Namaku Rin. Umurku tujuh belas tahun. Hobiku bermain game. Kegiatanku sehari-hari hanya seputar pergi ke sekolah, pulang, makan, main game, belajar, tidur.. dan seterusnya. Kehidupanku sama normalnya dengan jutaan anak SMA lain di Indonesia. Tidak ada yang istimewa. Keluargaku normal, aku anak tunggal, ayah dan ibuku masih lengkap, aku memliki teman-teman di sekolah, terkadang kami belajar bersama atau pergi main ke suatu tempat –yah, intinya semua yang kualami setiap harinya benar-benar biasa saja.
Sampai suatu hari sepulang sekolah, aku bertemu malaikat kematian yang duduk dengan santai di ambang jendela kamarku –dengan sayap sehitam burung gagak terlipat di punggungnya- dia tersenyum dan mengedipkan salah satu mata hitam-kelamnya kepadaku.Sebenarnya saat itu aku tidak tahu kalau dia adalah malaikat kematian. Namun sekarang aku sudah tahu. Dengan selang-selang dan berbagai alat bantu yang menempel di hampir sekujur badanku, di ranjang rumah sakit, Akira akan mengantarkanku kepada kematian. Akira mengeluarkan tongkat baja dengan ujung yang ditempeli besi melengkung seperti pedang besar.
Pedang besar yang penuh bercak darah.
"Seharusnya aku sudah bisa menebak dari awal, ya." Aku tertawa kecil, sambil membuang muka ke arah jendela di samping ranjang, melihat ujung lidah sinar matahari yang mulai terbit. Ia sendiri sedang berdiri di sisi satunya sambil memegang tongkat tersebut. Aura abu-abu di sekitarnya berkelip sedikit, mungkin ia agak tersinggung karena aku tidak mau menatap wajahnya.
"Seharusnya aku sudah tahu sejak pertanyaan pertamamu." Kataku lagi, kali ini sambil menatap langit-langit kamar rumah sakit. Mengingat pertemuan pertama kami."Apa keinginan terbesarmu, Rin?" Pemuda itu tiba-tiba bertanya. Dengan satu gerakan yang tidak dapat kulihat, tiba-tiba ia sudah berdiri di depanku.
Terhuyung mundur beberapa langkah, aku bisa merasakan kepalaku agak pusing. Apa-apaan ini? Pesta kostum?
Aku hanya bisa merespon pertanyaannya dengan, "Apa ini? Sinterklas punya anak buah baru?"
Warna abu-abu yang mengelilingi sekitar tubuhnya berkedip, berubah menjadi sedikit lebih cerah. Pemuda itu tertawa.
"Ah, dulu Sinterklas memang pernah ada. Dia kakek tua yang penuh semangat. Menyibukkan diri membuat berbagai hadiah untuk anak-anak di sekitar rumahnya sampai kematian menjemputnya. Ternyata sampai sekarang ia masih menjadi legenda di dunia manusia, ya?""Saat itu dengan bodohnya aku berpikir kalau kau hanya membual," aku tesedak, seperti ada sesuatu yang menyumbat tenggorokanku. "Kau membicarakan Sinterklas! Siapa sangka saat itu aku sedang berhadapan dengan malaikat kematian?"
Kali ini –lagi-lagi tanpa kusadari- ia sudah berdiri di dekat jendela, menutupi ranjangku dari sinar matahari pagi yang mulai masuk. Tongkatnya sudah hilang entah kemana. Dari tempatku berbaring, aku bisa melihat ujung sayap kirinya yang agak bengkok. Hasil dari perbuatannya lima bulan lalu.Hujan deras sudah berhenti, menyisakan gerimis dan jalanan yang basah. Aku berlari kecil ke luar sekolah, bergegas menuju rumah sebelum hujan menjadi deras kembali, lagipula hari sudah gelap. Aku tidak membawa payung atau apapun yang bisa melindungiku dari tetesan-tetesan air, jadi aku terjebak selama tiga jam di sekolah. Mendesah keras, aku membayangkan sayap lebar milik Akira yang mungkin bisa melindungiku dari gerimis ini.
Akira. Nama malaikat yang sebulan lalu seenaknya bertengger di jendela kamarku. Ia malaikat. Pasti. Makhluk apa lagi yang memiliki wujud manusia dengan tambahan sayap di punggung? Bayangan tentang malaikat –makhluk yang selama ini kubayangkan sebagai sosok magis dengan tingkah laku memesona- dihancurkan dalam sekejap mata oleh Akira. Untuk ukuran malaikat, Akira benar-benar banyak bicara dan suka mengejek. Satu-satunya yang mengesankan darinya hanyalah sayap hitamnya yang luar biasa besar jika direntangkan. Sebenarnya aku juga menganggapnya sangat tampan, apalagi dengan mata hitam-kelamnya. Namun, tentu saja, aku tidak akan menyebutkan kelebihannya yang satu itu di depannya.
Sejak pertemuan pertama kami, ia jadi sering menemaniku. Aku seharusnya takut, tapi anehnya aku malah merasa nyaman. Aku suka ketika ia tiba-tiba muncul di samping meja belajarku saat aku mengerjakan PR, lalu ia akan duduk di ranjang dan ikut membuka-buka buku pelajaranku, menanyakan berbagai hal tentang apapun yang ada di dalam buku. Sesekali ia akan menggunakan kekuatannya untuk menyemangatiku jika tugas sekolahku menumpuk. Entah itu memperlebar jendela kamarku dan membuat bintang-bintang di langit malam menjadi dua kali lebih besar dan berkilau, -"Hanya bisa dilihat dari jendela kamarmu, tenang saja." Jawabnya santai saat aku panik memikirkan reaksi orang-orang ketika melihat ukuran bulan dan bintang yang tidak wajar –atau menurunkan salju di dalam kamarku (yang bisa menghilang beberapa milimeter sebelum menyentuh benda-benda di dalam kamar –namun masih bisa kusentuh- jadi aku tidak perlu repot-repot membersihkan). Sebagai ganti atas hiburannnya, aku sesekali mengajaknya berjalan-jalan sambil mengobrolkan banyak hal, atau membuatkannya kue-kue. Malaikat sebenarnya tidak perlu makanan, tapi Akira sangat meyukai kue-kue buatanku. Ia akan duduk di kursi dapur, menemaniku membuat kue dan kami akan memakannya bersama di kamarku sambil membaca buku atau menonton film. Akira selalu datang seenaknya sendiri, bahkan ia pernah mendatangiku di kantin sekolah! Untungnya, hanya aku yang bisa melihat Akira. Saat itu aku masih tidak tahu kenapa.