Kali ini bukan hanya Giandra yang terus menerus kepikiran dengan Irenia. Bahkan Gibran pun merasakan hal yang serupa. Hampir setiap malam dua cowok dari tempat yang berbeda itu tidak bisa tertidur hanya karena terbayang-bayang dengan satu wanita yang sama.
Sejauh kedekatan mereka yang tiba-tiba, membuat Giandra jadi semakin sadar kalau Irenia benar-benar menaruh perasaan yang mendalam pada Gibran. Karena dari gerak-gerik yang tertangkap indera setiap kali bersama, semuanya sudah terjawab dengan sejelas-jelasnya. Irenia nyaman dengan Gibran dan begitupun sebaliknya.
Giandra paham sekarang, maka itu ia tak perlu bertanya lagi. Gibran —sahabatnya sendiri, juga memiliki perasaan khusus pada Irenia. Meski cowok jangkung itu masih belum mengakui dan terus menyembunyikannya, tak terkecuali pada dirinya sendiri.
Belakangan ini Gibran jarang ikut kumpul, alasannya cuma satu, mau pdkt dengan cewek basket dari SMA sebelah yang bernama Kristin. Cewek yang pernah ia ceritakan tempo hari.
Kalau sudah begitu memangnya Giandra bisa apa? Mencegah? Tentu tidak. Ia tidak mungkin melarang sahabatnya itu pergi demi agar Irenia tidak bersedih. Nyatanya, Giandra hanya bisa diam tiap kali Gibran dengan begitu bersemangat pamit untuk pergi lebih dulu.
Dibalik semua itu seorang Giandra tidaklah mengerti apa-apa. Ia tidak pernah tau kalau apa yang dilakukan oleh Gibran adalah caranya untuk mengalihkan perhatian dari lingkungan yang selama ini menyekapnya. Ia tidak pernah menyalahkan Giandra, apalagi Irenia. Hanya saja ia merasa bahwa dirinya bisa menjadi penyebab kehancuran jika perasaan yang tumbuh teruntuk teman sekelasnya itu dituruti.
Semakin sering frekuensi mereka bertemu, maka semakin dalam pula rasa yang ada.
Semua yang melihat bisa bilang mereka bertiga bodoh. Pertama, Irenia datang dengan segala kenyamanannya. Kedua, Gibran mendadak ketar-ketik sendiri karena ia mengakui bahwa dirinya juga menyukai Irenia. Yang jadi poin permasalahan disini adalah, ia tidak mungkin menyelak sahabatnya sendiri. Dan satu lagi, Gibran yang paling tidak tau apa-apa diantara yang lain. Terakhir, Giandra dengan sukarela terus menjejalkan berbagai hal tentang Irenia pada Gibran. Tapi sampai sekarang pun ia tidak pernah mengatakan alasan dibalik sikap konyolnya itu. Mengorbankan diri sendiri? Ide terbodoh yang pernah ada.
"cinta monyet kata papa, ya gue cinta, gibran monyetnya." batin Giandra.
Esoknya, ketika pelajaran seni budaya sedang berlangsung. Gibran menyenggol lengan Giandra yang duduk disampingnya. Membuat anak dokter itu menoleh dengan kening berkerut.
"nanti balik gue duluan," ujarnya.
"mau kemana lagi?" tanya Giandra.
"ke toko buku, nganterin Aqilla."
Sontak saja kelopak mata Giandra melebar sempurna, "Aqilla siapa lagi, anjir?" pekiknya tertahan.
Sementara Gibran malah terkekeh, "anak sepuluh dua." jawabnya singkat. Yang lagi-lagi mengundang tatapan tidak percaya dari orang disebelahnya.
Giandra menghentikan kegiatan menulisnya, ia masih menyoroti sahabatnya itu dengan pandangan campur aduk. Harusnya ia bahagia, karena dengan begitu Irenia aman ditangannya. Tapi ia juga kesal karena lagi-lagi cewek yang disukainya harus menahan sakit hati.
Irenia patah hati, kalau mau tau. Apalagi saat tau Gibran mulai membangun hubungan dengan murid sekolah lain secara terang-terangan. Ia memang tidak mengutarakan rasa sakit hatinya itu secara langsung, tapi Giandra melihat, cowok itu melihat dengan jelas bahwa Irenia menangis sendirian di ruang ganti waktu sehabis pelajaran olahraga beberapa waktu lalu.
"ini siapa yang bego sih anjrit?"
Refleks Gibran menoleh dengan gerakan tangan yang ikut berhenti. Ia menautkan alis kearah orang yang bicara barusan, "elo kali?" timpalnya seperti biasa, bercanda.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ [0.2.1] PAPA - Sequel An Intelligence
FanficPernah mendengar kutipan "a man isn't complete until he has seen the baby he has made." nya Sammy David Jr? Kira-kira seperti itulah yang dirasakan oleh Jeff sebagai suami dan calon papa untuk anaknya. Ia harus membagi waktu antara tugas dan menema...