Sandi AZ Dan Ikatan Persahabatan

6 2 0
                                    

Kota Samarinda terlihat memukau dengan sungai mahakam-nya. Aku merasakan begitu. Aku kini, duduk di atas dermaga, di sebuah bangku panjang. Menikmati sajian senja berupa sunset. Yang ditemani dengan awan kelabu dan langit mega merah. Juga dalam genggamanku, sebuah catatan masa lalu. Aku baca buku itu pada halaman yang ku tandai. Isinya tentang sebuah kisah yang diceritakan olehnya, berupa pengalaman yang tak terlupa dalam sel neuron-nya, saat liburan panjang, yaitu:

Hari itu, aku dan kawanku -Yusuf- duduk di bangku taman sekolah, dengan lantai berupa rumput gajah. Di bawah sejuknya hasil oksigen beringin. Sambil menikmati segelas teh hangat dan belaian angin sepoi-sepoi. Awan putih bak kapas mengambang di langit biru. Putih bersih. Mentari pun begitu, menampakkan sinarnya dengan angkuh dan menyilaukan mata, namun, kami terlindung rimbun beringin. Sekeras apapun sang surya berusaha, takkan mampu menerobos langit-langit rimbun beringin. Begitu juga, yang dikatakan Ibnu 'Athaillah, 'menggebunya semangat, tak akan mampu menerobos benteng takdir'. Ia tak tahan dengan keheningan, ia mulai memecahnya dengan cerita berharga.

"Waktu itu adalah liburan kenaikan kelas. Aku dan Ayahku pergi ke daerah paling timur Indonesia, Papua, yang terkenal dengan burung dewatanya. Kami Check-In di bandara Adi Sutjipto, Jogjakarta. Setelah Check-in, kami menunggu beberapa menit di ruang tunggu, hingga, tibalah pemanggilan untuk menaiki pesawat. Kami beranjak dari bangku tunggu, lalu, berjalan menuju pintu ke luar menuju pesawat. Kami berjalan, di lapangan penerbangan, berupa lapangan luas yang dicor, dengan sekitarnya berupa hutan yang membatasi lapangan penerbangan. Matahari tak nampak, hanya gumpalan hitam dan langit putih. Barangkali, sebentar lagi gerimis turun. Kami bergegas naik ke pesawat, dan duduk sesuai yang tertera di tiket. Di dalam pesawat, aku duduk memandangi pemandangan luar, lewat kaca. Guna, meninggalkan kesan dalam hati, agar menentramkan kalbuku. Dan memejamkan mata, sejenak pun boleh, aku ingin istirahat, rasanya lelah menunggu dan menunggu."

Ia menelan ludah, lalu kembali bercerita, "Tak ku sadari, pesawat sudah lepas landas, aku terbelalak, lalu, mengusap-usap mata. Ku lihat Ayah sedang membaca majalah, aku mengambil earphone dan MP3, aku ingin mendengar musik sambil memejamkan mata lagi, aku terlelap. Berselang tiga puluh menit kemudian, aku terkaget dan terperangah, melihat sesosok lelaki bertubuh kekar tepat di sampingku -sedangkan Ayahku, duduk di seberang kiriku, dan berkulit sawo matang itu memegangi lehernya, mengaduh dan mulutnya ke luar busa. Terlebih, aku mendengar jeritan seorang wanita dan menangis sesenggukan di belakangnya. Aku kaget, tak tahu apa yang harus ku lakukan. Aku pun melepaskan sabuk pengaman, dan berlari ke arah pramugari dan pramugara yang sedang duduk di belakang.

Mereka langsung memberitahu peristiwa itu pada pilot, dan apa ada seorang dokter di situ. Ku lihat, ada seseorang lelaki paruh baya yang mengangkat tangan, kelihatannya dia seorang dokter. Ia bergegas menuju korban dengan cepat. Lalu, memeriksa korban dan sebuah botol air minum dalam kemasan yang ada di depannya itu, ia berkata, "Kelihatannya ia keracunan, dan racunnya adalah racun ular laut, bisa tolong ambilkan segelas teh?" katanya saat memeriksa dengan nada suara yang tinggi, lalu merendah. Beberapa detik kemudian seorang pramugari membawa sebuah teh. Yusuf berhenti sejenak, lalu menukas. "aku yakin, kawan, itu adalah penawar racun ular laut, ya, teh itu adalah Tanin."

Ia melanjutkan, "Setelah memeriksa, dan memberikan Tanin itu, ia bergumam, namun, terdengar oleh orang di sekitarnya, "Syukurlah dia selamat, kelihatannya, ada orang yang membawa racun ular laut lalu mengoleskannya ke balik tutup botol yang berisi air putih berkemasan ini, yang ada di depan korban ini, dan, pelakunya ada di antara semua penumpang." Ada seseorang lelaki paruh baya tegap, memakai jas berwarna hitam, dan dasi berwarna biru bergaris putih, dan memakai celana hitam formal, yang berdiri beranjak dari tempat ia duduk, lalu, mulai membuka bibirnya.

"Ya, benar kata dokter itu," Selanya, "Tapi, bolehkah aku tadi memeriksa identitas korban?" Tanyanya.
"Ya, tentu, saja," kata sang dokter, "Namun, siapa engkau?"
"Aku seorang polisi," Tandasnya.
"Baiklah." Ia lalu merogoh saku celana dan kemeja yang dipakai korban, dan menemukan semacam kartu tanda penduduk, dan surat izin mengemudi, tertera di situ namanya dengan lengkap dan jelas.

CERPEN (AND)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang