Obat Penawar Atau Racun? (Part 2)

10 1 0
                                    

Krieett, pintu kamar Anggrek III terbuka. Dokter Broto lah yang datang. Tapi hari ini tidak ada jadwal pengecekan. Kenapa dokter Broto datang, ya?
"Astrid, mama kamu lagi kerja, kan?" dokter mendekat ke ranjang.
"Oh, mama. kalau mau ketemu mama, jam empat sore dia baru pulang, dok" kata Astrid. Tapi kalau sudah tau mamanya tidak ada, kenapa dokter Broto masih datang? Aneh.
"Kalau begitu masih lama. Saya kesini bukan mau ketemu mama kamu." ujar dokter. Astrid tambah bingung. "Saya kesini... Untuk ceritakan yang sebenarnya," ujar dokter. Ada apa ini? Suasananya jadi tegang seketika.
"Hah, yang sebenarnya? Maksud dokter?" Astrid menyipitkan matanya. Dokter mengambil bangku dan duduk di sebelah ranjang Astrid.
"Kamu... nggak jatuh dari tangga," dokter itu menunduk. "Kamu... Ditabrak mobil," lanjutnya. Astrid berusaha mencerna ucapan dokter Broto.
"Hah, dokter ngomong apa, sih?" Astrid masih kebingungan.
"Mama kamu cuma berbohong. Kamu ditabrak oleh mobil saat ingin menyeberang. Saya sudah tidak tahan menutupi tragedi itu karena... karena saatnya semakin mendekat," ujar dokter. Ya, Astrid paham. Mamanya bilang dia masuk rumah sakit karena jatuh dari tangga. Dan ingatan saat itu kembali terulang. Astrid ingat sekarang! Saat itu dia baru saja membeli jajanan di seberang sekolah bersama Salsa. Tapi Salsa meninggalkannya. Dia juga membawa tas Salsa yang berat, belum lagi semua jajanan yang Astrid pegang. Wajar saja dia jatuh keberatan. Namun, belumlah berdiri, mobil sedang berwarna merah sudah menabrak tubuhnya. Salsa hanya meninggalkan Astrid dengan tujuan bercanda, tapi Salsa malah terseret masalah yang serius.
"Iya, aku ingat sekarang! Salsa... Dia meninggalkanku," ujar Astrid memegang kepalanya yang pusing. Dokter Broto mau menjawab, tapi Astrid sudah tak sadarkan diri. Dia segera mengecek kondisi Astrid dengan stetoskop. Denyut jantungnya melambat. Astrid harus segera dibawa ke ruang periksa!

"Sus, di mana Astrid?! Dia di ruang mana?!" mama yang cemas itu bertanya kepada suster yang berpapasan dengannya.
"Ruang ICU, saya baru mau mengambilkan alat kejut," ujar suster itu. Alat kejut? Berarti kondisi Astrid berbahaya sekali.
Tuk, tuk, tuk, sepatu coklat mama mengetuk lantai dengan gesit.
Matanya mulai basah ketika sampai di depan pintu ruang ICU yang terkunci rapat itu. Dia menatap putrinya di balik kaca kecil yang ada di pintunya. Dokter dengan baju hijau bermasker mengacungkan jempolnya pada mama. Setidaknya dengan simbol itu, mama bisa mengetahui bahwa putrinya baik-baik saja.

3 jam, 5 jam, langit mulai berwarna oranye. Mama masih saja menunggu proses pengobatan mendadak itu dilakukan. Matanya mulai kering karena diterpa angin AC. Kepalanya terantuk-antuk senederan kursi karena menahan kantuk. Pakaiannya masih sama seperti tadi siang, blus hijau dengan celana polos nerwarna biru donker.
Kluk, pintu itu terbuka nyaring. Mama yang tengan tidur ayam itu terbangun.
"Bu Fani," dokter Broto menyapa dan menurunkan maskernya. "Maaf belum minta izin terlebih dahulu, Astrid dioperasi. Tengkoraknya retak, membahayakan otaknya. Sebenarnya sudah retak sejak insiden terjadi, tapi karena kecerobohan kami, kami baru sadar sekarang saat retakannya melebar," kata dokter dengan keringat mengucur.
"Kenapa bisa?! Jadi Astrid... dia... Dok, kapan saya bisa jenguk dia di sana? Masih ada peluang sembuh nggak dok?" tanya mama, mengulang kata yang sama tiap bertemu dokter Broto. Dokter menggeleng.
"Sayang sekali, tidak, bu. Kami sedang berusaha mati-matian agar otaknya tidak terkena bahaya. Untuk itu pun sulit. Penyakit di area otak hampir setengahnya berbahaya," jelas dokter. Mama terpukul untuk ke sekian kalinya. Napasnya sesak, menerima kenyataan. Jika masih ada suaminya, mungkin dia akan lebih tegar.
"Memang tabrakan itu sekuat itu ya, dok? Saya... Saya nggak mikir sejauh itu," kata mama.
"Harusnya lebih parah dari yang kita kira karena tabrakan kecil tidak akan menyebabkan kerusakan fatal begini," jawab dokter. "Ya sudah, kami cuma minta doa saja. Saya tau ibu mengantuk di sini, nggak apa, balik aja ke kamar, kami akan kasih tau segera kalau operasinya selesai. Saya masuk dulu ya bu, saya lanjutkan dulu," dokter pamit. Mama yang putus asa itu pulang ke kamar dengan lesu.

