Sejak masuk ke ruangan dengan nuansa vespa itu, Giandra masih dalam posisi yang sama. Duduk ditepi tempat tidur dengan posisi sedikit condong sambil menumpu wajah dengan kedua tangan. Sedangkan Jeff memilih duduk di kursi belajar anaknya itu.
"pah.."
Jeff masih diam, menatap lurus pada Giandra yang terlihat jelas masih diliputi perasaan emosi. Ia tak sekalipun memotong ucapan sang anak dan terus berusaha menjadi pendengar yang baik. Karena Jeff seorang dokter, ia paham betul bagaimana keadaan psikis anaknya saat ini.
"kamu ada masalah di sekolah?" kali ini Jeff bertanya karena Giandra tak melanjutkan ucapannya.
Giandra terdiam beberapa saat, kemudian menggeleng tanpa membalas sorot mata didepannya. Jeff tau anaknya itu berbohong, karena ia tanpa sadar menunjukkan itu semua secara non verbal.
"kamu percaya sama papa?" tanya Jeff lagi, kali ini Giandra melihat kearahnya. "kalo kamu terus ngehindarin kontak mata, berarti kamu gak percaya sama papa." lanjutnya.
Dua laki-laki itu saling tatap. Kali ini suasananya lebih tenang karena tidak ada lagi yang berusaha tarik urat untuk menunjukkan hierarki mereka.
Seolah sorot mata yang Jeff berikan membuatnya jadi terhipnotis dan dengan sukarela mulai bercerita kembali. Tanpa diminta.
Seberani apapun, sekuat apapun Giandra, ia tetap akan takluk jika yang ada dihadapannya adalah sang papa.
"papa bener, Gian emang lagi kebawa emosi sama temen. Terus liat Rere kayak tadi jadi kalap dan kepikiran buat nemuin orangtua temennya."
"masalah sama siapa?" tanya Jeff lagi.
Remaja itu menghela nafas tanpa kentara, "papa pasti ngerti kemana maksudnya." ucapnya sedikit sungkan.
Mendengar jawaban tersebut Jeff langsung paham apa yang dimaksud oleh anaknya. Ia hanya mengangguk singkat tanpa ingin bertanya lebih jauh.
"sikap yang kamu tunjukkan buat melindungi adik-adikmu itu emang gak bisa disalahkan, tapi cara penyampaian kamu yang sedikit berbeda dianggapnya oleh orang lain adalah salah. Karena setiap orang punya persepsi masing-masing yang perlu banget kamu pahamin, Gi." tutur Jeff.
Giandra masih terdiam, menunggu sang papa melanjutkan ucapannya.
"seharusnya kamu selalu bilang ke papa atau mama apapun yang terjadi, gak mesti kamu bertindak sendiri."
"papa sama mama sibuk,"
"sesibuk apapun, papa ataupun mama akan selalu ada buat kamu, Rere dan juga Shasha. Itu guna orangtua hidup di dunia." sambung Jeff.
Lagi-lagi Giandra terdiam. Ia memang tak punya argumen lagi untuk membalas ucapan papanya.
"mama kamu, sama dengan ibu-ibu yang lain. Sekuat apapun kaki yang menopang beban dalam dirinya, suatu saat juga bisa melemah. Dia tetap seorang perempuan, meski dengan topeng superhero sekalipun. You get it?"
Dengan sorot ingin tau Giandra mengangguk pasti.
"wanita itu diibaratkan sebagai tulang rusuk, dekat ke jantung untuk dicintai dan dilindungi. Kalo cara kamu bicara sama mama kayak tadi, menurut kamu bener gak?"
Cowok itu hanya bisa menggeleng. Ia menyadari kesalahan yang membuat sang mama marah besar terhadapnya.
"kalo kamu nyakitin hati mama, berarti sama juga kamu ngancurin hidup papa."
Dengan susah payah Giandra menghirup udara disekitarnya. Dadanya mendadak terasa sulit untuk bernafas karena mendengar ucapan terakhir sang papa yang dirasa begitu dalam. Sebisa mungkin ia menahan air mata yang mendesak untuk keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ [0.2.1] PAPA - Sequel An Intelligence
FanfictionPernah mendengar kutipan "a man isn't complete until he has seen the baby he has made." nya Sammy David Jr? Kira-kira seperti itulah yang dirasakan oleh Jeff sebagai suami dan calon papa untuk anaknya. Ia harus membagi waktu antara tugas dan menema...