik,

Lisa juga banyak bertanya banyak hal, Ken seperti tak mau jika senyum Lisa memudar, begitu bahagia wanita itu sekarang.

Sedang asik mengobrol dengan Lisa, ponsel Ken berdering. Ken menepikan terlebih dahulu mobil nya untuk menerima panggilan.

"Ya, hallo?"

"Oke, gue kesana sekarang."

"Siapa?" tanya Lisa melihat wajah Ken yang tampak serius.

Ken menaruh handphone nya diatas dasbor mobil nya, kemudian beralih menatap Lisa.

"Kelvin tiba-tiba nelfon aku, katanya ada urusan penting yang mendadak." ucap Ken.

"Terus gimana? Kamu mau nyamperin dia?"

"Iya, gimana yah. Aku anterin kamu pulang dulu yah?" ucap Ken melirik istrinya.

"Tapi kan jarak rumah sama kantor itu jauh, aku ikut ajah deh, nanti aku nunggu dimobil ajah kok." ucap Lisa memberi usul agar Ken tak repot nantinya.

"Gapapa Sayang, aku bukan mau ke kantor kok,"

Lisa mengerutkan dahinya. "Terus kemana?"

Sebenarnya Ken belum mau memberitahu Lisa soal kasus Niki dan Wisnu, namun sepertinya Ken tidak akan bisa lama menyembunyikan nya.

"Kok diem? Bohong yah? Tadi bukan Pak Kelvin yang nelpon? Atau jangan-jangan, yang nelpon tadi cewek?" tanya Lisa dengan nada menuduh.

"Eh, enggak Sa. Ngawur kamu, aku beneran di telpon sama Kelvin kok." Lisa malah jadi salah paham.

"Terus? Jujur gak!"

"Iya-iya, aku jujur."

"Yaudah ngomong. Jangan dipotong-potong kayak gitu,"

"Sebenarnya..."

***

Tap!
Tap!

Lisa berlari di lorong rumah sakit bersama dengan Ken. Ken sudah menceritakan semua nya, meskipun Lisa membenci Wisnu namun rasa sayang nya pada sang ayah masih ada, apa lagi orang tua nya yang tersisa hanya Wisnu saja.

Lisa melihat Kelvin dan dua orang polisi yang sedang berdiri didepan kamar pasien.

"Bagaimana keadaan nya?" tanya Ken.

Kelvin melirik kearah Lisa lalu kembali melihat Ken, Kelvin seakan bertanya kenapa Ken membawa Lisa kesini.

"Gue udah cerita semua sama Lisa, dia juga berhak tau." ucap Ken seolah tau apa maksud tatapan Kelvin.

"Apa kondisi ayah sangat parah?" tanya Lisa.

Ceklek.

Semua menoleh kearah pintu yang terbuka.

Dokter keluar, pria ber-jas putih itu keluar dengan menggunakan masker penutup mulut.

Dokter itu membuka masker nya. "Saya ingin memberitahu bahwa kondisi Pak Wisnu sangat memprihatinkan, luka akibat paku karatan yang ia injak menyebabkan kaki bapak Wisnu terkena tetanus," ucap Dokter itu membuat Lisa terkejut.

"Nanah dan bau busuk terus keluar dari kaki pak Wisnu, luka memar di wajah nya membuat beliau susah untuk berbicara dan makan. Pak Wisnu sangat kritis, beliau seperti ingin mengatakan sesuatu namun saya sendiri susah untuk mengartikannya."

"Raganya seperti mati. Pak Wisnu juga sempat menyebut nama, Sasa dan Aldi. Apa di antara kalian ada nama mereka berdua?"

Lisa menutup mulut nya sendiri, ia tak menyangka jika kondisi Wisnu sudah sangat parah.

"Istri saya putri nya, Dok." ucap Ken memegang kedua pundak Lisa dari belakang.

"Apa dia bisa selamat, Dok?" tanya Ken.

"Hanya kemungkinan kecil, kita hanya bisa berdoa, mungkin anggota keluarga nya bisa masuk untuk melihat kondisi beliau. Siapa tau ada sesuatu yang belum terselesaikan sehingga memberatkan Pak Wisnu untuk pergi."

"Saya mau ketemu sama ayah saya, Dok."

"Sa?"

Lisa menolehkan kepalanya ke arah Ken, Lisa mengelus lembut punggung tangan Ken yang memegang pundak nya.

"Enggak papa, aku cuma mau liat ayah doang."

"Silahkan,"

"Aku temenin yah?" Lisa mengelengkan kepalanya. "Gak usah, kamu tunggu ajah di luar, aku gak lama kok," ujar nya.

Ken pun mengiyakan, ia juga sebenarnya tak sanggup untuk masuk, sebab di dalam ruangan itu akan tercium bau yang sangat menyengat.

Lisa pun masuk, ia sudah bisa melihat tubuh Wisnu yang terbaring lemah dan juga mencium bau yang sangat menggangu indra penciumannya.

Wisnu terbaring lemah dengan wajah yang lebam, kedua kaki nya tertutup perban. Selang infus juga terpasang di hidung nya.

Pria itu mengetahui keberadaan Lisa yang mulai mendekat kearah nya. "S-sa?"

"Hallo, Yah? Apa kabar?" tanya Lisa menahan air matanya.

"Gue gak nyangka semua ini bakal terjadi, Yah. Ayah udah buat kami semua hancur, ayah tau? Bunda udah gak ada. Bunda udah pergi ninggalin gue sama Aldi, dan itu semua karena ayah." bibir Lisa gemetar menahan tangis nya.

Kesal, sedih, dan marah. Semua menjadi satu, mengapa semua itu harus terjadi sekarang.

Wisnu hanya bisa melihat lisa yang menangis di hadapan nya. "Kenapa ayah tega banget sama kami, Yah? Kenapa!"

"Apa Ayah tau gimana hancur nya gue sama Aldi waktu Bunda meninggal? Apa Lo gak ada rasa bersalah sedikit pun?!"

"Apa ini karma buat, Lo. Tapi kenapa harus, Lo, kenapa! Setelah Bunda pergi, apa Lo juga harus pergi.."

Lisa menangis di hadapan Wisnu, Lisa menaruh kepalanya diatas brankar Wisnu. Tangan Wisnu tergerak, ia mengangkat tangannya menyentuh kepala Lisa.

"Pergilah, Yah. Gue udah maafin semua kesalahan Ayah, pergi dengan tenang... Gue sama Aldi bakal ikhlas," ujar Lisa dengan suara gemetar.

Tak ada yang melihat, Wisnu ikut menangis. Setitik air mata menetes dari kelopak matanya, Wisnu menghembuskan nafas terakhirnya dengan tenang.

Lisa merasakan tangan Wisnu jatuh dari atas kepalanya. Lisa menatap wajah tua itu, kenangan pahit yang ia rasakan dulu kini teringat kembali.

"Selamat tidur, Ayah. Semoga damai."

Setelah itu, Lisa keluar meninggalkan tubuh Wisnu yang sudah tak bernyawa. Ia sudah tak sanggup melihat kondisi Wisnu yang seperti itu.

***

Istri Kesayangan KendraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang