Matahari merah bertengger, dalam sorot sinarnya yang perlahan mulai bersinar, embusan angin sejuk melewati celah jendela kamar Vanda. Vanda telah bangun sejak sejam yang lalu menikmati terik sinar menyebar di rerumputan lembab yang dibasahi embun pagi, teduh.
Itulah yang dirasakan Vanda gadis remaja itu.
Sambil menikmati roti bakar di meja dan segelas teh hangat, ia tampak sedang berpikir dengan raut yang dapat ditebak.Musim liburan telah berakhir, kini saatnya untuk gadis itu untuk kembali bersekolah di SMA di kota Bandung.
Sekolah yang bermodel bangunan Belanda dengan jendela yang khas.
Vanda akan menjadi salah satu murid sekolah tersebut dengan status murid mutasi dari Pulau Kalimantan, pulau yang terkenal dengan batu baranya dan hutannya yang mulai botak.Setelah melakukan rutinitas paginya, Vanda beranjak ke kamar mandi yang berada di lantai atas. Ia menyalakan pancaran air, dekorasi kamar mandi yang nyaman, marmer putih, cat putih, bak putih, westafel putih. Semuanya berkilauan. Vanda menyukai kamar mandi yang bersih.
Kini ia mengulurkan tangan ke balik tirai pancuran dan memutar keran air dingin sampai pol.Air menempa bak mandi, menimbulkan bunyi gemuruh yang memenuhi kamar mandi.
Di rak atas toilet ada radio yang sengaja dibawa Vanda dari rumah lamanya. Ia menyalakan dan mengeraskan suaranya. Biasanya, ketika sedang di kamar mandi, Vanda senang mendengarkan musik. I Will, The Beatles. Bagus.Suara penyanyi itu mengingatkannya pada aroma hutan pinus dan tandon yang baru diguyur hujan, juga mengingatkannya pada seseorang. Ia menikmati nada mengalun di udara.
Vanda bergegas kembali ke kamar tidur, menuju ke teras yang telah ditinggalkannya setengan jam yang lalu, di halaman bawah, mobil masih tampak dibersihkan oleh ayahnya.
Ayah Vanda mempunyai seorang putri perempuan yang bernama Laipo, kadang datang berkunjung dari Malang, tempat ia kuliah.Vanda melamun membayangkan harinya sebagai siswa mutasi di sekolah tersebut. Ketika matahari memancarkan sinar dengan warna begitu hangat, ia berbalik memunggungi teras dan bersiap ke sekolah barunya.
Sambil menikmati roti bakar ditangannya, ia melangkah keluar rumah rindang tersebut. Ia dapat mencium bau embun, bersembunyi dalam rimbunan dedaunan.
Dengan jarak yang lumayan dekat, Vanda tak perlu menggunakan kendaraan untuk ke sekolah, hanya dengan berjalan kaki, ia mencapai sekolahnya dengan waktu tempuh sekitar seperempat jam.
Sebelum berangkat, Ayahnya mendoakan semoga harinya lancar di sekolah barunya tersebut, dan disambut senyum dan pelukan hangat oleh Vanda.
Vanda berangkat pagi-pagi sekali, karena ayahnya tak suka keterlambatan. Seorang ayah yang berpegang teguh pada aturan.
Seorang murid laki-laki berbelok tajam pada tikungan jalan dengan sepeda gunung yang ia kendarai, Vanda mengamatinya, tetapi pandangan murid lelaki itu tetap lurus ke depan.Setelah sampai di sekolah barunya, Vanda menyempatkan diri menyusuri lorong demi lorong sekolah, sepi.
Ia kembali bertemu dengan murid lelaki tadi, ia hanya melihat Vanda sekilas dan kembali menatap lurus ke depan.Vanda menghela napas, entahlah. Mungkin ia merasa gugup, gugup dengan tebak-tebakan, tentang seperti apa teman sekelasnya nanti, jauh dalam lubuk hatinya, ia bertanya-tanya apakah ia mampu bersaing dengan mereka dalam hal akademik, Vanda bukanlah gadis cemerlang dalam hal akademik. Sebersit wajah tenang ibunya masuk melalui celah jiwanya, ia kembali tenang.
Vanda dan Aditya murid baru juga. Digiring oleh guru BK menaiki tangga menuju kelas mereka, Aditya yang juga siswa mutasi menunjukkan perasaan gugup. Vanda mengamati Aditya, dengan rambut dinaikkan ke atas membentuk jengger ayam dan tas peti mati di punggungnya. Vanda merasa ia anak yang cukup aneh, ia tersenyum simpul.
Ketika pintu kelas tersebut dibuka, suara gaduh terdengar, dengan puluhan pasang mata memandang ke arah mereka berdua, Vanda cukup tenang.
Terlihat anak kelas tersebut melihat murid baru dengan memperhatikan penampilan mereka dan ekspresinya, timbul pula rasa penasaran terhadap kedua murid baru.
"Anak-anak, diam sebentar," suara guru muda BK membuat mereka membisu, bukan karena segan tetapi karena penasaran dengan 1 murid laki-laki yang berpenampilan seperti anggota band changcuters, dan satu lagi murid perempuan berwajah polos dengan penampilan natural yang cukup fresh.
Mereka kembali gaduh, "Diam dulu," sahut guru muda, seorang murid lelaki yang entah berkelakar apa yang tenggelam dalam kegaduhan, ekspresinya membuat Vanda mengerti, ia pasti salah satu anak brengsek.
Guru mempersilahkan memperkenalkan diri, setelah kegaduhan yang terjadi,
"Nama saya Vanda, dari Kalimantan." karena pada dasarnya Vanda tak terlalu suka berbasa-basi, ia menutupnya dengan senyum hangat. Berharap kehadirannya diterima. Lalu dilanjutkan oleh Aditya.Mereka pun dipersilahkan duduk, Vanda menghampiri meja yang terjatuh ke lantai, setelah membenahinya ia duduk dengan perasaan yang tak nyaman. Ia ingin sekali mengasingkan diri ke perpustakaan. Ia melihat ke arah Aditya, ia tampaknya masih belum nyaman. Vanda berharap dapat berteman dengan Aditya. Sebenarnya ada satu anak baru lagi, tapi Vanda tak terlalu memperhatikannya, ia adalah Ahmad, anak laki-laki botak dengan proporsi tubuh yang mirip ikan bandeng, padat dan menyebalkan. Vanda tak tahu bahwa kemudian hari Ahmad akan menjadi anak laki-laki yang Vanda benci sampai ke tulang-tulang.
Seorang murid menghampiri Vanda, ia Enur, perempuan dengan seragam kumal dan senyum yang lebar, Vanda menyambutnya, Vanda memang berniat mencari teman yang biasa-biasa saja, karena menurut teori, teman yang tak banyak gaya adalah teman yang setia, karena Vanda telah merasakan pahitnya pertemanan yang tidak sehat, yang juga menjadi alasan pindahnya Vanda ke Bandung untuk bersekolah.
"Yuk, toilet yuk," ajak Enur. Vanda mengiyakan dengan senyum simpul.
"Ih kamu aneh, baru kenal kok malah ngajak ke toilet, gila!" sahut Dewi teman Enur.
"Biarin atuh." balas Enur menjulurkan lidah, Vanda hanya tersenyum.
"Ga apa." sahut Vanda melihat ke arah Dewi.
Saat kembali ke kelas, Bu Wati guru kimia telah masuk mengajar dan memberikan satu soal kepada murid-murid dan mendiskusikannya. Respon yang di dapat bu Wati cukup banyak, Vanda tak menyangka mereka seantusias itu, juga cukup senang dengan atmosfir kompetitif diantara para murid.
Vanda lumayan menyukai sekolah ini, dan mencoba melupakan masalah yang terjadi di sekolah lama.
Vanda segan untuk memperhatikan anak-anak sekelasnya, ia tak menyadari bahwa anak lelaki di tikungan jalan dan koridor tadi juga sekelas dengan dirinya. Entah apa reaksinya nanti, sedikit kaget atau ia biasa saja.
Enur mengajaknya tur keliling sekolah, Vanda antusias. Lalu sebelum kembali ke kelas mereka mampir ke kantin.
"Makanan khas Kalimantan apa?" tanya Enur.
Tanpa berpikir, Vanda menjawab, "Ular, biawak, buaya," terbersit ekspresi kaget diwajah Enur, "kalau orang asli pedalaman Kalimantan suka makan itu." tambah Vanda. "Maaf ya aku agak lupa makanan khasnya, tapi sejenis keripik."
"Kamu mau nyobain makanan khas Bandung nggak?"
"Boleh."
Vandapun membawa makanan yang kata Enur jajanan khas Bandung, awalnya Vanda merasa aneh melihat kerupuk di rebus lalu dioseng dengan bumbu-bumbu dapur, kalau tidak salah kata Enur, itu ceb, ceblak, atau seblak atau apa ia lupa karena kantin bising yang membuat Vanda tenggelam dalam siswa yang kelaparan.
Babi tolong aku, menggembala sampah jadi kotoran
KAMU SEDANG MEMBACA
Less Crush, Less Stress
Non-Fictiongadis yang tengah berenang di dalamnya lautan perasaan.