MALAM INI TEPAT pukul 00.00 tanggal 24 Desember 1986. Aku masih menahan kantuk yang teramat menyerang. Biarlah aku menahan kantuk ini. Malampun tidak peduli dengan apa yang aku lakukan. Ia tetap saja berlalu membawa mimpi menuju pagi.
Mataku menatap kosong selembar potret hitam putih gambar dua orang makhluk Tuhan yang telah menghadiahkan aku untuk melihat indahnya dunia ini. Dalam balutan selimut lusuh aku tengkurap. Dengan hanya ditemani cahaya lilin aku masih terus terjaga memandangi gambar mereka. Gambar yang aku tahu diambil tiga belas tahun silam sebelum aku ada di dunia ini. Gambar satu-satunya yang aku miliki dari mereka berdua. Dua insan yang karena cintanya lahirlah aku di dunia ini.
Aku terlalu malas sebenarnya untuk menceritakan kepada kalian tentang apa yang aku alami. Karena aku sendiripun enggan rasanya untuk berbagi hal ini. Namun karena aku berharap cerita ini bisa menjadi pelajaran berharga biarlah aku menceritakan kepadamu wahai insan Tuhan.
Malam hari ini kenapa aku masih berusaha menahan kantuk. Karena aku berharap kan ada keajaiban yang datang pada malam hari ini. Biarlah aku bermimpi dan berharap. Mengiba kepada Tuhan untuk mengasihani aku. Namun aku terlalu malas untuk mengiba kepada Tuhan. Aku terlalu malas untuk sekedar bertanya dan memohon kepadanya. Aku terlalu malas karena sejak saat itu aku sudah tidak bersahabat dengan Tuhan. Aku sudah tidak percaya dengan adanya Tuhan, Aku terlalu membeci Tuhan.
Malam hari ini menurut yang aku dengar dari orang-orang adalah malam dimana ibuku melahirkan aku ke dunia ini. Sesuatu yang seandainya saja bisa aku menolaknya, maka aku ingin sekali menolaknya. Sesuatu yang sesungguhnya sama sekali tidak aku harapkan.
Malam hari ini tepat aku berumur sembilan tahun. Umur yang masih tergolong anak-anak. Namun bebanku bukanlah beban anak-anak. Lihatlah tubuh kecil nan kurus ini. Sudah harus menanggung beban hidup yang teramat keras. Lahir terbuang dan hidup di rimba orang tak tahu tujuan masa depan. Ah, aku terlalu malas untuk menangis dan meratapi nasib. Mungkin aku ingin menangis tapi rasanya air mata ini terlalu telah banyak terbuang. Biarlah penderitaan ini menemani sampai dimana titik akhir segalanya. Entah berujung bahagia atau sengsara yang tiada berkesudahan aku sudah tidak memikirnya terlalu malas aku.
Hati ini sudah teramat keras karena terus menerus terkikis air mata penderitaan sejak lahir. Sebenarnya aku sudah lupa bahwa aku ada di dunia ini karena ada dua insan yang melahirkan aku ke dunia ini. Namun malam ini aku terpaksa harus mengigat kembali bahwa aku tidak ada dengan sendirinya di dunia ini melainkan karena aku dilahirkan.
Di malam atau hari mereka dilahirkan semua orang mendapati ucapan selamat dan doa terbaik dari orang-orang yang menyayangi. Namun malang dengan diriku sejak lahir hingga umurku menginjak dua belas tahun. Tak ada yang pernah memberikan ucapkan selamat ulang tahun padaku apalagi doa terbaik. Biarlah.
Malam ini aku masih menunggu keajaiban. Setidaknya dua orang yang telah melahirkan aku ke dunia ini bertanggung jawab. Aku tidak minta bertanggung jawab akan hidupku. Tapi cukup bertanggung jawab mengucapkan ucapan selamat ulang tahun kepadaku. Karena merekalah penyebab aku ada di dunia ini. Setidaknya mereka datang meski hanya hitungan detik lalu berlalu lagi. Tak apa tidak memelukku apalagi menciumku. Cukup mengucapkan "selamat ulang tahun Hujan" itu saja cukup untukku. Karena itu yang teramat sangat aku rindu dari mereka berdua.
Andai saja aku bersahabat dengan Tuhan, aku mungkin sudah memohon dan mengiba. Namun aku tidak lagi bersahabat dengannya sejak hari itu. Hingga aku hanya menunggu keajaiban tanpa meminta kepada siapapun untuk mendatangkan keajaiban itu. Tidak juga pada-Nya.Waktu itu umurku sekitar sembilan tahun dan aku baru tahu bahwa aku berada di sini bukan karena lantaran aku dititipkan untuk sementara waktu melainan karena aku dibuang oleh kedua orangtuaku. Berawal dari surat-surat kakek yang secara tidak sengaja kutemukan yang selama ini tidak kakek beritahukan kepadaku. Dari itulah semuanya bermula.