-Gibran//Uno-

3.1K 439 158
                                    

"gimana kelanjutannya lo sama cewek basket itu, Gib?"

Giandra yang baru kembali setelah membawa dua gelas es teh manis langsung bertanya demikian. Sementara Gibran yang sedang asik mengaduk bakmie langsung mendongak.

Suasana kantin yang tidak begitu ramai membuat dua cowok itu akhirnya dapat bergerak lebih leluasa tanpa harus menghindari pandangan-pandangan dari orang lain.

"masih kontekan kok," jawabnya singkat.

Giandra mengangguk sambil melahap kembali bakmie miliknya.

"malah gue mulai coba ngajak dia jalan, sejauh ini sih respon dia ke gue baik." sambung cowok jangkung itu.

Giandra terdiam sejenak. Ia langsung teringat kembali pada Irenia, cewek yang sebenarnya menyimpan perasaan pada sahabatnya itu.

"lo ngerasa gak sih, kita jadi deket banget sama Iren?"

Gibran meliriknya, "bukannya lo seneng?"

Giandra tak menjawab, ia berdeham sekali kemudian menatap lurus pada lawan bicara yang duduk tepat didepannya itu. "kalo gue tanya sekali lagi, lo bakal marah gak?"

Mendengar ucapan tidak jelas itu membuat Gibran langsung mengerutkan kening, "nanya apa emangnya?"

"lo suka sama Iren?"

Pertanyaan yang sebelumnya sudah pernah dilontarkan itu kembali terdengar hari ini. Karenanya Gibran langsung memutar bola mata dengan malas.

"itu mulu yang lo tanyain, emang gak ada yang lain?" balasnya, menolak menjawab dengan lantang. "yang gue bingung sampe sekarang itu elo. Dulu lo ngejar-ngejar Iren mulu, tiap hari godain dia, merhatiin dia, nawarin pulang bareng segala macem. Terus giliran udah deket banget kayak gini, ceweknya udah dalam genggaman, gue gak liat sama sekali lo bertindak. Kenapa lo? Udah bosen?"

Kali ini Giandra mendengus lucu, "dalam genggaman siapa yang lo maksud? Gue, atau elo?" kekehnya.

"ini apaan sih? Gue gak ngerti,"

"pertanyaan gue kan gampang, jawabannya cuma iya dan tidak. Tapi lo malah ngelantur kemana-mana." lanjut Giandra menyinggung soal Gibran yang tidak pernah bisa menjawab pertanyaan darinya.

Dua cowok itu saling bertukar pandangan beberapa saat. Mangkuk bakmie yang masih terisi banyak bahkan sudah mulai kaku dan dingin karena sejak tadi tidak jadi dimakan.

"kan gue udah pernah bilang, gue gak bakal bisa berkutik kalo cewek yang gue taksir aja sukanya sama yang lain."

Dengan alis bertautan Gibran menegakkan kembali punggungnya. "terus urusannya sama gue apa?"

"jangan cuma pinter baca angka Gib, lo juga harus pinter baca situasi." tambah Giandra.

Kali ini cowok jangkung itu menyerah. Ia menghela nafas kasar sambil menggeleng sekali. "baru kali ini gue mau nafsu makan aja susah banget. Gue duluan." ucapnya kemudian segera berlalu dengan gamblang.

Dari tempatnya, Giandra memperhatikan pergerakan sahabatnya itu. Hanya karena sebuah pertanyaan singkat yang entah mengapa sulit sekali untuk dijawab, membuat dua cowok itu berselisih paham beberapa saat lalu. Adu argumen itu tak mencapai titik terang dan terhenti ketika satu pihak memilih menyudahi dengan kesal.

Giandra ikut menghela nafas panjang. Dilihatnya dua porsi bakmie diatas meja masih utuh, pun dengan es teh manis yang tadi dibelinya. Selera makannya mendadak hilang.

Bukan tidak menyadari akibatnya, Gibran sangat paham dengan sikapnya kini akan mendatangkan asumsi lain dari Giandra. Apalagi jika ia terus menghindari pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut perasaan, baik apa dan dengan siapapun itu. Tapi nasi sudah menjadi bubur, disaat dirinya kebingungan untuk mencari jalan keluar sendiri, Giandra malah terus bersikap aneh dan membuatnya kesal.

✔ [0.2.1] PAPA - Sequel An IntelligenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang