Senyum Sang Senja

23 4 0
                                        

"Aku mencintaimu, Gaza. Bukan karena tampangmu, tapi keluhuran budimu. Mungkin kau berpikir aku sama seperti gadis yang sering mengejarmu itu. Hinadina. Tapi aku tidak seperti mereka, aku tulus." Kata gadis itu tertunduk.
"Gadis bodoh", pekikku. "Tak usahlah kau rendahkan dirimu seperti itu. Kau sama saja dengan gadis-gadis itu. Tak ada apa-apanya."
Dia masih merunduk. Tak bisa ku baca rona wajahnya. Entah marah, kecewa, sedih. Masa bodoh. Aku berlalu, meninggalkannya sendirian, masih mematung di tempatnya. Dia telah terluka, gumamku. Dan aku tak peduli.

Kini, gadis itu kembali berdiri di hadapanku. Setelah 9 tahun terpisah. Ia masih sama, santun dan ramah.
"Lama tak berjumpa Gaza. Apa kabar?" Sapanya mengulum senyum.
"Baik Doktor." Jawabku singkat.
"Ah, kau bicara terlalu formal. Biasa sajalah. Kita ini kan kawan, seumuran pula."
Doktor Raudhotul Jannah, kawan semasa SMA, kini akan jadi pembimbing tesisku. Gadis yang dulu sempat ku campakkan dengan kalimat kasarku.
Tuhan, mengapa harus gadis ini?

3 bulan telah berlalu. Tibalah ujian tesisku. Aku berharap usahaku tak sia-sia.
"Selamat Gaza. Kamu lulus. Tak sia-sia Doktor Rara membimbingmu selama ini. Berterima kasihlah padanya." Kata profesor Idharin As-siasy.

Di sore yang indah, di tepi pantai kenangan, aku duduk bersama Doktor Rara. Aku mengajaknya bertemu untuk mengucapkan terima kasih juga untuk sesuatu yang lain.
"Terima kasih Doktor. Berkat kesabaran Doktor dalam membimbing saya, saya bisa lulus dengan nilai terbaik." Kataku memecah kebisuan.
"Kau berlebihan Gaza. Aku hanya sedikit membantu Selebihnya adalah usaha dan kerja kerasmu sendiri."
Hening. Suasana kembali hening. Tak ada yang berani membuka suara.
Akhirnya, aku pun memberanikan diri.
"Maaf untuk semua perkataan kasarku dulu. Aku yakin kau sangat terluka. Aku keterlaluan. Mencampakkan gadis sepertimu. Tak menghargai keberanianmu."
"Tak apalah. Itu masa lalu, sudah lama sekali. Aku tak terluka sedikitpun. Karena aku tau, kau tak benar-benar mengucapkannya dari hatimu."
Sungguh mulia hati gadis itu. Senyumnya merekah, menembus palung hatiku yang terdalam. Aku rasa, aku memiliki perasaan itu. Perasaan yang sama sepertinya, waktu dulu.
Dan aku tak berani mengutarakannya. Aku sangsi ia akan menerimanya mengingat perlakuan burukku terhadapnya dulu. Tapi rasa ini terus menyiksaku. Tak ada pilihan lain. Aku harus jujur.
"Aku mencintaimu." Hening. Hanya deburan ombak yang mengiringi keberanianku itu.
Dengan sesungging senyum, ia berujar. "Aku masih sama. Tak pernah berubah. Masih mencintaimu hingga detik ini."
Aku tertegun. Tak percaya ia akan berkata seperti itu. Tapi aku bahagia, bahagia yang tak terdefinisi.

Senja semakin dekat. Awan jingga kemerahan menghias langit. Betapa indahnya hari ini. Terima kasih cinta. Terima kasih masih mencintaiku hingga kini. Aku takkan menyia-nyiakanmu lagi, seperti dulu. Itu takkan terjadi lagi.




MAAF cerita ini cuman pendek soalnya udah ngk tau lg mau buat apa


CERPEN (AND)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang