Harutoki Saga tahu bahwa hidupnya sudah diatur sejak ia berada di dalam kandungan ibunya. Ya, ibu yang membecinya karena cacat yang dimilikinya. Mata kanan yang tidak bisa melihat lagi. Ibunya berkata bahwa ia tidak pantas menjadi penerus keluarganya. Harutoki menggeram, ia mengamuk, dan tidak tahu apa yang terjadi setelahnya...
Namun apakah pertemuannya dengan gadis bernama Aoki Haruna hanyalah kebetulan saja? Ataukah takdir yang mempertemukan keduanya?
Teng... tong... teng... tong...
"Heeyaaaah! Rasakan ini, Harutoki-dono!"
"Akulah yang akan menang, Haruna!"Bel pulang sekolah berbunyi. Koridor sekolah kembali berisik dengan keributan kecil mereka berdua. Ketua dari tim sepak bola perempuan dan tim baseball laki-laki itu sedang bertarung. Yah, bertarung memperebutkan lapangan sudah menjadi tradisi dua klub asal SMU Sakurada ini. Keduanya berlari secepat mungkin ke lapangan, tidak ingin rivalnya mendahului. Dan segala cara pun mereka halalkan.
TUK!
"Harutoki-dono! Tidak boleh melempar kacang!" gadis yang memakai ikat kepala berwarna biru, namanya Aoki Haruna, memprotes tindakan sang rival yang melemparkan kacang padanya. "Melempar kacang 'kan untuk mengusir setan! Aku ini bukan setan, tahu!"Di samping Aoki Haruna, pemuda dengan eye-patch di mata kanannya ikut berlari. Harutoki Saga, si rival abadi Haruna berbicara diselingi dengan aksen bahasa Inggrisnya. "Heh, ini kacang hasil panen kebunnya Paman Nagumo. You want it?"
Haruna yang unggul selangkah itu berhenti berlari "Benarkah? Aku mau mencoba—"
Syuuuu~Harutoki terus berlari kencang ke lapangan tanpa mempedulikan Haruna yang bengong di tempat. Tu-tunggu apa yang terjadi? Haruna masih berpikir sambil mengerutkan keningnya. Katanya Harutoki mau membagikan kacangnya. Jangan-jangan...
"..."
—Dan Haruna baru menyadari bahwa dirinya telah ditipu Harutoki.
"HARUTOKI-DONO!"—
Aoki Haruna dan Harutoki Saga. Dua nama yang jika disandingkan menimbulkan banyak reaksi dan kontroversi. Yang satu biru, satunya merah. Yang satunya polos, satunya lagi dikira h*mo. Yang satu menantang, satunya merasa ditantang. Keduanya memang bertolak belakang, tapi memiliki kesamaan. Kesamaan yang jarang dimiliki pemuda-pemudi seusia mereka.
Mereka bisa terangsang dimana saja ketika mereka bertemu.
Ah, ambigu nampaknya. Tapi yang dimaksudkan disini adalah saat mata keduanya tak sengaja berpandangan, maka itulah tanda tempur dari masing-masing pihak. Yah, sebenarnya tidak sampai seperti ini juga. Ini dimulai waktu keduanya masih kelas satu SMU.Awalnya...
Si guru bahasa Inggris kelas 2, Kanata Chiaki, tidak bisa main bola di lapangan karena beliau fisiknya seperti perempuan. Entah kata siapa, gosip ini tersebar begitu saja. Dan parahnya guru olahraga yang mengajar kelas 1 dan 2, Takamine Midori-sensei membenarkan bahwa berita itu memang benar. Katanya sih Takamine-sensei dan Kanata-sensei adalah teman dari kecil.Tidak ingin dianggap guru lemah dan payah, Kanata-sensei dengan senyuman cetarnya, menginginkan duel satu lawan satu dengan Takamine-sensei. Tawaran itu tentu diterima layaknya panglima menerima tantangan dari panglima lain. Dengar-dengar Kanata-sensei mau meluruskan kesalah pahaman ini. Setidaknya itulah yang bisa disimpulkan saat itu.
Hari sudah ditentukan. Lapangan sudah dibersihkan. Pemandu sorak dari masing-masing guru sudah siap mendukung. Para guru lainnya ikut menonton, termasuk kepala sekolah dan wakilnya. Bahkan semua murid ikut-ikutan menonton! Bayangkan saja, betapa berisik dan sesaknya lapangan sekolah. Memang hari itu sudah disepakati kalau seluruh siswa diliburkan. Dengan catatan, harus berada di sekolah. Yah, sama aja kalau begitu.
"Kita tidak boleh melewatkan kesempatan yang ada. Mungkin salah satu dari mereka akan gugur dan posisiku sebagai kepala sekolah tidak terancam lagi," Sang kepala sekolah berkata sambil tertawa ala setan saat diwawancarai anggota klub Koran sekolah.
Namun, kabar itu tidak menyurutkan semangat para siswa. Di tengah lapangan, dua guru yang saling berpandangan. Eaa... bukan h*mo ceritanya. Melainkan pandangan yang menyiratkan dukungan pada rival.
