"tapi dokter kami sudah melakukan tindakan atas dasar rasionalitas, pak. Mereka telah membantu menemukan identitas korban meninggal. Itu kan bisa dikatakan tindakannya berhasil?"
"tapi mereka tetap melakukannya sebelum ada perintah dari pihak kepolisian. Gimana pun juga korbannya ini warga negara asing, dan kita tetap sepakat menunggu persetujuan dari keluarganya karena ini menyangkut pembedahan. Hukum tetap berjalan, soal tindakan berhasil, mungkin hanya akan mengurangi sanksi mereka."
"sekarang begini, pak, gimana mau menghubungi keluarganya kalo yang kita dapat hanya satu ini?" seorang kepala devisi forensik yang sedang beradu argumen dengan komisaris jenderal polisi itu menunjuk kartu tanda pengenal diatas meja, milik salah seorang korban bersangkutan yang mengalami kejadian kapal tenggelam malam kemarin.
"kami punya koneksi dimana-mana, kami juga punya tim ahli yang khusus melacak atau mencari data-data baik didalam negeri maupun diluar negeri, pak." balas komjen polri dengan tegas, "bagaimana pun juga mereka tetap salah dan harus menerima sanksi. Serahkan saja pada pihak polisi, biar kami yang menyelesaikan."
Keputusan tersebut membuat kepala forensik itu mengusap wajah gusar. Ia menumpu wajah dengan kedua tangan, frustasi. Bagaimana tidak, anak buahnya yang terdiri dari empat orang dokter sekaligus anggota polisi itu harus menerima sanksi akibat tindakan kurang teliti mereka sendiri.
Terkadang kode etik memang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Disaat dokter dituntut untuk bekerja cepat dan cekatan, namun dalam aturan polisi diharuskan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari keluarga korban yang bersangkutan. Pasalnya mereka bukan mengobati lagi, melainkan membedah, istilahnya mengobrak-abrik tubuh tak bernyawa tanpa identitas tersebut.
Empat orang dokter yang menunggu diluar hanya terdiam, tak ada yang bicara. Semuanya mendengarkan apa yang dibicarakan oleh dua orang penting didalam ruangan meski hanya samar-samar.
"tolong minta keempat dokter yang bersangkutan untuk masuk."
Seorang ajudan komjen yang berdiri didepan pintu menyentuh earpods ditelinganya, mendengar perintah dari atasan secara langsung.
"pak, silahkan masuk." ucapnya datar lalu membukakan pintu untuk empat orang dokter tersebut.
Tanpa bertanya lagi mereka mengikuti perintah. Masuk ke ruangan yang dimaksud dengan wajah tidak dapat dijelaskan. Dan dari keempat dokter yang diduga melakukan pelanggaran etik itu salah satunya adalah Jeff.
Sudah lebih dari lima belas menit mereka berdiri dengan posisi tangan ke belakang atau dikenal dengan istirahat ditempat dalam baris-berbaris. Mendengarkan setiap kata yang terucap dari mulut komisaris tanpa membantah sedikit pun.
"saya tau kalian semua sudah melakukan yang terbaik demi tugas kemanusiaan. Tapi hukum tetap hukum. Hukum ada untuk ditegakkan." tuturnya. "Ipda Roni, Ipda Gede, Iptu Jeff. Kalian harus menjalani sidang setelah ini. Sebagai satuan khusus polri, siap atau tidak siap semua harus diterima. Paham?"
Jeff mengangkat pandangannya sesaat kearah komisaris sebelum menjawab bersama dengan dua orang lainnya, "siap, paham!"
"dan dokter Agung, satu-satunya yang bukan dari polisi disini juga tetap akan menerima sanksi sesuai dengan kebijakan dan peraturan yang ada. Saya tidak bermaksud menghakimi, tapi anda harus bertanggungjawab atas perbuatan anda sendiri."
"baik, pak."
🔰🔰🔰
Siang itu, Jeff sudah kembali ke rumah dan langsung dihadiahi tatapan kebingungan sang istri ketika mendapati dirinya pulang ketika matahari masih berada tinggi diatas langit.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ [0.2.1] PAPA - Sequel An Intelligence
FanfictionPernah mendengar kutipan "a man isn't complete until he has seen the baby he has made." nya Sammy David Jr? Kira-kira seperti itulah yang dirasakan oleh Jeff sebagai suami dan calon papa untuk anaknya. Ia harus membagi waktu antara tugas dan menema...