"Kamu lagi, Ando! Sudah berapa kali kamu telat bulan ini?" Teriak Bu Rahma, suaranya menggema di ruangan kelas itu. Orang yang diajak bicara hanya menyengir, tanpa merasa bersalah.
"Mungkin sepuluh kali Bu," sahutnya kalem. Bu Rahma mendengus sebal. Bisa-bisanya ia mempunyai anak murid seperti ini.
"Baiklah. Kamu masuk sana. Saya tidak tau lagi harus memberi hukuman apa ke kamu agar kamu tidak telat lagi." Bu Rahma sudah kembali menjelaskan pelajaran, membuat susana di ruangan kecil itu kembali hening. Setelah Ando mengucapkan terimakasih, ia duduk di kursinya. Mencoret-coret buku pelajarannya, tanpa memperhatikan penjelasan Bu Rahma. "Ando, kamu jawab nomor dua." Ando mengangkat kepalanya saat merasa terpanggil. Ia melihat berderet angka yang tertulis dengan indah di papan tulis. Bibirnya tersenyum miring. Angka-angka itu seperti teman sejatinya yang bisa ia taklukkan dengan mudah.
Beberapa detik saja, bebrapa angka sudah ia temukan. Bu Rahma tersenyum tipis, itu kelebihan Ando dibalik sifat berandalannya.
—
"Lo bisa diem gak sih?" Ando memukul meja yang ada di depannya. Orang-orang yang sedang mengobrol di kantin langsung diam. Semua pasang mata langsung terarah pada Ando, memperhatikan apa yang terjadi selanjutnya lagi. Ando bangkit berdiri, melihat sosok laki-laki yang ada di hadapannya dengan tatapan tajam. Sebuah pukulan mendarat pada pipi laki-laki itu, membuat luka lebam. Laki-laki bernama Satya itu tersenyum miring, lalu mendaratkan pukulan lagi di pipi Ando. Mereka saling memukul, sampai ada suara yang menghentikan mereka.
"Kalian lagi! Pergi ke ruang BK." Ando dan Satya yang sudah babak belur mengekor guru yang berjalan ke ruang BK.
Ando menghela napas. Surat tentang kelakuan dirinya sudah mendarat di tangan papa dan mamanya. Nasib buruk akan menimpanya. Sebuah pukulan lebih dahsyat akan diterimanya lagi, pasti. Sudah pasti, dan akan terus begitu.
Wajah papanya yang marah menyambutnya di ruang tamu. Ando tersenyum kecut. Sudah kebal, begitu baginya. "Ando! Kamu buat ulah apa lagi hari ini?" Papa Ando melempar surat dari ruang BK. Wajahnya merah padam, menahan gejolak amarah yang ada di hatinya.
"Hanya mendaratkan sebuah pukulan yang membuat luka lebam." Setelah mengucapkan itu, wajah papanya bertambah marah. Papanya bangkit dari duduknya, dan mendaratkan sebuah tamparan keras di pipi Ando. Ando menggigit bibir bawahnya keras-keras, berusaha menahan rasa nyeri yang ada di hatinya. Rasa sakit di hatinya jauh lebih besar daripada di pipinya.
Mamanya menghampiri papanya. "Sudahlah, pa. Tak ada gunanya kita menasihati dia, telinganya itu sudah tersumbat," ucap mamanya menyindir Ando. Ando terdiam, perkataan itu jauh lebih menyakitkan daripada tamparan tadi. Rasanya ada seribu jarum yang menusuk-nusuk hatinya.
Papanya sudah duduk kembali di sofa. Wajahnya sudah jauh lebih tenang daripada tadi. Ando masuk ke dalam kamarnya, dan mengunci pintu. Ia meringkuk di balik pintu, memeluk tubuhnya sendiri. Kenapa? Kenapa ia tidak bisa menerima sebuah kasih sayang? Dulu, sebelum ia berbuat masalah, saat dirinya mendapat berbagai medali, apa pernah orangtuanya membanggakan dirinya? Apa pernah segala ucapan selamat ia terima? Jawabannya tidak pernah. Hanya segala keburukannya yang dilihat oleh papa dan mamanya. Ia mengangkat kepalanya, melihat ruangan kamarnya dengan pandangan nanar.
—
Ando merasa ada seseorang yang menepuk pundaknya. Ia menoleh singkat. Lalu tersenyum samar. "Ada apa, Fin?" Orang yang diajak bicara tersenyum simpul. "Lo disuruh ke ruang guru, katanya lo disuruh lomba lagi tuh." Ando mengangguk, lalu kakinya melangkah ke ruang guru.
Ando menatap Bu Rahma yang sedang mengurus berlembar-lembar kertas. Sesekali matanya mengamati ruangan besar berkipas angin itu. Bu Rahma mengangkat kepalanya, memperhatikan Ando dengan saksama. "Kamu lomba lagi, mewakili sekolah ini. Besok kamu datang ke sekolah seperti biasa." Ando mengangguk singkat setelah Bu Rahma selesai bicara, dan melangkah keluar.
Lomba lagi, lagi dan lagi. Tapi, buat apa kalau orangtuanya sendiri pun tidak bangga?
Ando mengendarai motornya dengan sangat cepat. Napas Ando memburu. Seperti biasa, ia mendapat juara pertama lagi dalam lomba kali ini. Tapi, sebuah telepon ia terima tadi. Mamanya kecelakaan. Suatu berita yang sangat buruk bagi Ando. Pikirannya kacau. Ia sangat menyayangi mamanya, walaupun ia tidak tau, apakah mamanya menyayanginya atau tidak.
BRAKK!! Motor hitam Ando menabrak mobil yang ada di depannya. Tubuhnya terguling, menghantam benda-benda di sekitarnya. Darah berucuran dari kepalanya. Penglihatannya menjadi gelap. Mungkin, meninggal jauh lebih baik, daripada terus merasakan sakit di hati.