"Taarraa!" kejutan apa lagi ini. Mata Astrid baru terbuka dari lelapnya dan sudah mendapat surprise ini. "Pagi yang cerah Astrid! Kamu harus jalan-jalan di taman rumah sakit hari ini!"
"Kak Sash... a? He, pagi," Astrid mengucek katanya. Perawat riang itu tersenyum manis di depan Astrid.
"Ayo, siap-siap. Kita mau pergi. Kamu belum pernah ke taman, kan?"
"Pergi ke mana, ah. Astrid kan sakit,"
"Ini hari minggu Astrid. Aku bosan nungguin kamu sadar. Kamu tau satu bulan itu seberapa lama? Novel yang kamu ceritain itu belum selesai tau. Dan lagi, aku orang pertama yang lihat kamu sadar!" Sasha unjuk gigi.
"Sadar? Astrid sadar?!" Mama baru dari supermarket seberang rumah sakit. Dia membawa dua kantong makanan dan langsung ia lempar ke sofa mendengar puterinya sadar. Kenapa dia belum pernah sekali pun menjadi orang yang pertama kali tau putrinya sadar?
"Iya, Astrid koma lagi, ya?" tanya Astrid. Sasha menatap wajah mama Astrid, kasih tau nggak? Maksud tatapannya.
"Ehm, cuma sebentar kok. Tuh, mama beli baguette. Roti kesukaan kamu. Mama baru tau kalau di sini ada," mama mengalihkan topik.
"Sebulan sebentar, kata siapa?" hardik Astrid memakan baguette yang diberikan mamanya. Jleb. Seketika kata-kata singkat itu menyindir mama. Sasha tertawa.
"Dah, ah. Mama mau kasih tau dokter Broto dulu," mama pamit keluar. Astrid dan Sasha melanjutkan ngobrol mereka tanpa peduli bahwa 4 menit yang lalu, Astrid Stefania Anjelina, sedang terbaring kritis. Mereka mengobrol melepaskan rindu.
Wangi parfum menyengat dokter Broto tercium. Sekitar 70 meter. Dia tak punya selera parfum yang bagus. Menurut Astrid, hal itu lumrah bagi seorang dokter.
"Masih sama seperti sebelumnya, saya yakin kamu pusing. Artinya tengkorak itu belum terpasang benar. Ya sudah, semoga lekas sembuh. Ada tambahan pasien, saya tinggal dulu, ya." dokter berjalan cepat. Cukup 1 menit kurang dia singgah. Kemajuan yang cukup melegakan. Setidaknya belum ada kabar buruk.
Menit demi menit habis, Sasha hampir pulang. Dia sedang liburan. Di hari liburnya, dia malah ke tempat kerjanya sendiri. Tak patut ditiru.
"Tengkorak apa? Kenapa tengkorakku?" tanya Astrid menyipitkan mata.
"Tengkorakmu berbentuk kotak dan mau diluruskan dulu," canda Sasha menyiapkan tasnya. Astrid dan mama tertawa dan Astrid segera melupakannya. Sasha pun pulang. Pulang ke rumah, bukan ke ruang rawat inap pasien lain.
"Ma, Salsa masih belum ada kabarnya, ya?" tanya Astrid membuka topik baru.
"Salsa lagi, sudah lupain dia! Dateng enggak, kasih kabar enggak. Mama ke sekolah dua hari yang lalu untuk cari dia. Tapi dianya nggak ada. Mama curiga dia takut sama kamu. Kenapa, kamu ada masalah sama dia?" tanya mama.
"Apaan sih, ma. Salsa oke-oke aja, kok. Kan, sebentar lagi Astrid pulang. Jadi bisa ketemu, deh," ujar Astrid.

CERPEN (AND)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang