Mungkin kalian pikir setelah makan itu Gibran akan pulang, nyatanya tidak sama sekali. Cowok itu tetap di rumah Giandra bahkan juga meminjam baju karena tidak mungkin memakai seragam sekolah lagi setelah mandi.
Sayangnya ukuran baju Giandra nyaris sama dengan ukuran baju Gibran. Nyaris, bukan sama. Jadi yang kebetulan muat hanya kaos dan celana cargo selutut saja.
Dengan bantuan sepeda fixie milik Jeff, Gibran bisa sampai di minimarket dekat rumah itu kurang dari sepuluh menit. Sementara Giandra menaiki sepedanya sendiri.
"ada tambahan lagi?" tanya mbak kasir setelah dua kaleng minuman soda dan dua permen susu mendarat diatas meja.
Pertama, Gibran menjawab dengan gelengan.
"ada kartu belanjanya?"
Untuk kali ini cowok jangkung itu tersenyum. Sejak tadi pandangannya memang tak lepas dari karyawan yang merangkap jadi kasir itu. "enggak ada. Kalo mau bikin caranya gimana?" balas Gibran.
Si kasir sempat terdiam beberapa saat ketika melihat Gibran. "boleh diisi data-datanya—"
"data saya?" potongnya, kasir itu mengangguk. "wah padahal tadi saya yang mau nanya-nanya, eh mbak malah minta data saya duluan." tambah cowok itu.
Kasir tersebut nampak kebingungan dan menautkan alis. Sementara Giandra yang juga masih disana hanya bisa mengulum senyum melihat kelakuan temannya.
Gibran itu sebelah-dua belas dengannya, kalau Giandra cuma godain satu cewek yaitu Irenia. Beda lagi dengan Gibran yang bisa godain hampir semua jenis cewek di dunia. Jangankan mbak kasir, ibu teman sendiri saja sering jadi sasarannya. Yang penting cantik, itu mottonya.
"mbak lagi kerja malem ya?" tanya cowok itu.
Kasir yang ditanya hanya mengangguk.
"aduh kasian. Kalo ngantuk tidur aja, kalo laper tinggal ambil di tiap rak, jangan sampe sakit ya mbak." ujarnya disertai senyum super manis yang langsung membuat mbak kasir tersebut menunduk menahan malu.
"totalnya dua puluh empat ribu."
Dengan gerakan terlatih Gibran mengeluarkan dompet kulit dari saku belakang celana yang dikenakannya, kemudian memberikan uang dengan nominal sedikit lebih besar kepada kasir.
Ia melirik kesamping, terkekeh tanpa suara ketika Giandra juga meliriknya. Baru ketika mbak kasir memberikan kembalian dan belanjaan yang sudah dalam bentuk plastik itu tawanya hilang.
"kembaliannya enam ribu, terima kasih."
Seraya menerima, Gibran tersenyum lagi. "semangat kerjanya." ucap cowok itu singkat kemudian dengan jahil mengedipkan sebelah matanya. Yang lagi-lagi membuat si kasir melongo ditempat.
Selama beberapa menit hanya diam, akhirnya tawa Giandra muncrat saat posisi mereka sudah berada di luar minimarket tersebut. Ia menepuk bahu Gibran dengan keras karena tak habis pikir.
"waras lo?" tanya Giandra masih dengan tawanya.
Gibran mengangguk mantap, "waras dong!" tegasnya.
"lo godain cewek gak pandang buluh ya?"
Kali ini Gibran tertawa juga. Ia membuang bungkus permen lolipopnya ke tempat sampah kemudian memakan isinya. Begitupun Giandra, ia pun melakukan hal yang sama.
Satu poin penting yang perlu diketahui apalagi digaris bawahi, mereka berdua —Giandra dan Gibran, tidak merokok sama sekali. Malah bisa dibilang cowok anti rokok.
Kalau Giandra sudah menyadari bahaya merokok sejak awal, sementara Gibran pernah mencoba waktu masih duduk di kelas tiga SMP dan ia tersedak asapnya sendiri. Karena ulahnya itu, ia sempat dibawa ke dokter untuk mendapatkan pengobatan lebih lanjut. Plus bonus kena marah abis-abisan dari ibu dan ayahnya karena ketahuan merokok.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ [0.2.1] PAPA - Sequel An Intelligence
FanfictionPernah mendengar kutipan "a man isn't complete until he has seen the baby he has made." nya Sammy David Jr? Kira-kira seperti itulah yang dirasakan oleh Jeff sebagai suami dan calon papa untuk anaknya. Ia harus membagi waktu antara tugas dan menema...