"Assalamualaikum Kak Ramly." ujarku membuka suasana saat itu. Aku masih lemah dan berusaha memulai keceriaan di depannya. Kak Ramly diam sejenak menatap raut wajahku yang polos dan masih lemah. Seakan dia tidak tega menerima senyumannku yang terpaksa ku ukir. Dia langsung menyambarku dengan pelukannya. Saat itu pula tangisnya tertumpah melihatku lagi di kursi roda.
"waalaikumussalam gadis kecilku hiks, hiks. Kenapa kau memakai kursi roda lagi? Bukankah kau sudah sembuh haa?! Hiks, hiks. Kenapa kau tak jaga kesehatanmu? Kenapa kau jengkel lagi? Kapan kau menjadi wanita yang tangguh dan mandiri?" Air mataku tumpah lagi dalam pelukan Kak Ramly. Aku terpejam tak bisa apa-apa, tenagaku sudah terkuras habis. Kak Ramly melepas pelukannya. "kau semakin kurus dan lihatlah wajahmu Lin? Apa kau sangat terpuruk saat kepergian Kakak?" tandas Kak Ramly dengan sedikit isak tangis yang masih menemaninya.
Aku tertunduk lemas dengan pertanyaan Kak Ramly. Ku lihat Lina memalingkan badan padaku, ia tak tega melihatku seperti ini. Sebelum menjawab pertanyaan Kak Ramly, wanita itu berlari menjauh dan Kak Ramly memanggil namun dia tak kunjung berhenti. Aku semakin merasa bersalah. "jawab Linn..." ujar Kak Ramly dengan sedikit membentakku.
Aku tetap merunduk hingga Kak Ramly tak bersua lagi dan tangisnya mulai reda. Aku berpikir sekaranglah waktunya untuk jujur. Bahwa aku sangat mencintai Kak Ramly. Dengan penuh kekuatan ku nyanyikan bait lagu yang selalu di dendangkannya dulu. "Ku cobaaa, untuk melawan hati, tapi hampa terasa di sini tanpamu. Bagiku semua sangat berarti lagi, ku ingin kau di sini tepiskan sepiku, bersamamu. Hingga akhir waktu."
Kak Ramly memelukku dan tanpa sepatah kata lagi dia pergi meninggalkanku. Batinku semakin memberontak. "bodohnya kamu Lin. Bodoh, bodoh, bodooooh. Kau ini hanya gadis biasa yang bisanya hanya merepotkan orang lain."
"kenapa kau ucapkan itu Olin? Kau sudah tahu dia punya istri kenapa kau katakan seakan kau masih mengharapkannya." bentak Lina. "selama aku masih hidup, aku tak pernah putus harapan Na." ujarku membalas dengan mantap.—
Akhirnya aku dibolehkan pulang dari rumah sakit, kesehatanku sudah pulih dan aku sudah bisa melakukan aktivitas sehari-hari. Kini Bibiku sudah berada dalam jeruji besi. Aku memikirkan nasib Nenek yang sendirian di rumahnya. Aku meminta pada Lina untuk menemaniku langsung ke rumah Nenek. Nenek akan ku ajak tinggal di rumah untuk menemani kehidupanku, dan rencanaku juga mengajak Lina untuk tinggal di sana sembari melanjutkan kuliahnya.
Semuanya sekarang ku jadikan sebuah pelajaran. Aku teringat kata Marcus Aurelius dalam rimbunan sajaknya yang tak pernah membuatku terpejam. "Bukan kematian yang harus ditakuti orang, tetapi takutlah jika tidak pernah mulai untuk hidup." hmm pasti setiap orang yang membaca kata ini bingung. Namun aku mengartikan memang benar kita tidak perlu menakuti mati, tapi kita harus takut jika kita tidak pernah berubah menuju kebaikan dalam kehidupan ini.
"okeee Naaa. Sekarang kita harus berubah. Tidak ada pohon jika tidak ada bijinya yang kita tanam betulkan?" ujarku penuh semangat saat di depan gerbang rumah sakit. Hari ini aku merasa sangat bahagia dan bisa memulai untuk melupakan semua yang telah terjadi. Yang sudah membuatku bersedih bersama sahabatku Lina.
"hehe benar Olin, percuma kita ingat semunya. Semangaaaat!!!" balas Lina dengan semangat.Namun terdengar suara ambulans segera mendekat ke arah kami berdua berdiri. Aku dan Lina segera menyampingkan diri dari gerbang masuk Rumah Sakit. Ku lihat dua orang dikeluarkan dari ambulans tersebut. Satu wanita dan satu laki-laki, namun yang laki-laki itu aku sepertinya kenal. Namun semuanya ku tepis dan ku hilangkan rasa penasaranku yang berlebihan. "Ayoo Naa kita berangkat cari angkot untuk ke rumah Nenek."
—
Ku lihat nenek sedang sendiri di kursi goyangnya yang telah lama menemani masa tuanya. Ia hanya sendiri dengan Bik Inah. Namun nenek merasa lebih baik seperti itu daripada ditemani dengan Bibi Sinta yang sangat pemboros dan keras kepala. Aku sangat bersyukur Bibi Sinta kini ada dalam jeruji besi. Jika masih bersama nenek, pasti harta nenek dan milikku diembat habis-habis untuk berhura-hura. Oh tidaaak! aku segera berlari untuk memeluk nenek.